Tampilkan postingan dengan label Tulisan Teman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan Teman. Tampilkan semua postingan

Organisasi dan Media Kampus, Senjata Penting Demokrasi

0 komentar


“Penulis adalah insinyur jiwa manusia”


                Kutipan di atas saya ambil dari buku yang ditulis oleh Hong Liu tentang kehidupan Pramoedya A. Toer, dalam buku yang berjudul Pram dan Cina. Saya mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya hendak disampaikan oleh Pram melalui kutipan sederhana itu. Melalui metafora itu, Pram hendak menyadarkan para kaum terpelajar untuk bertanggung jawab pada masyarakat dan bangsa. Lantas tanggung jawab apa yang dimaksud? Tanggung jawab yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang yang terpelajar bersikap kritis terhadap sesuatu yang dianggapnya melenceng dari nilai moral, kebenaran serta demokrasi yang bertanggung jawab.

                Menurut Pram, penulis dan tulisannya adalah hal penting yang tidak dapat dipisahkan. Melalui buah pemikiran kritis dan dinamis yang dimiliki oleh seorang penulis maka akan menelurkan karya tulis yang menggugah, yang memiliki dasar kekuatan untuk menggerakan. Dari tulisan, jiwa manusia akan terbakar dan menyala-nyala. Dari sebuah tulisan, rasa empati dapat tumbuh. Dari sebuah tulisan, negara perlu waspada! Saat semua orang terinspirasi oleh tulisan yang lahir dari buah pemikiran yang kritis, saat itu pula jiwa kita bergolak dan tergerak. Tulisan menjadi wadah penulis untuk berekspresi, mencurahkan segala isi hati dan pikirannya.

                Tulisan sederhana ini terinspirasi oleh 140 karakter yang  ditulis oleh teman-teman mahasiswa  Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di situs jejaring twitter. Saya membaca timeline dan mem-follow sejmulah akun yang notabene adalah wujud dari organisasi kampus. Tweet yang disampaikan dalam akun tersebut secara garis besar bertujuan untuk membuat sebuah pergerakan. Mengajak semua elemen akademisi, terutama mahasiswa, untuk menyampaikan aspirasinya. Organisasi menjadi fasilitator untuk menampung  aspirasi dan tulisan yang nantinya diteruskan pada rektorat. Menurut saya, hal seperti ini adalah keren, menarik dan perlu diapresiasi positif. Seperti pada umumnya di universitas lain, UMN akhirnya juga punya wadah sebagai corong mahasiswa, agar komunikasi antara mahasiswa dengan pihak kampus dapat terjalin secara seimbang.

                Kita semua sadar, UMN adalah universitas yang belum lama berdiri. Usianya saja kurang lebih baru empat tahun. Ibarat anak kecil atau remaja, kampus ini masih dalam tahap mencari jati diri yang utuh. Tentu masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi. Inti permasalahannya terletak pada kurangnya transparansi dan kurang idealnya komunikasi yang terjalin antara mahasiswa dengan kampus. Tapi, semua itu bukan halangan. Hal ini terbukti dengan adanya semangat untuk menyeimbangkan peta kekuatan antara mahasiswa dengan otoritas kampus. Kehidupan intra kampus adalah arena kebebasan mimbar akademik yang demokratis. Dimana aspirasi dan suara tidak seharusnya ditutup-tutupi. 

Berorganisasi dan berpendapat adalah wahana pembelajaran mahasiswa untuk belajar berpolitik di dalam kampus. Dengan instrumen sistem organisasi kemahasiswaan yang egaliter yang merupakan wujud dari simulasi pemerintahan kecil yang ditandai dengan adanya student government. Lengkap menyerupai kelembagaan formal seperti layaknya sistem pemerintahan negara. Mulai dari badan legislatif mahasiswa dan badan eksekutif mahasiswa baik di tingkat universitas maupun jurusan. Selain itu masih dilengkapi oleh badan-badan kegiatan otonom mahasiswa seperti pers mahasiswa yang menerbitkan koran atau majalah kampus sebagai media tulisan.  Tentunya dari organisasi-organisasi ini diharapkan akan memunculkan pemikiran-pemikiran yang berani, muktahir, kritis dan relevan dengan keadaan yang berlaku saat ini.

                Saya melihat, sudah ada jiwa dari teman-teman mahasiswa UMN yang tergerak untuk sebuah perubahan. Semua mahasiswa, semua angkatan bersinergi untuk menyumbang aspirasi untuk mewujudkan cita-cita demokrasi yang sehat. Bukan memaki tetapi berjuang untuk mencapai tujuan bersama. Berharap, semangat itu tidak luntur dan terus berkobar sampai apa yang diperjuangkan tercapai.

                Sedikit hal yang bisa saya bagi sebagai gambaran usaha perjuangan mahasiswa dalam kancah perubahan Indonesia. Sejarah pernah mencatat pada tahun 1979-1980, muncul sebuah kelompok yang dikenal dengan sebutan Petisi 50 yang menuntut kebebasan berpendapat dan berpolitik yang lebih luas pada era orde baru. Kelompok ini terdiri dari politisi, aktivis mahasiswa, akademisi dan tokoh sipil yang bergabung untuk mengkritisi pemerintahan Soeharto melalui media cetak dan selebaran yang berisi kasian politik pemerintahan orba.

                Lahirnya Petisi 50 membuat Soeharto geram. Sebagai balasannya, Soeharto mencekal para penandatangan Petisi 50 yang terdiri dari 50 orang tokoh nasional termasuk mahasiswa. Tujuan dari kelompok ini adalah sebagai pressure group yang senantiasa hadir menekan pemerintah, sehingga membuat pemerintahan Soeharto sering direpotkan oleh pernyataan-pernyataannya yang tajam. 

                Pada tahun 1984, kelompok ini menuduh Soeharto telah menciptakan negara dalam satu partai. Memunculkan banyak penentang, hingga meletus peristiwa Tanjungpriok yang menewaskan sejumlah orang. Soeharto bereaksi keras, dan pencekalan pun tak terhindari. Semua anggota Petisi 50 dihilangkan hak perdatanya dan dimasukan kedalam penjara.

                Namun, apa yang sudah terjadi pada Petisi 50 tidak menyurutkan niat masyarakat terutama mahasiswa untuk membuat perubahan. Usaha terus dilakukan oleh setiap kampus melalui media kampus masing-masing. Berawal dari organisasi yang menjadi mimbar kebebasan berekspresi, menciptakan sebuah tatanan demokrasi yang didambakan, kemudian memunculkan aspirasi melalui tulisan yang tertuang di dalam media kampus. Mahasiswa menjadi pers yang tajam, mengingat media masa saat orba sangat dikekang dan dilarang untuk menyinggung pemerintah. Pers mahasiswa menjadi kendaraan untuk melemparkan suara kemerdekaan berpendapat.

                Setidaknya dapat dicatat di UGM pada tahun 1986, terdapat 47 penerbitan fakultas dan jurusan. Para penerbitan dari masing-masing fakultas itu kemudian mengadakan Seminar Pers Mahasiswa se-UGM yang sepakat untuk menerbitkan media tingkat universitas, berbentuk majalah yang berorientasi intelektualisme, bukan politik. Majalah yang terbit pertama kali Balairung, pada 8 Januari 1986. Sampai dicabut ijinnya, Juli 1990, Balairung terbit sekitar 14 kali dengan tiras sebesar 2500-5000 eksemplar.

                Dari sejarah di atas, saya ingin menggaris bawahi, bahwa organisasi kampus dan media kampus merupakan senjata terpenting untuk melahirkan demokrasi yang diidam-idamkan. Di sinilah semua aspirasi ditampung dan disiarkan. Di sinilah kebebasan berpendapat dijunjung tinggi. Dari sebuah pemikiran yang kritis, lalu kemudian dituangkan dalam tulisan maka sebuah pergerakan akan lahir.

                Mari, secara bersama-sama kita ciptakan nuansa demokrasi yang bebas, sehat dan bertanggung jawab. Belajar dari pengalaman yang sudah pernah terjadi, bahwa sebuah rezim dapat tumbang hanya karena pemikiran yang kritis dan cita-cita reformasi yang menjunjung moral serta etika. Mari kita tumbuhkan suasana demokrasi di lingkungan kampus untuk menciptakan arus komunikasi dua arah yang seimbang. Organisasi kampus dan media kampus, sekali lagi, memiliki peran penting untuk terciptanya sebuah pergerakan dan perubahan. Semoga api semangat dalam diri kita tidak pernah padam hingga perubahan yang kita cita-citakan tercapai.



Albertus Magnus Prestianta

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara,
Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik 2007

Sepucuk Surat dari Tokyo

0 komentar


Ditulis oleh : Mikial Maulita

PERAWAKAN lembut, dengan tinggi semampai, sekitar 165 centimeter. Wajahnya telihat ceria ketika saya menjumpainya, akhir 2008 lalu. Mengenakan kacamata, perempuan asal Meraxa, Banda Aceh ini, sedang mengajar Bahasa Arab, bagi dua orang mahasiswa Komunikasi, IAIN Ar-Raniry. Dia bukanlah dosen, melainkan salah satu mahasiswa. Tak sampai setahun menempuh pendidikan di Bumi Serambi Mekkah, ia memperoleh beasiswa, untuk melanjutkan kuliah di Washeda University, Tokyo, Jepang.
Dari Negeri Sakura itu, lima Februari 2012 kemarin, dia melayangkan surat elektronik, berisi kisah ‘heroik’ nya, dalam memaknai musibah raya, tsunami. Dari Tokyo, Jepang, surat tersebut sebetulnya telah ditulis sejak Rabu, 13 Juli 2011 silam.

Berawal dari rasa kehilangan, perempuan ini mencoba bangkit, untuk mewujudkan mimpinya, yang dulu pernah ia gadangkan pada orang yang dia cintai. Berikut petikan lengkap suratnya. [redaksi acehkita.com]
***        
Seorang anak perempuan tomboi akhirnya memilih belajar di pondok pesantren setelah menyelesaikan belajarnya di bangku Sekolah Dasar (SD). Ketika itu, semua orang dibuat terkejut oleh pilihannya. Bahkan, hampir semua teman-teman sekelasnya tidak percaya ia akan lulus di sekolah barunya itu. Tapi, sosok anak perempuan tomboi itu tak pernah menyurutkan niatnya untuk mengecap ilmu dis alah satu pondok pesantren terpadu di tanah kelahirannya.

Ia memilih pesantren Al-Falah Abu Lam U, sebagai tempat ia menimba ilmu. Walhasil ia pun diterima sebagai santri di sekolah barunya itu. Keluarga besar dan juga teman-temannya bangga akan hasil kerja keras dan kesungguhannya. Bahkan mereka juga menyempatkan waktu untuk mengantar ia ke rumah barunya, di suatu desa terpencil di Aceh Besar, yang dikelilingi oleh petakan sawah masyarakat sekitar. Tak ada yang tahu, kenapa ia memilih daerah terpencil itu sebagai tempat ia menuntut ilmu. Perempuan tomboi itu adalah saya, Mikial Maulita, si penulis surat ini.

Tapi, kehidupan pesantren yang dipenuhi dengan seribuan disiplin membuat saya tidak betah berlama-lama menetap di situ. Bahkan saya juga meminta izin kepada orang tua untuk meninggalkan pondok itu. Tapi ayah dan ibu selalu mengingatkan saya dengan seribuan harapan, yang menjanjikan kesuksesan agar saya tetap bertahan untuk menjadi seorang santri. Saya pun menurutinya, walau terkadang saya kembali merayu mereka agar mengizinkan saya untuk pindah. Akan tetapi, lagi-lagi saya gagal, dan mendengarkan segala nasehat yang disampaikan sang ayah – Almarhum Saulida.

Tak terasa, sudah hampir tiga tahun saya menuntut ilmu di sekolah pilihan saya itu Sebentar lagi, saya akan menyelesaikan belajar di bangku SMP. Lamanya waktu berjalan ternyata tidak pernah membuat saya lupa akan niat untuk meninggalkan jati diriku sebagai santri. Ketika ayah dan ibu berkunjung ke pesantren, saya kembali mengatakan keinginan yang dulu untuk meninggalkan pondok dengan alasan yang berbeda. Saya tidak lagi mengatakan tidak betah berlama-lama hidup terkurung di pesantren, tapi saya hanya bilang, “Adik ingin merasakan pengalaman yang berbeda di luar sana,” begitu kata saya.

“Ayah mau adik tetap sekolah dan belajar di pesantren ini. Insya Allah ika tiba waktunya, adik akan merasakan pengalaman yang jauh lebih berharga dari pada yang adik harapkan saat ini. Ayah mau adik menyelesaikan sekolah di pondok ini hingga wisuda nanti,” begitu kata ayah. Saya hanya terdiam saat ayah berkata seperti itu, tidak sempat pun saya meng-iyakan amanahnya. Akhirnya saya hanya menyalami tangan kedua orang tua saya sebelum mereka berpamitan.

Seminggu setelah ayah dan ibu berkunjung ke pondok, tanah kelahiran saya, Aceh, dilanda musibah gempa dan tsunami. Bumipun bergoncang pagi itu, tidak ada yang menduga bahwa air laut akan memporak-porandakan sebagian isi kota serta menghilangkan ratusan ribu jiwa. Namun, setelah Ustadzah Aan, salah seorang guru menyampaikan kabar duka bahwa tsunami melanda tanah kelahiran saya, saya hanya bisa berdoa dan berharap agar ayah dan ibu baik-baik saja, dan selalu berada di bawah lindungan Allah. Hingga waktu berganti sore, tak ada kabar apapun tentang mereka. Yang datang saat itu adalah kabar duka untuk beberapa teman saya yang kehilangan orang tuanya pascamusibah tersebut. Saya berusaha menghibur dan memotivasi sang teman di saat perasaan dan pikiran saya sendiri yang tak tenang memikirkan kesalamatan orang tua saya.

Akhirnya haripun berganti, namun belum juga ada kabar tentang mereka. Tiba-tiba dari kejauhan asrama putri, saya melihat seorang sosok yang sangat saya kenal, ia adalah abang saya, Indriansyah. Dari ialah saya memperoleh kabar bahwa ibu, almarhumah Rosnainar, telah menjadi korban dasyatnya gelombang tsunami yang melanda Aceh. Saya jatuh dan terpuruk, akan tetapi tak ada tetesan air mata yang mengalir di pipi, melainkan hanya diam seribu diam yang saya tunjukkan kala itu. Saya masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh sang abang. Bahkan diam-diam saya masih tetap meyakinkan bahwa ayah dan ibu pasti akan selamat dari musibah tersebut. Hanya doalah yang menjadi senjata saya untuk memperjuangkan harapan besar yang saya punyai saat itu.

Pascamusibah gempa dan tsunami, hari-hari seakan menjadi kelam, tidak ada lagi canda tawa bersama teman-teman. Namun harapan akan keselamatan kedua orang tua masih tetap saya pegang teguh di dalam hati dan jiwa. Bahkan saya memilih menetap di pesantren untuk menunggu kedatangan ayah dan ibu. Hari terus berganti, namun tidak ada sedikitpun tanda akan kedatangan mereka. Saya terus menunggu dan menunggu, hingga akhirnya kakak perempuan saya, Vera Apriana, yang tiba kesana. Ketika saya tahu ada lagi keluarga saya yang selamat, saya bersyukur kepada Rabbi, karena Allah masih memberikan saya tempat mengadu. Pertemuan dengan sang kakak tidak juga membuat saya berubah pikiran karena keputusan saya menetap di pesantren untuk menunggu ayah dan ibu tidak pernah berubah, bahkan ketika sang kakak mengajak saya pulang ke rumah.

Dua minggu sudah berlalu pascamusibah gempa dan tsunami, namun ayah dan ibu belum juga menjenguk ke pesantren. Biasanya, mereka selalu berkunjung setiap satu minggu sekali, tapi kali ini keadaan telah berbeda, meraka tak kunjung juga datang. Harapan besar yang saya miliki saat itu pun semakin membuat saya ragu akan keselamatan mereka. Ketika itu, suasana di pesantren semakin sepi. Semua santri dibolehkan pulang ke rumah masing-masing. Bahkan semua teman-teman satu angkatan saya pun ikut menghilang, pulang bersama keluarganya. Saya hanya ditemani oleh beberapa para guru yang tetap setia menemani untuk menunggu kedatangan orang tua saya. Tak ada tangisan dan keraguan yang saya tampakkan di depan mereka. Saya hanya bisa menangis, di saat saya tak bersama mereka. Menangis di dalam doa untuk keselamatan ayah dan ibu, yaaa, saat itulah yang saya pilih untuk menumpahkan air mata.

Sore harinya, seorang teman, Mustika Adilla, dan kakaknya Nila Angggraini berkunjung ke pesantren. Mereka terkejut saat melihat saya masih berada di situ dengan para pembimbing pondok. Dila dan kakaknya mengajak saya tinggal bersama keluarga mereka. Saya menolak ajakan itu. Alasan saya masih tetap sama: saya ingin menunggu sampai ayah dan ibu yang menjemput. Walaupun demikian, ternyata sang teman dan kakaknya tidak juga menyerah. Keesokan harinya mereka kembali dan lagi-lagi mengajak lagi, untuk ikut bersama mereka. Para guru pun mendukung ajakan teman saya itu, dengan alasan akan membantu menunggu kedatangan ayah dan ibu di pesantren. Akhirnya saya pun menyerah dan ikut bersama mereka.

Setibanya di rumah sang kawan, Ibu Ernawilis, orang tua teman saya itu menyambut kedatangan saya dengan ramah. “Anggap saja keluarga ini seperti keluargamu sendiri nak,” kata ibu Ernawalis. Ketika mendengar ucapan itu, rasanya ingin sekali menangis. Tapi melihat senyum keikhlasan dari keluarga itu, membuat saya tidak ingin menjatuhkan setetes air mata pun di depan mereka. Saya kembali menampakkan ketegaran di depan semua orang. Akhirnya keluarga mereka menjadi keluarga baru saya.

Satu bulan berlalu pascamusibah itu, semua santri kembali ke pesantren dan melanjutkan proses belajar-mengajar yang sempat berhenti akibat musibah gempa dan tsunami. Walaupun keadaan di pondok terlihat seperti biasanya, namun semangat hidup saya tidak lagi seperti dulu. Saya tidak lagi menyempatkan waktu bersama teman-teman untuk bersenda gurau, saya lebih memilih untuk sendiri dibanding berbagi cerita dan tertawa bersama mereka. Kini si gadis tomboi yang periang itu telah berubah, tidak ada lagi tawa lebar yang ia berikan untuk kehidupan.

Tidak terasa enam bulan telah saya lalui dengan seribu harapan akan keselamatan ayah dan ibu. Namun, mereka tidak kunjung juga datang memberikan kabar gembira, dan mengembalikan cahaya matahari yang pernah berkabut untuk menjadi cerah kembali. Saya terus menunggu mereka di tempat mereka pernah mengantar saya untuk menuntut ilmu.

Ketika hari terus berganti, tiba-tiba pihak pesantren mendapatkan undangan bagi anak-anak korban tsunami, untuk mengikuti Ashinaga International Summer Camp di Jepang. Saya terpilih sebagai salah satu peserta dari 26 orang santri. Tanggal 30 Juni 2005 silam, kami pun berangkat ke Negeri Sakura. Rasanya seperti mimpi karena bisa melihat negara lain yang jauh dari tanah air.

Ternyata, tidak sia-sia saya berkunjung ke Jepang, banyak hal yang mengajarkan saya akan arti semangat hidup, dimulai dari mengejar mimpi hingga kesadaran untuk tidak boleh berlama-lama larut di dalam kesedihan.

Di sana, saya bergabung dengan anak-anak yatim dari 19 negara lainnya. Kami saling membagikan pengalaman pahit yang pernah kami punya. Saya mulai sadar akan arti semangat hidup saat mendengar cerita salah seorang anak India yang kehilangan ibu-nya ketika tsunami melanda kampung halamannya.

Memang, bagi saya, ia masih terlalu kecil untuk kehilangan ibunya. Luar biasa, ketika ia terlihat begitu tegar dan sabar. Ketika itu saya sadar, bahwa saya harus bisa menjadi seperti anak kecil itu. Lalu, saya pun kembali mengingat tentang cita-cita yang pernah saya impikan. Saya bertekad ingin membuat mimpi itu menjadi nyata. Begitulah perjalanan singkat saya ke Negeri Sakura. Ada banyak perubahan yang ada dalam tekad saya, ketika saya kembali pulang ke Aceh. Salah satunya, meningkatkan usaha belajar, walau tak ada lagi orang tua yang selalu mendukung. Saya sadar, bahwa saya masih punya teman-teman dan guru yang selalu mendorong dan memberikan saya motivasi untuk kembali bangkit dari kesedihan.

Tidak terasa, sudah 3 tahun lamanya saya hidup tanpa bimbingan dan kasih sayang dari ayah dan ibu. Namun, saya selalu merasa bahagia karena berhasil menjalankan amanah terakhir sebelum ayah pergi. Hari itu, jati diri sebagai santri telah usai, akhirnya, saya wisuda dengan predikat “jaid jiddan” atau, “baik sekali.”  Walau tak ada ayah dan ibu, saya tetap bahagia, karena keluarga baru saya hadir di hari itu. Tapi, ada sedikit kesedihan di hati, saat saya tak bisa melihat senyum kebahagian dari ayah dan ibu di hari saya melepaskan gelar santri yang selama enam tahun lamanya saya sandang, tahun 2008 lalu.

Setelah semua usai, saya pun memperoleh beasiswa S1 di salah satu universitas ternama di Jepang. Dan kini saya telah menjadi mahasiswi Universitas Waseda di Tokyo. Saya terus berusaha untuk mengejar mimpi yang pernah singgah di hidup saya. Namun, perjalanan saya memang belum berakhir sampai di sini. Saya ingin membuktikan kepada anak yatim di dunia, bahwa kita tidak perlu berputus asa untuk semangat dan bermimpi. Karena, kehilangan orang tua bukanlah alasan untuk membuat kehidupan menjadi lebih buruk. Saya percaya, ayah dan ibu akan selalu tersenyum bahagia dengan prestasi yang bisa saya raih sampai saat ini. Terima kasih untuk kehidupan yang selalu mengajari saya banyak hal tentang warna-warni hidup. [acehkita.com]
Tokyo, Rabu, 13 Juli 2011


Liburan Yang Mengesankan

0 komentar


            Oleh : Azzuhri
         Dari kejauhan, tampak seorang anak laki-laki berbadan kecil asyik mondar-mandir memindahan buku dari rak ke mejanya, dan menaruhnya kembali seraya mengambil buku lain di perpustakaan kampus. Entah apa yang sedang ia cari. Hampir tiap hari ia di sana, sendirian, tanpa peduli apapun pada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Ia adalah Zuhri, salah seorang mahasiswa Komunikasi & Penyiaran Islam (KPI) di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang sekarang telah mengenyam semester VI.

            Kemantapannya untuk mengejar gelar sarjana memang tak diragukan lagi. Hal ini terbukti dengan hasil nilai yang ia peroleh persemesternya. Bahkan tak hanya sampai di situ, dalam hatinya ia juga berambisi untuk melajutkan pendidikanya ke jenjang yang lebih tinggi, jika nanti perkuliahannya yang sedang ia jalani saat ini usai. Tapi ia bingung, mau peroleh biaya dari mana untuk itu. Apalagi ayahnya yang tidak lama lagi akan memasuki masa pensiun, dan adiknya yang saat ini masih kelas 3 SMA sebentar lagi juga akan berkuliah.

            “Kamu sekarang, fokus saja dulu sama kuliah mu. Nantik kalau kuliah mu usai, baru kerja. Ayah tidak ingin nanti kamu memperoleh nilai jelek, jika kuliah sambil bekerja. Ayah masih sanggup mengulihkan mu untuk jadi sarjana, tapi kalau kamu mau ambil S2 nanti, itu baru ayah tidak bisa pastikan apakah ayah sanggup membiyai mu atau tidak.” Ucap ayahnya. Keinginannya untuk bekerja sambil kuliah terpaksa kembali ia urungkan, ia tak ingin membantah amanah dari sang ayah. Walau di satu sisi, ia telah berniat mengumpulkan uang untuk biaya perkuliahannya nanti.

            Ia sangat ingin membahagiakan kedua orang tuanya, selagi mereka masih berada di antaranya. Bahkan setiap shalat ia memanjatkan do’a dan mengutarakan niatnya kepada sang penguasa. Ia bertekad suatu saat nanti ingin menaikkan haji kedua orang tuanya itu. Jika nanti telah memiliki pekerjaan, dan memiliki uang yang cukup. Namun saat ini, rasa terimakasih yang dalam kepada kedua orang tuanya itu, hanya mampu ia utarakan dalam bentuk prestasi yang dapat ia peroleh, dengan pengharapan dapat membentuk ukiran senyum kebahagian di raut wajah kedua orang tuanya.

            Satu semester telah berlalu, masa liburan kinipun tiba. Ia segera bergegas mengemas barang-barangnya untuk pulang ke Labuhanhaji kampung halamannya, untuk membantu ayahnya bekerja di gunung. Sang ayah di samping berprofesi sebagai guru, ia juga bekerja di gunung sebagai petani pala demi mencari uang tambahan. Namun kejadian beberapa bulan lalu, membuat ayahnya takut untuk pergi sendirian ke gunung. Karena ada warga desa yang diterkam harimau di saat pergi ke gunung.

            Setibanya di kampung, Zuhri mengambil waktu dua hari untuk beristirahat agar kondisi tubuhnya kembali fit untuk mendaki gunung. Dua haripun berlalu, ia dan sang ayah akhirnya berangkat ke gunung dengan dibekali nasi bungkus ala ibundanya tercinta. Setibanya di sana, terlihat kulit buah pala berserakan di mana-mana, ternyata pohon palanya telah duluan dicuri orang. Perjalanan jauhnya mendaki gunung ternyata harus ia terima dengan kondisi pala yang telah dicuri orang. Tak ingin terlalu pusing memikirkan itu, ia pun mengambil parang dan membersihkan semak-semak di areal lahan gunungnya itu.

            Haripun berkisah sore, ia dan sang ayah akhirnya memutuskan untuk pulang. Disela-sela perjalanan pulang, Zuhri tergoda melihat aliran air pegunungan yang sejuk, ia pun akhirnya tertarik untuk mandi dan kemudian shalat. Lokasi gunung yang tak pasti membuatnya bingung untuk memastikan kemana arah kiblat. Akhirnya ia menghadap kemana yang ia sukai.

            Hari semakin gelap, ia bergegas pulang sebelum hari ditutupi malam. Jalan pembatang sawah yang sangat kecil, sesekali membuatnya terjungkal ke dalam sawah. Setelah pejuangan panjang melintasi pembatang sawah ia lintasi, akhirnya ia pun tiba di rumah. Sang ibu yang telah lama menunggu telah menyiapkan santapan pisang molen dan secangkir teh hangat untuknya. Begitulah kecintaan sang ibu ini kepada anak yang saat ini ia harap-harapkan itu.
            “Kring..., Kring..., Kring...,” Handphone Zuhri berdetang keras, Ismunandar teman lamannya mengajaknya keluar di malam itu. “Kemana kita rencana malam ini Is?” tanya Zuhri gamblang. “Main Play Station gimana? Kali ini aku ingin kalahkan kamu,” ujar Ismunandar yakin. Tawaran itupun diterima baik oleh Zuhri. Dari dulu Ismunandar tidak pernah menang melawan permainan Zuhri.

            Tak lama, waktu permainan mereka pun berakhir. Ismunandar kali ini masih saja kalah. “Aku nyerah dech...,” ucap Ismunandar malu. Zuhri dan Ismunandar akhirnya menghentikan permainanya dan berniat menuju pos ronda untuk gabung dengan pemuda di desanya. Dalam perjalanannya menuju pos ronda, ia bertemu Hendra dan Jufri yang saat itu sedang membeli minyak tanah di kios Cut Dan. Hendra dan Jufri merupakan teman Zuhri semasa SMA dulu, tapi sekarang mereka kuliah di tempat yang berbeda. Hendra kuliah di Universitas Sumatera Utara, Medan dan Jufri di Universitas Malikul Saleh, Lhoksumawe. Musim libur kali ini akhirnya mempertemukan mereka kembali setelah setahun lamanya mereka tidak pernah bertemu.

            “Ndra... Jefri... mau kemana kalian..??” sapa Zuhri ramah. Hendra dan Jefri terpelongok kaget, melihat Zuhri teman SMA-nya itu tiba-tiba nongol di depan mereka yang sedang sibuk mengisi minyak ke dalam obor. “Eh... Kapan pulangnya kamu sob??”, “kami mau ke Lhosaya ni, gunungnya si Hendra lagi musim durian sekarang. Ikut yok??.” Ajak Jefri dan Hendra penuh harap. “Baiklah, tapi aku pulang dulu ya, minta izin sama orang rumah, sekalian mau ambil parang.” Jawab Zuhri merespon.

            Tak berapa lama Zuhri kembali, dan merekapun akhirnya berangkat. Setibanya di sana, ternyata sepupunya si Hendra, si Brams dan Said sudah duluan berada di sana sedang asyik bermain domino. Sesaat mereka bangun dan saling bersalaman sebagai tanda keramah-tamahan. Zuhri dan Jefri juga memilih ikut main bersama mereka untuk menghilangkan suntuk. Sedangkan Ismunandar dan Hendra, mereka memilih memainkan gitar dan bernyanyi sambil menunggu buah durian jatuh.

            Sekitar sejam berlalu, Zuhri dan teman-temannya terperanjat kaget. Masyarakat desa, yang tinggalnya agak sedikit dekat dengan pegunungan, rame-rame mengepung Zuhri dan teman-temannya dan kemudian memeriksa segala barang bawaan mereka. Di antara masyarakat menyita domino dan gitar mereka. Hendra sang pemilik gunung bangun dan bertanya kepada salah seorang masyarakat, “Ada apa Pak?”, Kenapa gitar dan permainan domino kami diambil?”. “Itu sudah menjadi aturan kami di sini, tidak boleh membawa barang-barang yang begituan, jadi siapapun yang kesini harus mengikuti itu semua,” tegas  salah seorang masyarakat, yang kelihatannya memimpin gerombongan itu.

            Malam pun akhirnya berlalu sunyi bagi Zuhri dan teman-temannya, tak ada musik dan permainan yang dapat di mainkan untuk membelah kesunyian di malam itu. “Brams, tolong cuci semua peralatan masak dan makan kita,” ucap Hendra kepada salah seorang sepupunya itu. “Tadi baru saja kami cuci di rumah sebelum ke sini, jadi ngapain dicuci lagi?” jelas Brams sambil bertanya. “Daerah ini berbahaya, kalau tidak kita cuci lagi nanti bisa-bisa kita kenak tubo, karena kita tidak tahu apakah masyarakat tadi orang baik-baik atau tidak. Dan mungkin saja di antara mereka ada yang menaruhnya di peralatan dan makanan kita, namanya juga ilmu setan,” jelas Hendra agak sedikit panjang.

            Perlahan-lahan Zuhri mendekati Hendra yang masih menggerutu dengan kejadian tadi, seraya ingi tahu lebih banyak. “Ndra tubo itu apa sih?” tanya Zuhri bingung. “Tubo merupakan sejenis racun yang dapat mematikan bagi manusia, dan biasanya ditaruh dalam makanan dan minuman dengan sedikit jampe-jampe. Ilmu ini merupakan ilmu yang secara turun temurun diwariskan sang pemiliknya kepada salah seorang keluarganya, bisa itu kepada anaknya, atau cucunya. Dan jika tidak diwariskan, sang pemilik ilmu tidak bisa meninggal sebelum ilmu ini diwariskan,” Hendra mencoba menjelaskan kepada Zuhri sedetail mungkin.

            Tiba-tiba dari arah gunung yang berada di atas pegunungan tempat Zuhri dan teman-temannya menghuni durian, tampak dua orang remaja berlarian kencang. Zuhri dan teman-temannya pun serentak kaget dan kemudian menegur mereka seraya bertanya. “Ada apa...??” tanya Hendra yang sepertinya mengenal sosok kedua remaja itu. “kami tadi baru saja dari atas sana, tapi tiba-tiba saja pelita yang kami gunakan ini mati sendirian, padahal angin tidak ada, minyak masih ada, kan aneh, kami rasa itu pertanda buruk, yang bahwa harimau ada di sini,” jawab mereka sambil terengah-engah dan melanjutkan larinya. Zuhri dan teman-temannya pun mulai merinding ketakutan, sesaat setelah itu mereka pun saling bergegas memilih tempat tidur yang berada di tengah-tengah sambil bersenda gurau. Zuhri yang saat itu kalah cepat memilih tempat yang berada di tengah, hanya bisa pasrah saja untuk tidur di tepi.

            Ketika teman-temannya telah tertidur pulas semua, Zuhri bangun dan menggeser Si Jefri yang berada di tengah, agar dia kebagian tempat di tengah. Ternyata dari tadi Zuhri belum juga tidur, posisinya yang saat itu berada di tepi membuatnya was-was, matanya bergerak liar ke kiri dan ke kanan mengontrol apakah ada sesuatu yang janggal. Tapi saat ini ia merasa lega, karena telah berada di tengah.

            Mata cina yang terus semakin mengecil membuat Zuhri tertidur pulas hingga pagi menyonsong. Dinginnya cuaca pagi membuat Zuhri tersentak bangun, ia langsung menuju aliran air di dekat jambo untuk mencuci wajah dan kemudian membangunkan teman-temannya. Sambil menunggu teman-temannya mencuci wajah, ia mencoba memungut buah durian yang jatuh sejak tadi malam, yang belum sempat mereka ambil. Hendra, teman Zuhri sang pemilik durian, akhirnya membagikan kepada Zuhri dan teman-temannya buah durian secara sama rata. Mereka pun akhirnya pulang kerumah masing-masing dengan membawa durian.

SENYUMAN MANIS MENGAYUNKAN LANGKAH DISAAT MATAHARI TERBIT

0 komentar


Oleh : Abdullah


Senja berlalu, malampun tiba, tiupan angin yang membawa kesejukan sampai mentari  terbit begitu menghangatkan, pria yang lahir 15 Desember yang diberi nama  Abdullah, terbangun dari tidurnya disaat mentari menyinari bumi menikmati  suasana pagi sambil ngopi..

Detik demi detik jarum jam terus berputar, hangatnya mentari membuat pria itu lalai dengan suasana pagi begitu indah pada saat itu, sampai-sampai tidak terasa waktu terus berlalu.
Tidak lama kemudian, pria yang berkulit putih tersebut mencoba untuk melangkah mencari arti hidup yang sesungguhnya.

Pria yang lahir di sebelah mata hari terbenam tersebut, pertamanya tidak ada minat untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi, karna kondisi ekonomi keluarganya tidak mendukung, bercita-cita untuk menggapai bintang di langit, dan ia juga berpikir hal yang biasa dilakukun oleh almarhum ayahnya, keluarga yang sembilan bersaudara ini, setelah mereka  lulus dari SMP, almarhum ayahnya  tidak mengijinkan seorangpun anaknya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, almarhum lebih menganjurkan kepada anak-anaknya untuk masuk ke Pasantren, mengingat hal tersebut pria berkulit putih itu begitu sulit untuk melangkah lebih jauh. Pria yang sering di sapa oleh teman-temannya dengan sapaan Adul, Akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan sejenak kampung tercinta, pria yang berkelahiran 15 desember ini berkeinginan untuk bekerja di sebuah desa, yang pada umumnya aktivitas masyarakat desa tersebut mereka bekerja membuat bata dari tanah yang bewarna kuning bagi mereka itu adalah emas yang sangat beharga.

Pria yang baru bertamu di desa tersebut, tinggal bersama kakaknya yang telah lama menghunikan desa itu, pria yang kelihatannya begitu lelah, akhirnya dia membaringkan tubuh sejenak untuk beristirahat. Keesokan harinya, suasana mulai terasa beda, pria tersebut menikmati secangkir kopi dan hangatnya mentari. Tak lama kemudian mencoba mengayunkan langkah untuk mencari aktivitas di desa tersebut, kakaknya yang telah lama  berpisah denganya itu, mengajak ia pergi disebuah tempat yang biasa kakaknya beraktivitas setiap matahari terbit sampai matahari terbenam.

Kakaknya bekerja membuat benda yang berbentuk segi empat yang di buat dari tanah liat. Kakaknya melakukan pekerjaan tersebut dengan senyum manis, yang membuat pria itu semangat untuk mencobanya. Waktu terus berlalu, mataharipun mulai mengambil posisinya disebelah barat dan mereka bergegas untuk pulang.

Esok harinya, pria tersebut begitu semangat untuk bekerja, disaat mentari mulai menyinari, pria itu mengayunkan langkah demi langkah tidak menunggu ajakkan dari kakanya, ia langsung pergi melakukan pekerjaan yang dilakukan selama ini oleh kakaknya, begitu berat baginya karena belum terbiasa. Tak lama kemudian kakaknya datang dia terkejut, lalu kakaknya menyapa dengan senyuman manis yang membuat dia semangat untuk bekerja lebih keras lagi. Hari demi hari ia lalui dengan penuh semangat  bekerja keras, tidak peduli dengan keadaan dan waktu.

Waktu terus berlalu, disuatu ketika pria tersebut duduk termenung memikirkan bagaimana hidup seseorang tanpa ilmu. Pria itu teringat ketika guru pengajian TPA nya bilang, “ Ilmu adalah sebuah cahaya yang menerangi kegelapan,  tanpa ilmu dunia ini terasa gelap”.
Detik jam terus berputar, pria tersebut masih duduk terpaku merenungkan bagaimana nasibnya kedepan.

Beberpa bulan kemudian, akhirnya ia  mencoba  mencurahkan sedikit keinginan hatinya  untuk pergi melangkah mencari cahaya menuju pejalanannya kedepan, kepada kakak yang selalu memberikan senyum menis untuknya. Keesokan harinya, disaat mentari mulai menyinari bumi, pria tersebut dengan wajah begitu semangat tak sabar lagi ingin berjumpa dengan Ibu dan saudara-saudara untuk melepaskan rasa  rindu, dan mencurahkan keinginan hatinya yang selama ini terpendam.

Disaat pertengahan tahun mulai tiba, anak kedelapan dari sembilan bersaudara tersebut berangkat dari kampung halamannya meninggalkan Ibu dan saudara – saudaranya, pria yang  tak sabar lagi ingin melihat merasakan keindahan yang selama ini oleh kawan – kawannya.
Waktu senja terasa lama berlalu, detik jarum jam terus berputar hingga malam tiba, dia tertidur lelap hingga pagi menyapa, Banda Aceh pun tiba.
Seminggu kemudian, pintu Fakultas Dakwah terbuka dan Jurusan KPI menyambutnya dengan senang hati sampai detik ini.
                 

Separuh dari Jalan Hidup Si Bungsu

0 komentar



Oleh : Rahmatul Akbar

Hari kamis  pukul  10.15 Wib, di desa Lamnga bertambah seorang penduduknya lagi. Tepat di tanggal 4 Oktober 1990 di sebuah gubuk yang sederhana, bayi berjenis kelamin laki-laki itu lahir dengan selamat setelah perjuangan seorang wanita  separuh baya yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk hadirnya bayi mungil tersebut. Setelah bayi tersebut di bersihkan oleh seorang bidan desa, tiba – tiba seorang pria mengambil bayi tersebut dan mengumandangkan azan di telinga kanan bayi tersebut dan iqamah di telinga kirinya. Pria itu adalah ayah kandung dari bayi tersebut,  Saridin Harun namanya. Ia menggendong bayi mungil tersebut dengan penuh kegembiraan dan kesenangan. Ia begitu besyukur karena bayi dan istrinya selamat dengan sehat tanpa kurang sedikit pun.

Bayi tersebut  di beri nama Rahmatul Akbar yang artinya rahmat yang sangat besar. Nama bayi tersebut di ambil dari bahasa arab karena semua nama keluarganya di ambil dari bahasa arab. Bayi mungil tersebut di besarkan dengan kasih sayang seorang ibu yang dengan tulus di curahkan kepada bayinya itu. Dia di besar kan di dalam lingkungan keluarganya yang selalu menyayanginya karena dia menjadi anak bungsu dari empat bersaudara. Dan ia tumbuh dalam lingkungan yang sangat baik dan taat beragama. Desa lamnga menjadi tempat ia tumbuh dan berkembang. Walaupun ia berasal dari daerah pesisir, namun ia tidak bisa berenang seperti layaknya anak pesisir. Itu menjadi salah satu kelemahan dia.

Lambat laun bayi tersebut tumbuh dan berkembang menjadi seorang anak kecil dan ia pun masuk sekolah dasar (SD) di desa tempat ia di lahirkan. Sebelum masuk SD  anak kecil ini lebih dulu di masukkan ke taman kanak-kanak (TK)  oleh orang tuanya. Ia menjadi anak yang suka bergaul dengan semua temannya. Dia rupanya punya hobi yang besar terhadap permainan bola kaki, bahkan ia bercita-cita ingin menjadi pemain bola hebat di waktu besar nanti dan bisa mengharumkan nama daerah nya. Dan ingin mengangkat piala di depan orang banyak.

Hari terus berganti, Tahun pun terus berputar. Tanpa di sadari anak kecil ini sudah tamat SD. Tapi ia bingung mau melanjutkan kemana pendidikannya. Namun karena kakak dan abangnya tamatan pesantren, maka  si bungsu ini tidak mau kalah dengan saudara-saudara kandungnya. Ia pun ingin masuk ke pesantren seperti saudara kandungnya itu. Ia memilih salah satu pesantren terpadu yang ada di Banda Aceh. Karena abangnya alumni pesantren Darul Ulum, maka ia berprinsip untuk tidak masuk pesantren yang sama dengan tempat abangnya dulu pernah belajar. Ia lebih memilih pesantren Inshafuddin di Lambaro skep.

Tahun 2003 menjadi catatan untuk si bungsu bahwa ia mulai masuk pesantren di tahun itu, tepat di tanggal  16 Agustus ia tercatat sebagai santriwan di pesantren tersebut. Ia pun mulai menjalani hari-harinya sebagai seorang santri. Ia mulai sadar, rupanya hidup di pesantren itu tidak jauh berbeda dengan di penjara. Tapi di pesantren itu bukanlah tempat orang yang telah berbuat salah melainkan tempat untuk di didik orang-orang untuk tidak berbuat salah dan bisa bermanfaat untuk orang lain, sedangkan di penjara tempat orang yang sudah berbuat salah yang di didik untuk tidak berbuat salah lagi. Cuma itu salah satu perbedaan antara pesantren dan penjara. 

Si bungsu ini harus terbiasa dengan peraturan yang ada yang semuanya di atur mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Semuanya itu di atur  oleh aturan yang telah di buat oleh pesantren. Dia tidak bisa protes kecuali harus mengikuti semua peraturan yang ada tersebut. Si bungsu ini hampir menyerah karena ketatnya peraturan yang ada dan juga pesantrennya menjadi korban dahsyatnya Tsunami di hari minggu itu.  namun ia tidak mau menyerah dengan keadaan yang ada walaupun pesantrennya di porak-porandakan oleh tsunami, ia tetap untuk tidak akan pindah dari pesantren. Ia masih teringat dengan tekatnya dulu waktu masuk pesantren yaitu harus bisa berada di pesantren selama 6 tahun karena saudaranya dulu semuanya 6 tahun tinggal di pesantren. Si bungsu ini tidak mau kalah dengan saudara-saudaranya itu. Ia pun tetap bersabar karena dengan bersabar semuanya akan ada jalan keluar.

Semua kegiatan di pesantren lumpuh, yang ada di pesantren hanya sampah bekas tumpukan tsunami dan juga mayat-mayat cucu Adam. Kami di izinkan pulang ke kampung masing-masing untuk sementara waktu. Namun yang ada di pikiran si bungsu waktu itu hanya satu, yaitu “ apakah kedua orang tuanya masih hidup? Karena berita yang ia dapat bahwa semua di daerah pesisir aceh di landa tsunami. Baru di hari ke 3 tsunami ia mendapat kabar gembira  bahwa keluarganya selamat semua. Karena mereka sempat lari di waktu tsunami tersebut dan mereka semua selamat di rumah yang dua  lantai.

2 bulan tsunami berlalu. Si bungsu kembali lagi ke pesantren untuk melanjutkan tekatnya untuk menyelesaikan sekolahnya di pesantren itu. Namun suasana mulai berbeda dari yang sebelum tsunami dulu kelas si bungsu santrinya hampir 50 orang dalam satu kelas, tetapi setelah tsunami hanya ada 6 orang satu kelas. Itu pun kelasnya di belah dua. Yang hanya triplek tipis sebagai pembatas sedangkan suara tanpa ada batasannya. Walaupun hanya enam orang dalam satu kelas, namun si bungsu tetap yakin sekolahnya bisa kembali di bangun bahkan lebih bagus dari yang sebelum tsunami.

Waktu terus berputar tanpa ada yang bisa menghentikan kecuali kuasa-Nya. Si bungsu pun tamat sekolah menengah pertama (SMP) walaupun bangunan sekolahnya cacat. Ia pun bertekat untuk melanjutkan SMU nya di pesantren tersebut. Cuma modal kesabaran yang si bungsu pegang. Ia terus mengikuti arus waktu dengan baik. Setelah 1 tahun tsunami, pesantren si bungsu mendapat bantuan dari Swiss Red Cross untuk membangun kembali pesantren tersebut. 3 tahun berlalu pesantren si bungsu berdiri kembali kokoh dan tegak dengan tiga lantai. Semua fasilitas di beri dan di sediakan. Bahkan lebih mewah dari yang sebelum tsunami. Mungkin itulah buah dari hasil kesabaran si bungsu dan kawan kawannya selama itu. Walau pun si bungsu hanya menikmati 6 bulan fasilitas yang ada namun ia tetap senang, karena adik-adik di bawahnya bisa merasakan kemewahan itu lebih lama lagi.

Setelah tamat dari  pesantren, ia pun masuk ke salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh. Ia memperoleh undangan bebas seleksi dari perguruan tinggi tersebut. Kini ia menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Perguruan tinggi itu adalah IAIN Ar-Raniry dan si bungsu masuk di fakultas Dakwah jurusan Komunikasi Penyiaran Islam(KPI), kini ia sudah semester VI. Sekarang ia tidak lagi mempunyai cita-cita ingin jadi pemain bola yang hebat. Tapi sepak bola tetap ada dalam darahnya walaupun orang lain menganggap ia bodoh karena ia pernah tidak masuk kuliah karena ingin main bola.  Sekarang Ia ingin memandang kedepan untuk lebih baik. Dan ia ingin lebih bermanfaat kepada orang lain dan bisa menghajikan kedua orang tuanya. Karena haji menjadi mimpi orang tuanya. Dan ia harus mampu mewujudkan mimpi orang tuanya itu. Karena mewujudkan mimpi orang tua juga merupakan salah satu jalan untuk bisa membahagiakan mereka. 

Meredam Impian Dengan Mimpi

0 komentar


Oleh : Ma'rif Maulidil Chamis


 Tik... tik... tik... jarum jam menunjukkan pukul 00.00 WIB. Hawa sejuk  di pegunungan mulai menyentuh. Orang-orang sudah tenggelam dalam buaian mimpi dengan alunan suara jangkrik sebagai pengantarnya. Cucuran air yang keluar dari keran terdengar jelas ketika ia sedang membasuh beberapa bagian tubuhnya. Apa yang ingin dilakukannya di saat tak terdengar lagi suara-suara senda-gurau anak manusia? Yang jelas terdengar kini hanya bisikan angin pada dedaunan dan nyanyian jangkrik.


***

          Bersama seorang teman, Ma’rif mengadukan permasalahannya kepada Sang Maha pemberi pertolongan. Ketika orang-orang mulai merasa resah dengan berbagai masalah yang tak kunjung dapat jalan keluar, mereka pasti akan merasa frustasi. Bantuan dari sesama cukup terbatas pada kadar kemampuannya. Hanya Yang Maha Esa yang selalu mau mendengar keluh-kesah hamba-Nya dan memberikan pertolongan setiap saat kita membutuhkannya.
          Lelaki yang mempunyai nama lengkap Ma’rif Maulidil Chamis ini memang punya sedikit bekal ilmu pengetahuan agama. Sejak kabur dari TK FKIP karena ia ingin terus melanjutkan ke sekolah baru, ia langsung memilih Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Tungkob. Memiliki tubuh mungil dan usia yang tergolong muda tidak menyurutkan spirit nya untuk terus bersaing di sekolah barunya itu. Selama enam tahun masa pendidikannya ia juga pernah  duduk di kelas inti dari kelas 4 sampai tamat.
          Pernah terbesit dalam hatinya untuk  masuk pesantren, namun ambisinya terahalang dengan kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan. Setelah berpikir matang-matang, ia memutuskan untuk sekolah di Madrasah Tsanawaiyah Negeri (MTsN) 4 Rukoh. “Saya mau nyambung ke MTsN Rukoh,” ujar lelaki yang lahir pada tanggal 12 Desember 1991 ini kepada gurunya saat mengambil ijazah.
          Setelah lulus menjadi siswa MTsN, tentunya sudah ada perbedaan dan perubahan. Segala hal-hal yang baru ingin dicobanya. Mencoba untuk hidup mandiri dan tidak suka jika orang tuanya terlalu banyak mengatur. Namun Bangadek, begitu sapaan akrabnya di rumah, tetap patuh dan menghormati Ayah dan Ibunya. Ia begitu bersemangat membantu Ayahnya menitipkan kerupuk kulit di warung-warung. Sementara Ayahnya menjajakan kerupuk kulit itu berkeliling seputaran Aceh Besar-Banda Aceh, bahkan sampai ke Pulau Weh untuk menafkahi keluarganya.
          Ma’rif mulai menyukai dunia bisnis seperti itu mungkin karena di dalam dirinya mengalir darah Kakeknya, Usman, yang dulunya juga seorang pebisnis tali sabut kelapa. Meski hanya jajan Rp 500 pada saat itu, ia sering menyisihkannya. Hasrat untuk memiliki sepeda sendiri sangat besar. Mengharap semata-mata dari penghasilan Ayah tidak cukup. Ibunya juga hanya duduk di rumah menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan seorang ibu.
          Lain di rumah lain di sekolah, di rumah Ma’rif suka membantu orang tua, di sekolah Ia juga tidak malas belajar. Nilai-nilai yang bagus dan peringkat 3 yang diperolehnya membawanya duduk di kelas 2 inti. Tidak hanya menjadi salah satu siswa kelas inti yang membuat Ia senang, impian yang sudah lama terpendam juga terwujudkan. Ma’rif juga sudah bisa pulang-pergi sekolah dengan BMX baru punya sendiri. Sekarang, bergaul dengan teman juga sudah tidak minder lagi. Itulah hasil tabungannya dibantu sedkit dengan duit ibunya.
          “Manusia yang berencana, Allah yang menentukan,” kata-kata seperti itu yang sering ia dengar dari gurunya. Selang sekitar 3 bulan mempunyai sepeda baru, tibalah hari dimana Aceh dikenal dunia. Hari dimana semua orang beristirahat dari aktivitasnya itu ternyata banyak membuat orang-orang istirahat untuk selamanya. Tanggal merah pada hari itu banyak menumpahkan bulir-bulir air mata. Tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa bergelimpangan dimana-mana seolah tak berharga lagi.
          26 Desember 2004 telah menjadi hari dukacita yang mendalam bagi masyarakat Aceh khususnya. Peristiwa dahsyat yang menimpa Bumi Serambi Mekah pada saat itu tersimpan baik dalam memori mereka yang tersisa. Ma’rif sebagai salah seorang yang ikut berlarian untuk mencari tempat perlindungan merasa bersyukur. Umur yang  tersisa merupakan kesempatan untuk melakukan perubahan.” Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk kembali mengingat-Nya,” nasehat ibunya kepadanya serta abang dan kedua adiknya.
          Tidak genap 30 hari, Bumi Serambi Mekah mulai bangkit. Banda Aceh dibanjiri dengan berbagai bantuan dari mereka yang terusik hatinya di seluruh dunia. Ia kembali melangkahkan kakinya ke tempat semula ia menimba ilmu. Bangunan 2 lantai yang masih berdiri kokoh itu menjadi saksi bisu ketika bumi porak-poranda  diguncang gempa dan dihantam gelombang raksasa. Ia kembali belajar di sekolah itu meski hanya dengan berpakaian biasa dan menggunakan fasilitas apa adanya.
          Siapa yang menyangka! Ternyata ada kabar baik yang berhembus dari Lhokseumawe. Mereka merekrut siswa korban Tsunami untuk dijadikan santri. Tsunami membawa hikmah bagi mereka yang ditinggalkannya. Mendapat kesempatan emas untuk menuntut ilmu gratis tidak sia-siakannya. Dukungan dari seorang teman dan restu dari orang tuanya membuat hati anak kedua dari empat bersaudara ini bertambah yakin untuk pindah.
          Tanpa pemberitahuan resmi kepada pihak sekolah, ia berhijrah ke sekolah baru yang pernah diimpikannya tempo dulu. Hal itu dilakukannya karena keesokan harinya setelah mendapatkan kabar itu ia langsung berangkat. Keinginannya itu hanya diketahui Fahmi, teman yang duduk di sebelahnya saat itu. Dari Fahmi lah teman-teman sekelasnya tahu bahwa Ma’rif telah bertolak ke Kota  Gas Arun untuk menuntut ilmu.
          5 jam perjalanan terasa melelahkan baginya. Terlebih lagi ini merupakan perpisahan pertama dengan keluarga tercinta. Tetapi wajah- wajah baru di mobil yang  ditumpanginya membuat ia tidak merasa sendiri. Mereka juga meninggalkan keluarga tercinta di kampung halaman karena tujuan yang sama dengan Ma’rif. Perjalanan juga terasa singkat dengan adanya celetukan dan canda tawa mereka. Tak dapat dipungkiri, bayang-bayang semu wajah sang Ibu dan Ayah sulit untuk pudar dari ingatan mereka. Sudah tentu hal itu karena saat itu mereka masih berumur 12-13 tahun.
          Mobil yang ia tumpangi memasuki sebuah gang dan melewati sebuah pagar. Disana sudah berdiri beberapa bangunan 2 lantai yang berbentuk letter L. Di tengahnya terdapat lapangan voli dan lapangan bola kaki yang letaknya tidak berjauhan dengan mesjid. Di mesjid itulah sekarang para santri sedang berkumpul. Mengingat waktu Magrib begitu singkat, Ma’rif dan kawan-kawan yang baru sampai langsung melaksanakan shalat. Setelah itu, mereka dipilah-pilah menjadi 2 orang untuk menempati asrama yang telah disediakan.
          Beradaptasi dengan suatu hal yang baru bukanlah sebuah proses yang singkat. Begitulah yang dirasakan Ma’rif dan kawan-kawan saat pertama kali tiba disana. Namun, para santri menyambutnya dengan ramah. Ia dikerubungi bagaikan artis yang sedang diwawancarai oleh wartawan. Hari-hari yang ia lalui mulai terasa menyenangkan. Teman-teman baru yang mudah akrab dan kebersamaannya membuat ia betah. Waktu shalat, makan, mandi, dan tidur selalu dilakukan secara bersama-sama. Meski harus bersabar dengan budaya antri, hidup banyak teman terasa jauh dari sepi.
          Kedisiplinan dalam mengatur waktu dan peraturan yang ketat merupakan ciri khas pondok pesantren. Layaknya hukum rimba, “siapa yang kuat, ia yang bertahan.” Satu persatu teman-temannya mulai hengkang dan kabur dari penjara suci itu untuk kembali ke kampung halaman. Sebagian dari mereka ada juga yang tak kuasa menahan kerinduannya kepada Ayah dan Ibu mereka.
          Lain halnya dengan Ma’rif, ia memegang perkataan ayahnya. “ Kalau kamu pulang sebelum berhasil, kamu tidak boleh pulang ke rumah,” kata ayahnya tegas dalam bahasa Aceh. Oleh karena itu, ia tidak mau ikut-ikutan. Berbakti kepada orangtua merupakan akhlak yang mulia, kalimat itu yang pernah diajarkan gurunya.
          Belajar selama sekitar 8 bulan di Pesantren Muhammadiyah Ihyaa Ussunnah terasa cukup bagi kedua orang tuanya. Kemudian ia kembali ke kampung halaman dan menyambung sisa kelas 3 nya di MTsN Montasik, Aceh Besar. Faktor ekonomi dan tempat yang jauh menjadi alasan utama ayahnya untuk memindahkannya. Dengan pindahnya ke MTsN Montasik, orangtuanya bisa mengunjunginya tiap seminggu sekali dari tempat asalnya, Tanjung Selamat. Ia tinggal di asrama bersama teman-teman yang mayoritas mereka adalah anak yatim/piatu korban Tsunami yang berasal dari bagian Barat Aceh. Hanya sekolah saja di luar. Di asrama Ia mendapat pelajaran agama tambahan seperti di Dayah. Beberapa bulan tinggal disana Ia juga pernah mendapat rangking 1 dan memperoleh penghargaan dari  Ustadznya.

          Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Akhirnya Ia mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) dan mendapatkan ijazah disana. Beberapa  bulan sempat nyantri membuat ia rindu kembali dengan kehidupannya pratsunami. Ia ingin kembali merasakan sekolah di tempat biasa. Tidak ada asrama, tidak ada antrian, dan tidak jauh dari keluarga. Namun, orangtua tetap ingin dia menjadi santri. Karena tidak ingin membuat hati Ibu dan Ayahnya kecewa, ia melanjutkan ke Pesantren Al-Fauzul Kabir. Di pesantren itu akhirnya Ia menghabiskan masa-masa indah ketika beranjak dewasa.

          Berbekal dari sedikit ilmu dan pengalaman yang diperolehnya dari 2 pesantren sebelumnya membuat ia mudah beradaptasi. Rangking 3 dan 2 yang diraihnya di kelas I Madrasah Aliyah Swasta (MAS) merupakan bukti bahwa ia mampu bersaing dengan santri lainnya. Hanya 3 tahun ia mengenyam pendidikan di Kota Jantho itu. Namun tak sedikit kenangan yang terukir dalam memorinya. Tidak akan lama lagi ia beranjak pergi menuju tempat yang lebih tinggi. Waktu yang tersisa semakin singkat. Ia berhasrat meninggalkan tanah kelahirannya berburu ilmu di negeri orang.

          Sepulangnya ke rumah ketika liburan tiba, ia menyatakan maksud hatinya kepada sang Ibu. Ibu mendengarkan tutur katanya dengan antusias. Perasaan senang muncul dari wajah ibunya. “Nak, Ibu juga ingin melihat anak Ibu ke luar negeri seperti anak orang lain,” kata Ibunya sambil tersenyum. Kemudian Ibunya menceritakan suatu kisah tentang seorang yang taat dan sholeh hidup bahagia di perantauan. Sampai lelaki sholeh itu meninggal, tak ada hati seorang pun yang tergores akibat ulahnya. Akan tetapi istrinya bermimpi bahwa suaminya sedang disiksa dalam neraka.

          Tak sanggup menahan risau dan gelisah, ia mengadukan mimipinya itu kepada orang alim. Orang alim tersebut menafsirkan, “ada satu orang yang menderita dalam kesusahan yang ia lupakan. Sementara ia hidup bahagia di negeri ini.” Mendengar penjelasan sang ulama, istrinya pun mencari tahu tentang orang yang dimaksud. Ternyata benar, seorang wanita yang merupakan adik dari lelaki sholeh itu hidup dalam kesusahan. Kemudian istrinya memberikan harta yang ditinggalkan suaminya untuk mengurangi beban penderitaan wanita itu. Malam itu dia bermimpi kembali tentang suaminya, namun keadaannya sudah berubah. Tidak ada siksaan lagi, yang ada hanya senyum bahagia yang terpancar dari wajah suaminya.

          Usai bercerita, ibunya tidak menjelaskan maksud dan hubungannya dengan impian anaknya yang ingin kuliah di luar negeri. Ma’rif menyimpulkan sendiri tujuan dari cerita ibunya. “Sepertinya, kali ini ibuku ingin Aku kembali ke rumah dan melanjutkan kuliah di tanah kelahiranku,” serunya dalam hati. Perasaan bimbang dan ragu sudah mulai merasuk ke dalam kalbu dan pikirannya. Ingin menjadi salah satu mahasiswa Al-Azhar, Kairo, sedikit memudar. Hari-hari penentuan sudah semakin dekat.

          Formulir dari beberapa Universitas luar daerah mulai berdatangan. Tawaran dari Kepala Sekolah untuk kuliah di luar juga sudah diberikan. Ia masih membisu tidak memberikan jawaban pasti. Padahal kesempatan emas itu hanya dtujukan kepada mereka yang dianggap layak untuk mendapatkannya. “Kamu mau kuliah dimana?” tanya Pak Kepala Sekolah. Ia menjawab,”Saya mau lanjut ke IAIN ustadz.” Sambil tersenyum sedikit merendahkan Kepala Sekolah itu berkata lagi,” IAIN itu pilihan terakhir, bukan yang pertama!” Ma’rif hanya terdiam tidak terlalu menghiraukannya.

          Menentukan sebuah keputusan diantara dua pilihan memang terasa berat dan sulit. Karena itu menyangkut masa depannya. Hanya ada satu jalan untuk meluruskan keraguan ini. “Wasta’iinu bis shobri was sholah...,” teringat pelajaran yang diajarkan ustadznya. Ya! Shalat Istikharah lah penyelesaian akhirnya. Kemudian ia melakukan shalat itu ketika malam benar-benar sunyi. Ia benar-benar mengharapkan jawaban yang tepat. Segala uneg-unegnya ditumpahkan dalam do’anya yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam.

          Selang beberapa malam, ia bermimpi pulang ke rumah dalam suasana yang menyenangkan bersama keluarga tercinta. Mimpi itu kembali teringat ketika ia sedang duduk termenung sendiri. “Berarti Aku harus kuliah disini sambil membantu orang tua mencari rezeki,” tafsirnya sendiri. Kemudian Ia melupakan S1 di luar negeri.” S2 nanti kamu kan masih punya kesempatan untuk kuliah di luar negeri,” ucapan ibunya kembali terngiang dalam benaknya.

          Sekarang lelaki berkulit agak terang itu sudah beranjak ke semester 6 kuliah di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) di Fakultas Dakwah yang dipilihnya terinspirasi dari seorang dosen, Pak Yusri panggilannya. Ketika musibah tsunami beberapa tahun silam, ia sempat mengungsi di rumah Pak Yusri, di Blang Bintang. Melihat tingkah lakunya yang ramah dan keaktifannya bergaul dengan orang asing membuat orang lain kagum. Ibunya pun menyarankan Ma’rif mengikuti jejak dosennya yang mempunyai kembaran itu.

          Tidak lama lagi masa yang tersisa di S1. Kini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, ia kembali berusaha membangkitkan impian yang sempat terkubur di masa sekolahnya. Do’a yang ia harapkan dari ibunya sangat besar. Berbakti kepada orang tua menjadi nomor satu baginya di bandingkan mewujudkan impian sendiri. Pilihan terakhirnya itu semoga menjadi keputusan yang baik bagi masa depannya. Amin.....

BERHARAP IMPIAN JADI KENYATAAN

0 komentar



Oleh : Rahmi


Senyum tipis dan manis itu selalu menghiasi hari-hari gadis remaja yang baru saja berusia 21 tahun, tepatnya 3 Februari yang lalu. Rahmi, itulah nama panjangnya, walaupun nama yang begitu singkat tapi hidupnya penuh semangat. Pernah suatu ketika, kawan satu unit di kampusnya berkata, “yang penting semangat..!!” dengan memakai gaya khas lucunya. Ucapan tersebut membuat perempuan yang tersenyum manis itu menjadi tersenyum lebar saat mendengar ucapan tersebut. Kalimat itu menjadi motivasi untuk mengembalikan semangatnya dikala ia sedang putus asa.

Hidup bagaikan pelangi berwarna-warni, itu yang selalu hadir dalam benak seorang perempuan yang tinggal di Sibreh, salah satu wilayah di Aceh Besar. Setiap hari yang ia lalui selalu meninggalkan kenangan, menjadi suatu pelajaran dan pengalaman bagi hidupnya untuk menatap esok hari yang lebih berarti. Ia yakin bahwa orang yang paling beruntung adalah hari ini harus lebih baik dari kemarin.

Anak ketiga dari 6 bersaudara ini berbeda dengan saudaranya yang lain, kelima saudaranya disekolahkan di pondok pesantren. Sakit yang dideritanya membuat ia hanya melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang tak begitu jauh dari rumahnya. Namun semangat belajarnya tak jauh berbeda untuk membahagiakan orang tuanya. Semasa sekolah ia habiskan bersama kawan-kawannya dengan penuh keceriaan, membanggakan orang tua karena selalu mendapat peringkat pertama dikelasnya dan sering mengikuti perlombaan yang mengharumkan nama sekolahnya bahkan sampai tingkat nasional. Ia pun bangga dengan dirinya sendiri.
Enam tahun ia habiskan waktu di bangku Tsanawiyah dan Aliyah, tak terasa waktu berjalan begitu cepat, sampai akhirnya ia akan melanjutkan keperguruan tinggi. Sebelumnya ia sudah  menuliskan target hidup kedepan dibuku lucu paling ia sukai yang dibelikan ayahnya sebagai hadiah juara satu saat masih di bangku Tsanawiyah. Dilembaran tengah buku tersebut ia menuliskan planning yang akan ia capai kedepannya. Memang banyak yang telah ia lalui yang sesuai dengan target, namun ada juga dorongan yang berbeda dari keluarganya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ayah dan ibunya yang berprofesi sebagai guru menginginkan anaknya menjadi lebih baik dan membanggakan dengan memberikan pilihan ke jurusan TEN di IAIN Ar-Raniry dan Psikologi di UNSYIAH.

Tidak pernah terpikir olehnya untuk memilih jurusan yang diberikan orang tuanya. Ketika masih duduk di kelas Tsanawiyah, ia sering iseng-iseng mewawancarai guru yang baru selesai menjadi pembina upacara setiap senin, dan juga Kepala Sekolah serta kawan-kawannya disaat ada kegiatan yang dilaksanakan di sekolahnya. Aktivitas tersebut tetap ia lanjutkan sampai tingkat Aliyah. Walaupun kawan-kawan sering mengejek, tapi ia semakin senang melakukan hal tersebut.
Akhirnya di detik-detik sebelum Ujian Nasional tahun 2009, ia memperoleh undangan dari IAIN Ar-Raniry, dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di salah satu jurusan Fakultas Dakwah yaitu Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Konsentrasi Komunikasi. Dukungan dari keluarga pun hadir kembali dengan menghargai keputusan anaknya tanpa ada paksaan dari orang tua. Yang penting anaknya bahagia dan orang tuapun bangga.

Tak terasa waktu terus berjalan, perempuan bertubuh tinggi itu menghabiskan waktu di Jurusan Komunikasi yang ia impikan semenjak dulu, tepatnya sekarang di unit 2 angkatan 2009 bersama sahabat-sahabat yang sangat ia sayangi. Belajar bersama, canda, tawa dan masalah demi masalahpun mereka hadapi bersama. Memang sulit untuk menyesuaikan dengan bermacam-macam karakter dari mereka, namun inilah hidup yang penuh dengan perbedaan dan penuh warna agar lebih indah untuk dijalani bersama.

Dua  tahun sudah perempuan yang memiliki senyum manis ini menggeluti di bidang komunikasi, namun tak cukup juga baginya untuk memperoleh hasil yang optimal. Ia berpikir harus ada kekuatan lain untuk mendukung dalam proses pendidikan yang selama ini ia impikan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencoba kuliah di salah satu Lembaga dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ia mendaftarkan diri di Muharram Jurnalism College (MJC) bersama dua orang sahabatnya. Mereka memilih jurusan media elektronik TV.

“Luar biasa” merupakan kesan pertama baginya setelah melakukan tahap belajar di MJC. Pemateri dari wartawan berbagai media membuat ia betah berlama-lama disana, alat-alat untuk mendukung dalam proses praktek lapanganpun lengkap dan siap digunakan. Setelah enam  bulan ia belajar digedung sederhana daerah Beurawe, Banda Aceh itu, akhirnya ditugaskan disalah satu stasiun TV di Banda Aceh. Tantangan yang begitu menyenangkan baginya walaupun harus bolak-balik dari kampus ke lokasi tempat magang, ditambah dengan tugas akhir dari MJC yaitu membuat film dokumenter. Perjuangan yang benar-benar melelahkan namun sesuai harapan. Akhirnya ia bersama kawan-kawan satu angkatannya mendapat gelar diploma setelah menyelesaikan wisuda dan memperoleh hasil yang baik. Rasa bahagia terpancar diwajah perempuan yang memiliki impian besar ini.

3 Februari 2011 lalu, senyuman manis itu semakin terpancar saat mendapatkan hadiah yang sudah lama ia inginkan. Handycam adalah kado istimewa dari orang tuanya yang dibelikan saat mereka ke Jakarta ke tempat pamannya. Hari-hari ia habiskan dengan rekaman dan kilatan cahaya dari handycamnya. Ia tak mau melewatkan moment penting saat bersama keluarga dan teman-temannya begitu saja.

Sekarang perempuan dengan penuh semangat itu sedang melanjutkan kuliahnya yang masih semester VIII di jurusan KPI Komunikasi yang ia cintai, dengan harapan impian yang ia impikan menjadi sebuah kenyataan. Menjadi Jurnalis Profesional, itulah impiannya sejak dulu.

HOM HAY STORY,,,ANTARA GET DAN HAN GET

0 komentar

Oleh : Nazarullah

Dahulu kala, disebuah kampung yang jauh dari perkotaan  seorang anak yang bertubuh kurus meemulai pendidikannya disebuah sekolah Dasar dikampung tempat ia tinggal .
SD tersebut jaraknya lebih kurang 20m dari rumahnya.ia selalu pergi kesekolah  bersama teman- temannya dengan sangat gembira, walaupun uang jajan dikantin sekolah tidak seberapa diberikan sama orang tua.
Saat itu, ia selalu rajin bersekolah terkecuali jika ia sakit, hujan dan ada halangan- halangan lain yang tidak memungkinkan untuk dapat hadir.

Suatu ketika ia mulai duduk dikelas 4SD, ia sudah mulai agak nakal dari sebelumnya yang Cuma penurut dan tergolong murid yang disukai oleh guru kelas-kelasnya. Disini ia banyak tidak masuk mata pelajaran matematika karena mungkin ia bosan atau entah kenapa.Selain itu ia juga sesekali berantem dengan kawan satu kelasnya, karena ia sering membuat ulah dengan kawan- kawannya sehingga memancing emosi kawannya.tapi itu tidak berlangsung lama hanya satu semester saja dan Cuma dibangku kelas 4SD saja.
Setelah ujian akhir kenaikan kelas, rapor dia bernilai pas-  pasan dan nilai matematikanya lima ia dapatkan, mungkin itu wajar karena ia sering bolos saat mata pelajaran tersebut. Beranjak kekelas 5 SD, ia pindah sekolah ketempat lain dikarenakan tugas/dinas orang tuanya tidak dikampung tersebut lagi. Sekarang ia tinggal tidak jauh dari tempat dulu ia sekolah, hanya berbeda kecamatan saja dari kampong sebelumnya.
Dikelas 5 SD ia mulai sedikit merubah sikapnya bolos mata pelajaran matematika, ia mulai belajar sedikit demi sedikit untuk bisa bersaing dengan teman- temannya yang tergolong cerdas- cerdas. Hari demi hari bocah tersebut milai bersemangat untuk belajar dengan giat walaupun ia tau tidak mungkin bisa menyaingi kawan- kawan apalagi mendapat peringkat satu dikelasnya.Tahun ketahun berlanjut hingga luluslah ia menempuh pendidikan di SD tersebut dengan nilai dirapor tidak mengecewakan. Alhamdulillah….

Beranjak SMP Ia mulai suka mata pelajaran matematika dan juga bahasa inggris, hingga ia juga ikut les privat/ kursus bahasa inggris didaerahnya tersebut.
Saat itu, ia senang sekali dengan mata pelajaran tersebut hingga setiap ada soal dipapan tulis ia selalu mencoba untuk mengisinya.
Tahun ke tahun berlalu hingga aku beranjak kekelas  3 SMP dan mulai rajin belajar untuk UAN, karena nilai kelulusan untuk UAN saat itu telah ditentukan. Jika tidak bisa meraih nilai yg dimaksud maka ia tidak lulus dari SMP tersebut.

Ketika UAN berlangsung ia sangat hati- hati mengisi lembar jawaban computer dan menjawab pertanyaan dengan sungguh- sungguh. Setelah UAN pengumuman kelulusan diberitaukan kepada siswa, semua siswa dikelas kami lulus semua.
Setelah lulus SMP ia melanjutkan pendidikannya ke SMA, yang agak sedikit jauh dari tempat tinggalnya. Kalau mau sekolah ia harus numpang sewa mobil labi- labi. Ia sering terlambat masuk ruang dikarenakan labi- labi sering macet dijalan ataupun berdiri sejenak mencari penumpang. Sebenarny a dikampung dia sendiri juga ada sekolah SMA1 yang dekat dengan rrumahnya. Cukup dengan jalan kaki saja sudah sampai kesekolah.
Kelas 2 SMA ia dapat jurusan IPS, dan kemudian ia pindah ke SMA dikampungnya tersebut dikarenakan sering terlambatnya masuk sekolah. Ia tidak lagi terlambat karena sekolahnya sekarang dekat dengan rumah atau kampungnya. Namun, ia mulai lagi bosan dengan pelajaran Akutansi yang sangat memusingkan kepala.
Singkat cerita ia lulus SMA dan setelah ia berpikir- piker selama beberapa minggu ia memilih untuk kuliah di Banda Aceh, tak tau dimana dia harus kuliah dan jurusan apa yang harus di ambil. Ketika IAIN Ar- Raniry menerima mahasiswa baru diapun ikut tes masuk dan ternyata ia diterima di perkuliahan tersebut.

Ia sekarang kuliah di IAIN leting 2009 dengan segenap kemampuannya…
diperkuliahan teman temanlah yang selalu memberinya motivasi, sekian dan terimakasih..
:]  wkwkwkwk

BBM (Bahan Bakar Media)

0 komentar


Ditulis oleh : Titus Febrianto

“All Warfare is Based on Deception” (Sun Tzu – Ancient Chinese Tactician)
Saya tertarik ketika membaca tulisan Budiarto Shambazy di Kompas (24/3) yang mengharapkan legenda April Mop terjadi juga di Indonesia pada tanggal 1 April esok. BBM tidak jadi naik!
Tidak ada yang meragukan bahwa polemik kenaikan BBM per 1 April 2012 menuai eskalasi pro dan kontra yang begitu menguras energi. Kenyataannya, dalam dua periode pemerintahan SBY, harga BBM pernah dua kali mengalami kenaikan. Maret 2005, harga BBM naik 30%, dan pada Oktober tahun yang sama harganya naik hingga 126%. Namun keduanya tidak diekor oleh penolakan yang sedemikian masif.
Ada yang bilang, penipuan adalah biang keladinya. Rieke Diah Pitaloka, Kwik Kian Gie, Fuad Bawasier, Anggito Abimanyu, dan banyak tokoh lain mengungkap tabir kabut jual- beli BBM oleh pemerintah yang diakui ternyata surplus! Kwik dengan tegas menolak terminologi subsidi, defisit, menjaga neraca APBN, dan sebagainya. Ambivalen dengan pernyataan pemerintah di awal tahun yang dengan jumawa membanggakan pertumbuhan ekonomi makro kita yang mencapai 6,5 %. Jauh di atas ekspektasi.
Ada juga yang bilang, aksi- aksi penolakan ditunggangi kelompok oposan dan kelompok kepentingan. Argumentasinya sederhana. Kenaikan BBM, betapapun tidak bisa dihindari, niscaya ditunggangi kepentingan politik. BLT (Bantuan Langsung Tunai) adalah manifestasinya. Strategi BLT yang terbukti berhasil mendongkrak tingkat elektabilitas parpol penguasa, sedang mencoba peruntungannya kembali. Rakyat marah karena di dalam kesempitan, masih ada yang mencari kesempatan.
Dan ada alasan ketiga. Media. The fourth estate ini memiliki kekuatan dominan dalam membentuk opini publik. Jika hari ini massa turun ke jalan, sekian persen tanggung jawab ada di pundak media. Sayangnya, sikap mendua media telah berhasil merubah gerimis menjadi hujan badai.
Pengalaman Luar Negeri
Media sebagai sebuah organisasi industri, bukanlah sebuah entitas tunggal yang otonom. News of The World sebagai tabloid terlaris dan tertua di Inggris, ketika dibeli oleh Rupert Murdoch akan membawa pula semua pendiriannya. Agresif, laksis, dan pragmatis. Begitulah media terkemuka ini kemudian menemui ajalnya. Terjerat dalam kasus penyadapan telepon yang mencoreng nilai-nilai jurnalistik.
Itu pula alasan mengapa di jamannya Indonesia Raya bisa sedemikian keras bersuara. Hingga jeruji breidel menghancurkan ideologi jurnalisme jihad yang coba dibangun oleh Mochtar Lubis lewat surat kabar asuhannya itu. Pula alasan terjadi eksodus besar-besaran dari Tempo ke Editor. Ketika idealisme jurnalistik tak lagi mampu berkompromi dengan manajemen yang sarat intensifikasi dan maksimalisasi laba.
Media sebagai organisasi industri terpengaruh oleh banyak pihak. Reese & Shoemaker (1996) menyimpulkan setidaknya ada lima lingkaran keterikatan yang senantiasa menyertai produk media. Individual constraint, Media Routine constraint, Ownership constraint, Extra Media constraint, dan Ideological constraint. Apa yang terjadi di Jepang adalah contoh faktual.
Tahun 2011 gempa berkekuatan besar mengguncang Jepang. Titik episentrum di Sendai tidak berarti wilayah lain terbebas dari ancaman. Tsunami menyapu hampir seluruh bagian timur laut negara kepulauan tersebut. Tak lama berselang, bencana ketiga menyambut. Bahaya Radiasi Nuklir, akibat kebocoran dan ledakan reaktor di Fukushima.
NBC adalah yang pertama mengudarakan tragedi Jepang kepada dunia. Namun dahsyatnya gelombang tsunami baru terekam pertama kali secara jelas oleh kamera Nichiuri TV yang terbang dengan helikopter dan mengambil gambar dari udara. Sayangnya tidak ada satupun media di Jepang yang kemudian memberi perhatian lebih terhadap bencana susulan, radiasi nuklir. Masyarakat Jepang panik. Terjadi eksodus besar-besaran keluar Jepang, menuju China dan Korea atau manapun, asal menjauh dari tempat radiasi. Sementara itu, media Jepang seolah menjalin kerja sama dengan pemerintah untuk bersuara bahwa “semua baik- baik saja. Aman terkendali.”
Apa yang terjadi? Profesor Asano Ken-ichi dari Doshisha University yang melakukan riset bersama kolega membuktikan bahwa memang ada vested interest di balik “matinya” kritisisme media terhadap bencana nuklir tersebut. Bukan mengada-ada jika semuanya coba dirunut hingga sejak pangkalan militer AS bercokol di Okinawa, selatan jepang. Karena sejak itulah, praktis kebijakan politik Jepang dipengaruhi pula oleh kebijakan luar negeri AS. Pembangunan power plant-power plant nuklir (termasuk di Fukushima) adalah usaha AS memperkaya energi nuklir di seluruh penjuru dunia terhadap sekutu-sekutu dan pihaknya sendiri. Berusaha mengungkap apa yang terjadi di Fukushima, sekalipun sekecil apapun, berpotensi membawa pemahaman kepada masyarakat Jepang bagaimana pemerintahan mereka telah hidup menjadi kaki tangan AS.
Di Amerika, centang perentang ambivalensi media terjadi ketika keberpihakan nampak jelas. Saat kalangan Republikan menonton Fox News dan partai Demokrat menonton CNN. Dimana perang opini adalah senjata utama untuk menggenjot rating. Ironisnya, FCC (Federal Communications Commission) yang seharusnya berdiri di garda terdepan untuk meluruskan itu semua, justru sibuk meladeni usaha para pelobi untuk memperlonggar ijin kepemilikan korporasi media.
Semua peristiwa ini membuktikan bahwa media bukanlah entitas yang bebas nilai. Ia mengambil sikap. Sikapnya determinatif terhadap opini publik yang terbentuk. Dan sikap dibuat bukan tanpa kepentingan. Indonesia tak luput dari fenomena ini.
Kembali ke BBM
Isu BBM akan naik sebenarnya telah terendus sejak pemberitaan mengenai konflik Iran-AS menguat. Menuju kepastian ketika akhirnya embargo minyak AS dan sekutunya, dijawab oleh Iran dengan blokade selat Hormuz.
Itu semua belumlah memancing media untuk bersuara. Baru ketika Jero Wacik dan jajaran kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) mewacanakan beberapa kebijakan, seperti pembatasan BBM bersubsidi, konversi BBM ke BBG, dan pengalihan dari premium ke pertamax khusus untuk kendaraan pribadi roda empat, media mulai angkat sauh. Pada saat ini wacana “menyelamatkan APBN” belum santer terdengar, dan opsi-opsi kenaikan BBM seperti yang disuarakan KADIN atau Apindo masih dipandang sebelah mata karena tidak populis.
Awal Maret, saat wacana pemerintah bergeser ke arah menaikkan harga BBM sebesar 30%, media berlomba-lomba menjadi yang pertama untuk mengkritisi kebijakan ini. Bahkan media mengambil sikap sangat kasat mata. Seolah-seolah setiap hari adalah narasi keburukan pemerintah. Kenaikan BBM adalah kebijakan tidak populis, berpotensi menaikkan harga sembako, menyengsarakan rakyat, BLT palsu, SBY gagal, dan sebagainya. Trial by the press? Black campaign?
Media jelas punya agenda. Setidaknya Metro Tv yang dinahkodai Surya Paloh, dan Tv One yang dimiliki Aburizal Bakrie, mendulang keuntungan elektabilitas dari anjloknya popularitas pemerintah (yang representatif Partai Demokrat). Dan apapun agenda tersebut, mereka sukses membakar semangat massa untuk turun ke jalan.
Inilah pilihan-pilihan frasa yang diturunkan media kala itu. People Power, pemerintahan gagal, subsidi untuk siapa, reformasi mei 1998, dan lain sebagainya. Media seolah menggerakkan massa dan mahasiswa untuk turun ke jalan. Menarik karena pemilihan narasumber, baik di berbagai talk show televisi, maupun informan peliputan media cetak, adalah mereka-mereka yang mengambil sikap di kubu kontra. Seolah menguatkan agenda yang telah disiapkan.
Hanya beberapa minggu berselang, tatkala isu kenaikan menjadi semakin pasti, perubahan besar terjadi. Diksi-diksi baru menghiasi pemberitaan. Demo ricuh dan mahasiswa anarkis. Setiap kali reporter turun ke lapangan dan menanyakan aspirasi warga, selalu terjadi proses generalisisr seolah pendapat 3-4 orang tersebut mencerminkan pendapat masyarakat satu kota. Pertanyaan- pertanyaan yang terlontar pun bias dan missleading. (“Apakah anda setuju jika demonstrasi menolak kenaikan BBM harus berakhir ricuh, sekalipun atas nama rakyat?”) Bisa anda bayangkan ada orang yang menjawab tidak setuju?
Jika sebelumnya black campaign ditujukan bagi pemerintah, dan opini publik digalang sebagai motor massa turun ke jalan, kini black campaign ditujukan bagi gerakan massa itu sendiri. Audiensi diajak geram ketika kamera-kamera televisi menyorot pembakaran ban, dan adegan dorong-mendorong yang dilakukan baik oleh polisi maupun mahasiswa.
Anarkis. Kata yang mendadak populer setiap kali terjadi gerakan massa. Merujuk pada perspektif framing dan critical discourse analysis, depiksi kata merupakan rekonstruksi pemaknaan yang turun dari ideologi media, dan ingin ditanamkan dalam benak komunikannya. Sekarang apa yang media maksud sebagai anarkis? Aksi bakar bankah? Aksi bakar keranda? Corat-coret foto SBY? Dorong-dorongan? Atau ketika batu mulai saling dilemparkan? Jika anarkistis merujuk pada pemaknaan literal asal katanya, anarchy, maka kekerasan menjadi acuan utama. Sekarang apa yang kita lihat di layar kaca adalah mahasiswa lempar batu, polisi tendangi dan pukuli mahasiswa pakai pentung! Bahkan tak jarang ditembak dengan gas air mata dan peluru karet. Tak tahu betul siapa yang memulai. Yang jelas kekerasan dilakukan oleh kedua belah pihak. Adilkah jika labelling anarkis hanya disematkan kepada pendemo?
Apakah ini refleksi ideologi pemilik media sebagai kaum mapan dan industriawan yang selalu paranoid terhadap people power dan gerakan massa lainnya? Tak ada yang tahu.
Ketika tulisan ini dibuat, tepatnya tanggal 27 Maret 2012, bertepatan dengan hari dimana ribuan massa turun ke jalan. Baik di Jakarta maupun daerah-daerah lain sebagai proses klimaks penolakan terhadap kenaikan BBM, sekaligus kawalan masyarakat terhadap sidang paripurna yang akan digelar dua hari kemudian.
Uniknya di hari itu, media sekali lagi berubah sikap. Kini polisi yang jadi bulan-bulanan. Ibarat kepiting tersiram ombak, televisi-televisi mundur dari usaha stigmatisasi anarkisme gerakan massa, ke proses pencitraan polisi yang seolah preman mabuk membawa beragam senjata untuk diayunkan. Kehadiran polisi dan militer yang dikritik banyak pihak sebelumnya sebagai bentuk paranoid penguasa, kini seolah menemui penghakiman di bawah ujung kamera. Tv One sangat bersemangat hingga berkoar-koar mengenai pelanggaran kebebasan pers akibat ulah seorang anggota polisi yang merebut kamera wartawan Tv One.
Kemana sebenarnya pedang dewi keadilan hendak diayunkan oleh media? Ketika obyektivitas telah ditolak untuk disakralkan dalam proses jurnalistik, media mulai mengambil sikap. Namun sikap apa yang sebenarnya coba diambil media- media ini terkait isu kenaikan BBM? Di awal mereka menyiram bensin ke dalam api, setelah api membesar mereka menyalahkan panasnya yang membakar, sejurus kemudian mereka menghakimi para fireman yang berusaha meredakannya.
Tanggal 1 April ada di depan mata. Apakah ramalan Budiarto Shambazy mengenai April mop terwujud? Atau justru pembacaan Ikrar Nusa Bhakti yang melihat mendung bangsa kita hampir siap mencurahkan hujan besarlah yang terbukti?
Apapun itu, satu yang pasti. Media belum akan berhenti untuk terus menyiram bahan bakar ke atas bara konflik.