Tampilkan postingan dengan label Kuliah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliah. Tampilkan semua postingan

Metodologi Studi Islam

1 komentar

BAB I
PENDAHULUAN

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.

Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.

Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.


BAB II
KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

A. Pengertian Agama

Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut istilah kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya, berusaha mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tidak kurang dari 48 teori. Namun, akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk membuat defenisi agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan defenisi selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, kosepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.

Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum adalah adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami arti agama dan disamping adanya perbedaan juga dalam cara memahmi serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu juga berbeda-beda..

Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, sehingga W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama karena pengalaman agama adalah subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain.

Pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenan pula kata din (Ïﻴﻦ ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci.

Selanjutnya din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan

Sementara itu Elizabeth K Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak lebih menunjukkan pada realitas objektif, yaitu bahwa ia melihat pada dasaranya agama itu bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah-gunakan oleh penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain.

Substansi agama bersifat transenden tetapi juga sekaligus imanen. Ia transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikat atau bentuk formalnya yang lahiriah. Namun begitu, agama juga imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak mungkin dipisahkan. Kalau saja substansi agama bisa dibuat hierarki, maka substansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat parennial, tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari yang mutlak. Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas, maka sesungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat universal sekaligus partikular.

Karena banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut : 

1). Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi;

2). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;

3). Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia;

4). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;

5). Suatu sistem tingkah laku (code of condut) yang berasal dari kekuatan gaib;

6). Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib;

7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia;

8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul (utusan Allah).

Selanjutnya, Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan definisi agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.

Dari beberapa definisi di atas, kita dapat menjumpai 4 unsur yang menjadi karakteristik agama sebagai berikut :

a). Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib.

b). Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang dimaksud.

c). Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia

d). Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara dan sebagainya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun menurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama, aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap suci. Keempat, aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima, aspek sumbernya, yaitu kitab suci.

B. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama

Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Keempat alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut :


1. Latar Belakang Fitrah Manusia

Dalam bukunya yang berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.

ﻓﺄﻗﻢæﺟﻬﻚﻟﻠﺪﻳﻦﺣﻨﻴﻔﺎﻓﻄﺮﺓﺍﷲﻓﻄﺮﺍﻟﻨﺎﺱﻋﻠﻴﻬﺎ (ﺍﻟﺮﻭã٣٠) 
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS. Al-Rum, 30:30).

Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Bukti manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguh pun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya.

Sebagian hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti rasa takut manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya lautan, dan dari deburnya ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya. Sebagai akibat dari rasa takut ini, terlintaslah agama dalam benak manusia. Lucterius, seorang filosof Yunani yang pendapatnya dikutip Murthada Muthahhari mengatakan bahwa nenek moyang pertama para dewa adalah dewa ketakutan. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk kebodohan. Sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia, sebab manusia, sebab dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Beberapa hipotesis tersebut telah banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli karena dasar hipotesis tersebut adalah pemikiran manusia yang terbatas, sedangkan agama yang benar mesti datang dari yang Maha Tidak Terbatas, yaitu Tuhan. Hipotesis tersebut sekedar menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama, namun potensi tersebut jka tidak diarahkan akan keliru hasilnya sebagaimana terlihat pada beberapa hipotesis tersebut. Namun demikian, hal ini tidak berarti akal manusia tidak ada manfaatnya, melainkan menunjukkan bahwa dalam hal beragama akal saja tidaklah cukup.

Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya, bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya William James, seorang filosof dan ilmuan terkemuka dari Amerika mengatakan, ”Kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fisis dan meterial merupakan sumber tumbuhnya berbagai keinginan batin, namun banyak pula keinginan yang tumbuh dari alam di balik alam material ini”. Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak bersesuaian dengan perhitungan-perhitungan material. Sementara itu, Alexis Carell, salah seorang pemenang hadiah Nobel berpendapat bahwa doa merupakan gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada keadaan itu jiwa manusia terbang melayang kepada Tuhan. Pada bagian lain dari bukunya yang berjudul Doa, Carell mengatakan bahwa pada batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukkan kepada manusia kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang dilakukannya. Sinar inilah yang mencegah manusia dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan penyimpangan.

Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita mengkaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji paham hulul dari Al-Hallaj (858 – 933 M) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut. Demikian pula pada diri Tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan mengacu pada zat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara itu sifat nasut manusia mengacu pada unsur lahiriah dan fisik manusi, sedangkan sifat lahut manusia mangacu kepada unsur batiniah dan Ilahiah. Jika manusia mampu merdam sifat nasutnya maka akan tampak adalah sifat lahutnya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara nasut Tuhan dengan lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia

Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara laian diungkapkan oleh kata Al-Nafs. Menurut Qurash Shihab, bahwa dalam pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Kita misalnya ayat yang berbunyi :

ﻭﻧﻔﺲﻭﻣﺎﺳﻮﻫﺎ٧ﻓﺎﻟﻬﻤﻬﺎﻓﺠﻮﺭﻫﺎﻭﺗﻘﻮﻫﺎ(ﺍﻟﺜﻤﺲ) 

Demi nafs serta penyempurnaa ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakutan. (QS. Al-Syams) 91 : 7 – 8).

Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Alquran dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.

Kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.

3. Tantangan Manusia

Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan uapaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.

BAB III
BERBAGAI PENDEKATAN di DALAM MEMAHAMI AGAMA

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.

Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.

Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.

Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.

Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

A. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.

Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, mesianis dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai ”keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan.

Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan lainnya sebagai salah.

Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.

Berkenaan dengan hal di atas, saat ini muncullah apa yang disebut dengan istilah teolgi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiranm atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub : teks dan situasi; masa lampau dan masa kini.

B. Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.

C. Pendekatan Sosiologis

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.

Dari dua definisi terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.

Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.

Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut :

1). Pertama, dalam Alquran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).

2). Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

3). Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjemaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.

4). Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.

5). Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.

D. Pendekatan Filosofis

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha manutkan sebab dan akibat serta berusaha manafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahsa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sitemik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.

Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah.

E. Pendekatan Historis

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.

F. Pendekatan Kebudayaan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kacakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimilikinya.

G. Pendekatan Psikologi

Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.

Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.

BAB IV
HUBUNGAN AGAMA DENGAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL



Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif dan positifnya. Di antara dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi, dehumanisasi, sekuralisasi dan sebagainya; sedangkan dampak positifnya antara lain terbukanya berbagai kemudahan dan kenyamanan, baik dalam lingkungan ekonomi (ekonosfer), informasi (infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sisosfer) maupun psikolgi (psikosfer).

A. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial

Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan manusia dengan Tuhan; antara hubungan manusia dengan manusia; dan antara urusan ibadah dengan urusan muamalah.

Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk mememiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai problema tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan yang digali dari nilai-nilai agama. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai ilmu sosial profetik.

B. Ilmu Sosial Yang Bernuansa Islam

Menurut Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh siapa. Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu; perubahan tersebut didasarkan pada tiga hal. Pertama, cita-cita kemanusiaan, kedua, liberasi dan ketiga, transendensi. Cita-cita profetik tersebut dapat diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110 surat Ali Imron sebagai berikut :

(ﺍﻝﻋﻤﺮﺍﻥ١١٠) ﻛﻨﺘﻢﺧﻴﺮﺍﻣﺔﺃﺧﺮﺟﺖﻟﻠﻨﺎﺱﺗﺄﻣﺮﻭﻥﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑﻭﺗﻨﻬﻮﻥﻋﻦﺍﻟﻤﻨﻜﺮ 

Kamu sekalian adalah sebaik-baiknya umat yang ditugaskan kepada manusia menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan beriman kepada Allah. (QS. Al-Imron, 110).

Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi), liberasi dan transendensi yang dapat digali dari ayat tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

Pertama, bahwa tujuan humanisasai adalah memanusiakan manusia dari proses dehumanisasi.

Sementara itu tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari lingkungan teknologi, pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tregusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat sendiri.

Selanjutnya, tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan.

Dalam ilmu sosial profetik, kita ingin melakukan reorientasi terhadap epistemologi, orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu suatu pandangan bahwa sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.

C. Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi

Dengan ilmu sosial profetik yang kita bangun dari ajaran Islam sebagaimana tersebut di atas, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains Barat dan arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam perlu membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.

Sejak beberapa abad yang lalu Islam mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Kita tidak membangun dari ruang yang hampa. Hal demikian dapat dipahami dari kandungan Surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Kata telah Ku-sempurnakan agama-Ku mengandung arti bukan membuat yang baru atau membangun dari ruang yang hampa melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada.

Islam mewarisi peradaban Yunani dan Romawi di Barat, peradaban Persia, India dan cina di Timur. Ketika abad VIII – XV peradaban Barat dan Timur tenggelam dan menjalani kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil-alih oleh Barat sekarang melalui renaissans.

Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam diturunkan bukan dalam ruang hampa, melainkan dalam setting sosial aktual.

Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa dari segi sejak kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka, akomodatif serta berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya. Tetapi dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan, bahkan penolakan dengan cara-cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial yang membawa korban yang tidak diharapkan.

Dengan mengikuti uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa Islam memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Karena itu, kehadiran ilmu sosial yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat diakui oleh Islam. Namun Islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus dikembangkan, yaitu ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam dan diarahkan untuk humanisasi, liberasi dan transendensi. Ilmu pengetahuan sosial demikian yang dibutuhkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya pada era globalisasi di abad XXI mendatang.

BAB V
PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM



Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya.

A. Pengertian Agama Islam

Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.

Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.

Dari pengertian itu, kata Islam dekat arti kata agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.

B. Sumber Ajaran Islam

Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah .

1. Alquran

Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Alquran baik dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Alquran bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai kata hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Alquran itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Alquran diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan suatu atas yang lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.

Manna’ al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian yang demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani.

2. Al-Sunnah

Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.

Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya.

Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.

Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :

1). Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;

2). Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;

3). Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula

4). Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.

BAB VI
KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM

Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, tampaknya masih merupakan suatu persoalan yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan Fazlur Rahman bernuansa historis dan filosofis. Demikian juga, Islam yang ditampilkan pemikir-pemikir dari iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Hussein Nasr, Murthada Munthahhari.

Pemikiran para ilmuan Muslim dengan mempergunakan berbagai pendekatan tersebut di atas kiranya dapat digunakan sebagai bahan untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak mencoba memperdebatkannya antara satu dan lainnya, melainkan lebih mencari sisi-sisi persamaannya untuk kemaslahatan umat umumnya dan untuk keperluan studi Islam pada khususnya.

A. Dalam Bidang Agama

Melalui karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid banyak berbicara karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama. Menurutnya, bahwa dalam bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis Madjid adalah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.

Karakteristik agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.

B. Dalam Bidang Ibadah

Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dikenal melalui konsepsinya dalam bidang ibadah. Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt, karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.

Visi Islam tentang ibadah merupakan sifat, jiwa, dan misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas penciptaan manusia, sebagai makhluk yang hanya diperintahkan agar beribadah kepada-Nya.

C. Bidang Akidah

Dalam Kitab Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang membahayakan.

Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa akidah Islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya.

D. Bidang Ilmu dan Kebudayaan

Karakteristik Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif. Islam adalah paradigma terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban duni. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat dan peradaban-peradaban Persia, Indi dan Cina di Timur.

Karakteristik Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat dari 5 ayat pertama surat Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata tersebut menurut A.Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa, juga berarti menelaah, mengobservasi, membandingkan, mengukur, mendiskripsikan, menganalisis dan penyimpulan secara induktif.

E. Bidang Pendidikan

Islam memaandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan dan berlangsung sepanjang hayat (long life education).

F. Bidang Sosial

Ajaran Islam dalam bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia.

Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual.

G. Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi

Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam bidang kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia adalah hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhirat dicapai dengan dunia. Kita membaca hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Mubarak yang artinya : Bukanlah termasuk orang yang baik di antara kamu adalah orang yang meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang meninggalkan akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.

H. Dalam Bidang Kesehatan

Ajaran Islam tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih diutamakan daripada penyembuhan. Berkenaan dengan konteks kesehatan ini ditemukan banyak petunjuk kitab suci dan sunnah Nabi Muhammad Saw. yang pada dasarnya mengerah pada upaya pencegahan diantaranya. Surat Al-Baqarah , 2:222) yang artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan senang kepada orang-orang yang membersihkan diri. Selain itu Surat Al-Mudatsir 74:4-5) yang artinya : Dan bersihkanlah pakaianmu dan tinggalkanlah segala macam kekotoran.

I. Dalam Bidang Politik

Dalam Alquran Surat An-Nisa’ ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pemimpin tersebut, boleh saja untuk tidak dipatuhi.

J. Dalam Bidang Pekerjaan

Islam memandang bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah Swt. Atas dasar ini maka kerja yang dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian terhadap Allah Swt, dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain.

Untuk menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu, Islam memandang kerja yang dilakukan adalah kerja profesional, yaitu kerja yang didukung ilmu pengetahuan, keahlian, pengalaman, kesungguhan dan sebagainya.

K. Islam Sebagai Disiplin Ilmu

Islam juga telah tampil sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman. Menurut peratutan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985, bahwa yang termasuk disiplin ilmu keislaman adalah Alquran/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam (Fiqih), Sejarah dan Kebudayaan Islam serat Pendidikan Islam.


Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mistisisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan sebagainya.

SOSIOLOGI DAKWAH

1 komentar

BAB I
TINJAUAN UMUM TENTANG SOSIOLOGI DAKWAH

A. Sebab Munculnya Sosiologi Dakwah

Sosiologi Dakwah merupakan cabang dari disiplin ilmu Sosiologi. Barangkali pertanyaan yang timbul kemudian adalah ”Mengapa muncul sebuah ilmu baru yang bernama sosiologi dakwah?” Kenyataan dalam kehidupan manusia menunjukkan bahwa masyarakat, secara terus menerus mengalami perubahan yang sangat cepat, progresif dan seringkali tampak gejala desintegratif, yaitu melonggarnya kesetiaan terhadap nilai-nilai umum. Perubahan secara cepat itu menimbulkan culture lag yaitu ketertinggalan budaya karena berhadapan dengan sejumlah kendala. Ini merupakan sumber masalah dalam masyarakat, masalah-masalah dalam masyarakat bisa terjadi dalam dunia dakwah yang selesai sulit bahkan tidak mampu untuk diselesaikan. Dalam hal ini pakar sosiologi diharapkan bisa member kontribusi untuk ikut memecahkan masalah-masalah dakwah yang mendasar.

Seorang dai (pelaku dakwah) adalah manager, informator, konduktor yang harus berperilaku seperti yang diharapkan masyarakat. Seorang daiyang bertindak sebagai pendidik, pengajar dan pembangun masyarakat diharapkan berperilaku baik dan bermoral tinggi sebagai teladan bagi masyarakat masa yang akan datang. Kepribadian dai dapat mempengaruhi suasana proses dakwah dalam suatu komunitas tertentu, yang bisa membuat komunitas yang menjadi mitra dakwah, untuk memperhatikan, memahami dan melaksanakan pesan dakwah. Sementara itu perkembangan masyarakat banyak dipengaruhioleh faktor- faktor internal dari kalangan masyarakat itu sendiri atau faktor eksternal yang dianggap memiliki kewibawaan.


B. Definisi Sosiologi Dakwah

Secara epistimologis, terdiri dari dua kata, sosiologi dan dakwah. Sosiologi berarti ilmu tentang kemasyarakatan dalam tindakan-tindakan hidupnya kehidupan bermasyarakat, sedangkan dakwah adalah upaya untuk berusaha mengajak orang kepada kebaikan.

Sosiologi Dakwah, secara etimologis, adalah ilmu yang mengkaji tentang upaya pemecahan masalah-masalah dakwah dengan pendekatan sosiologis. Dan yang menjadi aspek sosiologi karena dalam kegiatan dakwah itu terdapat hubungan dan pergaulan sosial, yakni hubungan antara pelaku dakwah dan mitra dakwah.

Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa dalam lembaga-lembaga, kelompok sosial dan proses sosial terdapat hubungan-hubungan siosial atau secara teknis atau di sebut interaksi sosial, dari hasil interaksi sosial ini maka masyarakat harus mampu mengembangkan dan membentuk tingkah laku yang kemudian menumbuhkan dan mengembangkan sistem dakwah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari hubunga-hubungan antara semua pokok masalah dalam proses dakwah dan proses sosial. Sosiologi Dakwah adalah ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memecahkan masalah-masalah dakwah dengan pendekatan dan analisis sosiologis.

C. Eksitensi Soiologi Dakwah

Dakwah merupakan bagian penting dari pemikiran masyarakat, maka sosiologi bisa diharapkan memiliki peran penting dalam pemikiran dakwah. Tugas dakwah menurut soiologi adalah menjaga harmonisasi kehidupan masyarakat dan mendorong kemajauan masyarakat, hal ini sesuai dengan tujuan dakwah itu sendiri, kemaslahatan umat atau kemajuan masyarakat.

Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan memiliki lapangan penelitian, sudut pandang, metode, dan susunan pengerahuan. Objek penelitiannya adalah tingkah laku manusia dalam kelompok. Sudut pandangnya adalah memandang hakekat masyarakat kebudayaan dan individu secara ilmiah. Adapun susunan pengetahuannya terdiri atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip mengenai kehidupan kelompok sosial, budaya dan perkembangan individu.

Maka eksistensi sosiologi dakwah sangat dibutuhkan untuk menunjang kelancaran berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik antar sesama. Karena, sosiologi dakwah tujuan walnya untuk menjaga stabilitas kehidupan bermasyarakat dan bersosial.

D. Konsepsi dan Posisi Sosiologi Dakwah

Dalam sejarahnya, manusia tidak pernah berhenti dari kesibukan. Baik kesibukan dalam menghadapi kehidupan luar maupun kesibukan dalam hubungan diri sendiri. Sejak pagi sampai malam mulai dari anak kecil sampai orang tua, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Dalam kesibukan-kesibukan itu terjadi hubungan timbal balik dalam upaya mencapai dan memenuhi hubungan mereka.

Dalam menghadapi lingkungan sekitar, manusia dengan tingkah lakunya menimbulkan usaha-usaha untuk mengetahui kebutuhan mereka, misalnya, dalam memanipulasi suatu benda untuk menjadi barang kebutuhan kegiatan manusia untuk mengetahui, menguasai dan memanfaatkan alam sekitar itu menimbullkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berbagai kegiatan manusia sebagai makluk sosial memunculkan berbagai ilmu pengetahuan. Misalnya, kegiatan untuk berdakwah, yakni menyampaikan suatu ajaran atau mengajak terhadap hal yang positif karena itu lahirnya sosiologi dakwah masih sangat tebatas untuk bisa diketahui oleh masyarakat luas, baik di Indonesia bahkan dunia sekalipun.

E. Memahami dan Melaksanakan Sosiologi Dakwah

Sosiologi dakwah akan bisa dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari serta dimanfaatkan dalam bidang dakwah, untuk memecahkan masalah-masalah dakwah yang mendasar.

Sosialisasi keberagaman yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan sangat membantu pelaksanaan sosiologi dakwah. Secara singkat dapat di katakanan bahwa sosialisasi keagamaan proses membimbing individu ke dalam dunia sosial keagamaan dan budaya kebragamaan juga sebagi pembentuk agar menjadi jati diri yang secara khusus baik di masyarakat.

Sosialisasi keberagamaaan merupakan bagian proses dari perbuatan dakwah dan dalam proses sosialisasi, individu belajar beragama, bertatakrama dan memilik berbagai ketrampilan sosial misalnya bertutur kata yang baik, beragul yang sesuai aturan dan dari interaksi antara seorang dengan lingkungan, secara berangsur-angsur dia akan memperoleh kesadaran akan dirinya sebagai pribadi. Sosialisasi keberagaman bisa berlangsung di dalam keluarga sebagai salah satu di antara pusat-pusat dakwah yang bertugas membentuk kebiasaan-kebiasaan dalam keberagaman untuk landasan dalam kehidupan mereka.

F. Tujuan Sosiologi Dakwah

Tujuan sosiologi dakwah dapat disimpulkan sebagai berikut:
Menganalisis proses sosialisasi keberagamaan, baik dalam keluaraga maupun masyarakat.
Menganalisis perkembangan dan kemajuan sosial keagamaan.
Menganalisis tingkat partisipasi orang-orang yang memiki pengetahuan keagamaan dalam kegiatan dakwah dalam masyarakat.
Membantu menentukan tujuan dakwah, dakwah yang baik adalah dakwah yang berangkat dari kondisi masyarakat dan hasinya juga akan memberikan manfaat bagi kemajuan kebragamaan masyarakat tersebut.
Memberikan pelatihan–pelatihan yang efektif bagi para da’i dalam bidang sosiologi sehingga mereka benar-benar bisa melaksanakan tugas dakwah secara cepat dan tepat.

BAB II

HUBUNGAN DAKWAH DAN MASYARANKAT

DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI

Untuk memahami dan menjelaskan hubungan antara fenomena dakwahdan masyarakat dalam perspektif sosiologi perlu dikemukakan teori besar sosiologi, yaitu Stuktural fungsional, interaksionisme simbolik dan teori pertukaran

A. Perspektif Teori Struktural Fungsionalisme

Teori struktural fungsionalisme adalah teori sosiologi yang terhimpun dalam paradigma fakta sosial. Tokoh utama paradigma ini adalah Emile Durkhaim. Dua karyanya yang terkenal adalah The Rules of Sociological Methode dan Suicide.

Mengenai fakta sosial, George Ritzer dalam bukunya, A multiuple paradigma science, menjelaskan bahwa ada dua tipe dasar struktur fakta sosial dan pranata sosial, bagi Durkheim kedua tipe tersebut bersifat eksternal, umum dan memaksa individu-individu anggota masyarakat. Secara lebih rinci, fakta sosial itu dapat terwujud berupa kelompok, misalnya kelompok politik, kelompok ekonomi, kelompok olahraga dan lain sebagainya.

Horton dan Hunt menjelaskan bahwa perspektif fungsionalisme struktural itu memiliki sejumlah asumsi–asumsi yang digunakan untuk memahami masyarakat adalah sebagai berikut:

· Corak perilaku timbul karena secara fungsional bermanfaat.

· Pola-pola perilaku timbul untuk memahami kebutuhan dan hilang apabila kebutuhan itu berubah.

· Perubahan sosial dapat mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun setelah itu akan terjadi keseimbangan baru .

· Nilai atau kejadian pada suatu waktu atau tempat dapat menjadi fungsional atau disfungsional pada saat dan tempat yang berbeda.

· Para fungsionalisme mengajukan pertanyaan bagaimana nilai praktik, nilai lembaga ini membantu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Teori struktural fungsional dapat menjelaskan bahwa pengajian, ceramah, konseling agama dan pemberdayaan masyarakat ternyata mempunyai hubungan funsional dengan masyarakat. Dalam hal ini Nampak bahwa aktifitas dakwah dapat menciptakan kondisi dimasyarakat yang dapat menunjang pembaharuan. Peran dakwah sangat jelas terutama karena pesan yang dibawa dapat tersebar luas melampaui jarak dan waktu. Pesan tersebut dapat berupa ajaran, Syari’ah, akhlak dan lainnya.

B. Perspektif Teori Interaksionisme simbolik

Masyarakat marupakan bentuk riil dari elemen-elemen yang ada, kemudian dalam hal ini masyarakat merupakan pembentuk tindakan sosial dan difinisi sosial. Oleh karena itu manusia merupakan pencipta aktif realitas sosialnya sendiri.

Teori interaksionalisme simbolik adalah salah satu teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial. Tokoh paradigma ini adalah Max Weber. Karya-karyanya, terutama The Structure of Social Action menjadi model paradigma ini. Karya karya Max Weber sangat berperan dalam pengembangan ketiga teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial, yakni interaksionalisme simbolik, teori tindakan dan teori fenomenologi .

Teori interksionisme simbolik yang merupakan teori tindakan manusia dalam menjalin interaksinya dengan sesama anggota masyarakat. Adapun asumsi-asumsi dapat dikemukakan sebagai berikut.

· Manusia bertindak ke arah berbagai hal atau atau dasar makna yang dimiliki hal-hal itu bagi mereka.

· Makna hal-hal- tersebut muncul dari interksi sosial antara seseorang dengan kawannya.

· Makna hal-hal itu diambil dan dimodifikasi melalui sebuah proses interpretatif yang digunakan perorangan dalam hubunghan dengan hal-hal yang dihadapinya.

Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari subtansi teori interaksionalisme simbolik adalah bahwa kehidupan masyarakat itu terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar.

Dalam perspektif interaksionalisme simbolik, dakwah dengan pesan yang dibawanya dapat mengilhami pikiran anggota masyarakat untuk bersikap dan bertindak tertentu terhadap kejadian dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat.

C. Perspektif Teori Pertukaran

Teori pertukaran merupakan salah satu teori sosoiologi yang bernaung di bawah paradigma perilaku sosial. Asumsi asumsi yang mendasari teori perilaku sosial adalah sebagai berikut:

· Manusia pada dasarnya tidak mencari keuntungan maksimal tetapi mereka selalu ingin mendapatkan keuntungan dari interaksinya dengan orang lain.

· Manusia tidak bertindak secara rasional sepenuhnya tetapi dalam mereka setiap interaksinya dengan manusia cenderung berpikir untung rugi.

· Meski tidak memiki informasi yang mencakup semua hal sebagai alasan untuk mengembangkan alternatif tetapi manusia setidaknya memiliki informasi meski terbatas yang dapat dipakai untuk mengembangkan alternatif guna memperhitungkan untung rugi yang mungkin timbul.

· Manusia selalu berada dalam keterbatasan namun mereka tatap berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan dalam interaksinya.

· Meski manusia selalu berupaya untuk mendapatkan keuntungan dari hasil interaksinya dengan manusia lain tetapi mereka dibatasi oleh sumber daya yang tersedia.

· Manusia berusaha mendapatkan hasil dalam bentuk materi namun mereka juga akan melibatkan dan menghsilkan sesuatu yang bersifat non materi.

Dengan demikian teori pertukaran sosial menggambarkan manfaat yang dapat diperoleh dalam hubungan antara dakwah dengan masyarakat, keuntungan yang diperolah dapat berupa material, immaterial dan sosial.

BAB III

DAKWAH SEBAGAI REKAYASA SOSIAL

A. Dakwah Sebagai Ajakan

Dakwah merupakan suatu ajakan atau seruan terhadap seseorang atau sejumlah orang, untuk mengikuti amalan ajaran dan nilai-nilai islam. Bagi yang belum islam diajak untuk menjadi muslim dan bagi yang sudah islam diajak intuk menyempurnakan islamnya. Bagi yang sudah mendalam didorong untuk mengamalkan dan menyebarkannya.

Orang beragama itu seperti menuntut ilmu, ada yang tingkatan ilmunya sangat rendah karena belajarnya hanya sampai taman kanak-kanak atau hanya lulus pemberantasan buta huruf saja, ada yang sampai SD, SMP, SMA, S1, S2 dan ada yang sampai S3. Oleh sebab itu dakwah tidak hanya berlaku untuk mereka yang belum islam atau islamnya yang masih lemah, dakwah juga berlaku bagi yang tingkat keislamannya sudah tinggi sekalipun. Sebab betapa tingginya keislaman sesorang mereka adalah manusia juga, yang punya hawa nafsu yang sering lupa.

Dakwah juga berarti upaya memanggil kembali hati nurani untuk menghilangkan sifaf-sifat buruk dan menggantinya dengan sifat-sifat yang mulia yang tunduk dan patuh kepada Allah di mana sifat-sifat itu adalah sifat-sifat yang sesuai dengan hati nurani manusia.

Jadi yang didakwahi adalah siapa saja, termasuk ustadz, kyai,mubaligh, zuama, pemimpin dan lain sebagainya. Yang sedang lupa atau imannya menurun karena kualitas iman seseorang bersifat fluktuatif.

B. Dakwah sebagai Proses Komunikasi

Selanjutnya dakwah juga dapat dipahami sabagai proses komunikasi ”tabligh” setiap muslim, seperti juga nabi saw disuruh mengkomunikasikan ajaran islam, betapa pun pengetahuannya tentang islam masih sangat sedikit, Komunikasi itu terjadi secara lisan, maupun tulisan. Komunikasi dapat terjadi secara individual maupun massal, baik secara personal “face to face” maupun media elektronik dan media cetak, baik secara langsung (di forum, seperti pengajian).

Dalam komunikasi itu selain terjadi transformasi biasanya diikuti proses internalisasi iman dan islam, pengamalan, pentradisian ajaran dan nilai-nilai islam serta perubahan keyakinan, sikap dan peilaku manusia. Perubahan keyakinan, sikap dan perilaku itu terjadi setelah ada proses komunikasi dan tranformasi ajaran dan nilai-nilai islam itu sendiri.

C. Dakwah sebagai Penyebaran Rahmat Allah

Di samping itu, dakwah juga sebagai penyebaran rahmat, cinta kasih pada sesama manusia bahkan pada sesama mahluk di seluruh alam. Allah menurunkan agama islam ini sebenarnya merupakan wujud cinta kasih, rahman dan rahimnya, Agar hidup manusia di dunia baik dan selamat di akhirat dengan diperintah untuk membaca dan belajar, manusia akan menjadi lebih baik.

Oleh sebab itu, dalam berdakwah juga harus dilandasi dengan cinta kasih untuk menyelamatkan manusia. Dengan demikian dakwah itu tidak lain merupakan penyebaran rahmat kepada seluruh alam.

D. Dakwah sebagai Pembebasan

Islam mengandung ajaran dan petunjuk tentang bagaimana membebaskan diri dari belenggu dengan alam, materi, budaya dan tradisi. Bagaimana membebaskan diri dari kebodohan, melepaskan diri dari kebekuan berpikir, melepaskan diri dari kemiskinan dan bagaimana kita bisa melepaskan diri dari kemalasan.

Selain dibebaskan dari belenggu kemusyrikan bangsa Arab juga dibebaskan dari belenggu tradisi perbudakan, yaitu menghilangkan perbudakan dan menempatkan semua orang dalam kehidupan yang bebas dan merdeka.

Ayat-ayat makkiyah adalah ayat-ayat pembebasan yang melepaskan masyarakat pada masa itu dari berbagai belenggu kehidupan, menjadi umat yang merdeka dalam pengertian yang seluas-luasnya.

Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari kebodohan, bahkan sebenarnya manusia itu sebenarnya dianjurkan untuk menuntut ilmu agar tidak bodoh. Bahkan manusia itu diprogram oleh Allah untuk menjadi pembangun peradaban di muka bumi. Karena itu manusia dibelaki akal pikiran yang menjadi perangkat paling penting untuk membangun peradaban iman. Karena itu manusia dibekali akal npikiran yang menjadi perangkat paling penting untuk membangun peradaban.

Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari kemiskinan karena kemiskinan akan bisa menggurani martabat manusia, kemiskinan juga bisa menyebabkan manusia menjadi lemah karena kekurangan makan, gizi, vitamin, karbohidrat dan mengakibatkan daya tubuh menjadi lemah dan mudah terkena penyakit. Dengan pendekatan pemberantasan kemiskinan yang diajarkan oleh islam itu maka hubungan antara kelompok miskin dengan orang kaya tetap terjaga. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dilingkungan kaum komunis yang justru membenturkan antara orang miskin dengan orang kaya.

Ada tiga pendekatan islam tentang kemiskinan. Pertama mendorong manusia untuk mencari rizki. Kedua perintah infak, sedekah dan lain sebagainya untuk membebaskan manusia dari kemiskinan. Ketiga, mengancam orang yang kaya yang tidak menafkahkan harta kekayaannya untuk kepentingan umat.

Dengan pendekatan-pendekatan dalam pemberantasan kemisikinan seperti yang diajarkan oleh islam, maka hubungan antara kelompok miskin dan kaya akan tetap harmonis.

E. Dakwah sebagai Penyelamatan

Dakwah di sini sebagai penyelamatan manusia di muka bumi dari berbagai hal yang mungkin timbul atau yang telah terjadi yang dapat merugikan manusia, orang yang berbuat kesalahan atau dosa sebenarnya sedang mengalami dehumanisasi. Orang yang berbuat kesalahan atau dosa sebenarnya sedang mengalami degradasi.

Seorang manusia dalam arti sebenarnya kalau ia berkarya betapapun kecil ia dapat memberikan konstribusi bagi perkembangan perdaban manusia, ia juga telah memberikan konstribusi pada sebuah peradaban, karena ia ikut membersihkan jalan di mana ia bertugas, sebaliknya orang yang melakukan tindakan kejahatan ia telah merusak peradaban.

Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari kebodohan, karena ajaran islam menganjurkan agar manusia senantiasa berpikir dan menuntut ilmu. Dapat dikemukakan bahwa makin tinggi moral dan ilmu suatu masyarakat mamka makin tinggi pula peradaban mereka. Dalam bahasa Al Quran dikatakan orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya menjadi lebih tinggi.

F. Dakwah sebagai Upaya Membangun Peradaban

Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi yang seharusnya mengikuti konsep dan kebijakan yang diwakilinya. Manusia seharusnya memiliki akhlak yang mulia seperti akhlak Allah. Artinya manusia harus memiliki ilmu, sebab Allah maha mengetahui. Manusia harus kreatif, mencintai sesama, pemaaf, berupaya menjadi kaya, adil dan seterusnya.

Dalam membangun peradaban di muka bumi ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, manusia harus beriman hanya kepada Allah, Tuhan yang maha esa, sehingga manusia mahkluk yang bebas dari berbagai macam belenggu kecuali keterlibatan dengan Allah semata-mata.Kedua, untuk membangun peradaban manusia diperlukan ilmu pengetahuan. Mungkin manusia harus melakukan kajian terhadap ayat-ayat kauniyah.Dengan memahami ayat-ayat kauniyah yang mengandung sunnatullah, manusia akan memperoleh nilai tambah untuk mengolah sumber daya alam yang disediakan Allah.

BAB IV

DAKWAH DAN PERUBAHAN SOSIAL

Dengan memperhatikan fungsi dakwah di atas, dapat dikatakan bahwa dakwah merupakan kegiatan yang memberikan informasi persuasif. Untuk merancang isi pembicaraan informatif dan persuasif tidak hanya sekedar berbicara tentang sarana yang digunakan dalam berkomunikasi, misalnya menggunakan pengeras suara, televisi, namun juga menyangkut isi informasi, banyak sedikitnya informasi, serta relevansi informasi. Informasi haruslah didasarkan pada argumentasi, contoh-contoh, kesaksian, dan penalaran yang benar yang pada gilirannya menuntut kredibilitas pembicara.

Oleh karena itu, kemampuan untuk menerapkan dan menetapkan strategi yang jitu untuk menarik simpati khalayak pendengar menempati posisi yang sangat penting. Jika kondisi tersebut telah dikuasai, maka khalayak pendengar akan dengan senang hati dan bahkan merasa perlu untuk melakukan hal-hal sebagaimana yang diharapkan oleh pembicara.

Cara Kerja Menyampaikan Informasi (Pembicaraan Informatif)

Dalam dunia ilmu komunikasi, professor komunikasi dari Hunter College City University, New York bernama Joseph A De Vito, menulis buku yang amat terkenal yang telah diterjemahkan ke dalam 12 bahasa. Buku tersebut berjudul “Human Communication”. Berdasarkan kerangka berpikir De Vito, maka akan dicoba mengikuti alur yang dikemukakan De Vito.

Prinsip-prinsip Pembicaraan Informatif

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai berbagai kasus adanya “mis information” yang seringkali melahirkan konflik serius. Hal ini membuktikan bahwa mengkomunikasikan infor masi kepada pihak lain bukanlah hal mudah, sederhana dan tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Berikut ini akan diuraikan sejumlah prinsip tentang pembicaraan informatif.

· Batasi jumlah Informasi.

· Kaitkan informasi baru dengan yang lama.

· Tekankan manfaat.

· Sajikan informasi melalui beberapa alat indera.

· Variasikan tingkat abstraksi.

Dalam pembicaraan informatif anda akan memusatkan pada pendemonstrasian dan pendefinisian berbagai istilah dan proses. Anda mungkin melakukan ketiga hal ini dalam satu pembicaraan anda pada deskripsi, demonstrasi dan definisi saja. Berikut ini contoh masing–masing dari ketiga macam pembicaraan itu:

· Pembicaraan Deskripsi

Dalam pembicaraan deskripsi, anda mencoba menjelaskan objek tertentu, kejadian atau proses tertentu. Berikut contohnya: Menguraikan objek atau orang, rukun islam, pribadi Rasulullah, urutan surat-surat al-Quran, denah ka’bah dalam Masjidil Haram, menguraikan peristiwa atau proses, perang badar, peristiwa nuzulul quran, pertama kali Nabi menerima wahyu, peristiwa isra’ mi’raj dan sebagainya.

· Strategi untuk penguraian

Berikut strategi untuk menguraikan objek dan orang dalam peristiwa dan proses:

· Gunakan pola spesial atau topikal apabila anda hendak menguraikan objek dan orang. Gunakan pola temporal apabila hendak menguraikan peristiwa dan proses.

· Gunakan beragam kategori deskriptif untuk menguraikan objek atau peristiwa. Misalnya tentang kategori fisik ka’bah kita bisa mempersoalkan hal-hal berikut kepada diri sendiri:

1.a. Bagaimana bentuknya?

1.b. Apa warna kiswahnya?

1.c. Berapa besarnya?

1.d. Berapa tingginya?

1.e. Apa nama-nama sudutnya?

1.f. Di mana posisi Hajar Aswad?

· Pertimbangkan penggunaan alat bantu audiovisual.

· Kita juga perlu mempertimbangkan pola jurnalistik dalam membuat laporan berita, misalnya siapa, apa, dimana, kapan, dan mengapa.

· Mengembangkan pembicaraan deskriptif 

Uraian di bawah ini menggambarkan bagaimana anda dapat menyusun pembicaraan deskriptif. Memelalui contoh ini, pembicara menguraikan empat langkah dalam membaca sebuah buku agama. Setiap butir utama merupakan salah satu langkah dalam membaca sebuah buku agama. Pola pemikirannya adalah temporal. Pembicara membahas butir-butir utama menurut urutan kejadian. Berikut ini bentuk kerangka bahasan:

· Mempelajari bacaan

· Membaca untuk pemahaman

· Membaca untuk mengingat

· Mengkaji ulang untuk bacaan

Pembicaraan Mengenai Definisi

Dalam mendefinisikan suatu istilah atau memberikan ceramah tentang definisi. Ini merupakan subjek yang baru bagi para jamaah pendengar yang mereka kenal tetapi disajikan dengan cara yang baru dan berbeda. Misalnya:

Mendefinisikan istilah:

Apakah ghibah?

Apa yang dimaksud dengan perizinan?

Macam-macam penyakit hati?

Apa rukun nikah?

Mendefinisikan rukun Islam

Apa yang dimaksud amal ibadah?

· Strategi untuk Mendefinisikan

· Gunakan beragam definisi.

· Pastikan definisi itu menambah kejelasan.

· Gunakan sumber yang dapat diprcaya dalam mendefinisikan.

· Mulai dari apa yang dikenal jamaah.

· Mengembangkan pembicaraan tentang definisi

· Penyembunyian

· Pemalsuan

· Penyesatan

Pembicaraan Demonstrasi

· Strategi untuk Demonstrasi

· Gunakan pola organisasi temporal.

· Sajikan gambaran umum kemudian bicarakan langkah-langkah satu per satu.

· Gunakan alat bantu visual yang memperlihatkan langkah-langkah proses secara berurutan.

· Mengembangkan pembicaraan Demonstrasi

Berikut adalah contoh pembicaraan demonstrasi di mana pembicara mendemonstrasikan bagaimana mendengarkan secara aktif.

Sasaran spesifik: Mendemonstrasikan tiga tekhnik secara aktif.

Tesis : Kita dapat mempelajari cara mendengarkan secara aktif.

· Menafsirkan maksud pembicara

· Menyatakan pengerteian atas perasaan pembicara

Mengajukan pertanyaan.

BAB V

SOSIOLOGI UMAT DAN DAKWAH

A. Umat dan Aspek-aspeknya

Massa, menurut Denis McQuaill, merupakan konsep yang ambivalen dan sarat konotasi. Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam ilmu sosial, sejak dulu hingga saat ini, kata massa memiliki makna positif dan negatif secara tegas. Makna negatifnya menurut sejarah berasal dari pemakaian kata massa dalam kaitan dengan kerumunan atau orang banyak, khususnya dalam pengertian sejumlah orang yang tidak treratur dan bebas.

Dakwah tidak hanya sebagai aktivitas semata, tapi dakwah adalah penyampaian nilai-nilai dan norma yang tertanam dalam agama dan dakwah buka pekerjaan yang kemudian menghasilkan banyak berlimpah uang. Tetapi bagaimana mencari ridho dan syari’ahnya, sehingga apa yang kita ketahui dapat diaplikasikan lewat ceramah.

Seringkali dakwah diartikan sebagai ceramah melalui radio, televisi atau Mimbar, di tengah lapangan. Secara sosiologis dakwah bukan sekedar penyampaiaan pesan agama meski di antara fungsi dakwah memang melakukan proses tersebut, namun secara sosiologis dakwah memilki arti yang sangat luas. Dakwah yang dikaitkan dengan komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massauntuk membuat prediksi massal dan untuk menjangkau kalangan umat dalam jumlah yang besar.

Istilah massa mecakup beberapa unsur masyarakat pendengar radio atau pemirsa televisi yang tidak saling terkait dari ketiga konsep yang ada. Massa berjumlah sangat besar, lebih besar dari kelompok, kerumunan atau publik. Para anggotanya tersebar luas dan biasanya tidak mengenal satu sama lain. Massa kurang memiliki kesadaran diri dan identitas diri serta tidak mampu bergerak bersama untuk mencapai tujuan tertentu.

B. Dakwah dan Khalayak Massa

Untuk menjelaskan fungsi dakwah sebagai komunikasi informal dan khlayak massa dari perspektif sosiologis dapat dikemukakan beberapa contoh studi sosiologis yang berisi informasi tentang komunikasimassa sebagai proses sosial.

Komunikasi Informasi dan Khalayak Massa

1. Para pemuka pendapat dalam kampanye pemilhan Umum

Ada dua penemuan yang menonjol dan sangat bermanfaat bagi peneliti komunikasi:

a. Diperhatikannya perhatian khusus pada peranan pemuka pendapat sebagai sumber informasi.

b. Beberapa penyempurnaan dari model komunikasi dua tahap, seperti dikenalnya (Depari dan Andrews;1978; 20)

2. Pola-pola pengaruh di sebuah kota kecil

Dalam pola ini orang yang mempunyai pengaruh merupakan bentuk dari kepercayaannya yang kemudian mampu memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Sehingga penyampaian dakwah lebih mudah dengan ditopang kemampuan yang matang.

3. Pengaruh Personal di Kota yang lebih luas atau Besar

Individu yang mempunyai pengetahuan yang lebih dari orang di sekitarnya, dia akan mempunyai nilai lebih terhadap teknik mempengaruhi, dan personal itu akan lebih mudah memppenngaruhikota yang lebih besar. Karena daya tarik dan simpati akan muncul dengan sendirinya.

4. Pencarian pendapat pengjindaran dan kepemimpinan pendapat

Para pengarang menyimpulkan bahwa pencarian pendapat haruslah dipandang sebagai peranan penting dalam arus pengaruh dan komunikasi personal.

5. Studi Interpersonal tentang pembuat pendapat(opinion makers)

Para pemuka pendapat akan banyak membaca dan mendengarkan untuk bahan pendapat agar mampu memberikan kontribusi yang signifikan.

6. Adopsi dan difusi inovasi

Konstribusi konseptual pokok yang kedua dari penelitian mengenai adopsi berasal dari pembahasan difusi sebagai proses sosial. Proses difusi inovasi atau gagasan dalam suatu komunitas dapat disegmentasikan ke dalam tahapan-tahapan untuk tujuan analisis.

7. Bagaimana berita menyebar

Penyebaran berita akan sangat berpengaruh terhadap perubahan daya fikir pada setiap kelompok atau individu. Karena berita merupakan bahan yang sangat diharapkan guna memahami yang ada diluar lingkungannya. Kelompok atau individu mempunyai faktor untuk dapat menyebarkan berita, dari cerita kelompok sampai media-media.



Aspek-Aspek Lain dari Khalayak Massa

Aspek lain dari khalayak massa adalah bentuk dari begaimana mereka berkelompok dan berinteraksi dengan orang lain dan menghasilkan pendapat yang lebih bagus.

Charles R.Wight menuturkan, selama beberapa dasawarsa belakangan ini banyak penelitian telah dilakukan dalam bidang analasis khalayak. Penelitian ini meliputi studi mengenal karakteristik demografis dan sosial khalayak media tertentu. Tumpang tindih di antara khalayak media, sifat penggemar dan bukan penggemar.

Banyak data telah dikumpulkan mengenal karakteristik demografis khalayak media massa. Kadang kala penelitaian ini memberikan gambaraan statistik mengenai khalayak perbandingan jumlah pria dan wanita.

Terpaan selektif, pola perilaku komunikasi yang sangat penting, perlu diperhatikan, sebelum kita menutup bagian ini. Wright selanjutnya mengatakan, belum jelas kombinasi faktor-faktor sosial dan psikologis yang mana menyebabkan pola-pola tersebut, mungkin terpaan selektif adalah suatu hasil sampingan karakteristik sosial para anggota khalayak.

Charles R. Wright mengatakan, jika kami kelihatan meruntuhkan hubungan antara komunikasi massa dan komunikasi personal maka hal itu memang disengaja. Terlalu mudah untuk menganggap khalayak media massa hanya mempunyai medium terpaan yang sama dan mengangap sebagai pengalaman komuniksai yang terpisah.

Rangkuman

Hipohesis two-step flow of communication pada intinya berfungsi sebagai berikut” bahwa suatu gagasan seringkali mengalir dari radio dan bahan cetak kepada para pemuka pendapat dan dari mereka ini mmenyebar kepada orang yang kurang aktif mengikuti media”

Everentt M. Rogers menegaskan bahwa, ternyata orang lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan antar pribadi dalam menentukan keputusan politiknya daripada media massa.

Robert K. Merton melalui penelitiannya telah menemukan adanya pemuka pendapat sebagai local influenttals (tokoh-tokoh) dancosmopolitan influesntials (tokoh kosmopolitan) dalam mempengaruhi perilaku anggota masyarakat antara local influeantials dengancosmopolitan influesntials menunjukkan perilaku komunikasi yang berbeda.