Tampilkan postingan dengan label Catatanku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatanku. Tampilkan semua postingan

Nostalgia

0 komentar

Disini kita duduk bersama cangkir dingin yang manis itu.
Meneguknya lalu kembali menatap satu lainnya.
Mengisahkan nostalgia tentang cerita lama dan kenangan.
Senyum dan tawa tergulung bersamaan, 
bah cerutu yang mengeluarkan asap keceriaan.
Rasanya tidak ingin pergi hari ini begitu cepat.
Kenapa kita harus menyia-nyiakan ini?
Rasanya terlalu sedikit hal yang kita omongkan.
Terlalu jauh, kalah, dengan canda, senyuman dan tawa kita.  
Kapan kita akan mengulangnya lagi? 

Sampah-sampah Kehidupan

0 komentar


Oleh : Satria putra

Sejak wanita itu menghilang, Sampah-sampah berserakan. Botol minuman kemasan, plastik dan kardus bekas terlihat dimana-mana. Kemana dia? Dulu aku pernah katakan pada teman-temanku “Tanpa dia, Banda Aceh semak”. Dan sekarang benar-benar semak.
***
Sekitar dua bulan yang lalu, tepat di awal November, terakhir kali aku melihatnya. Seperti biasa sekitar pukul 23:00 ia muncul dengan memikul karung kotor berisi sampah. Malam itu tidak banyak sampah yang ia kumpul. Wanita yang dipanggil Rima ini lebih banyak duduk ketimbang memungut sampah yang berkeliaran disekitarnya. Sudah beberapa malam ia terlihat seperti pemalas. Dan malam itu adalah malam termalas baginya yang pernah aku lihat. Tapi aku tahu betul jika itu semua ada alasannya. Hatiku pun membujuk untuk segera mencari tahu apa yang terjadi pada wanita tua itu. Akan tetapi untuk mendapatkan jawaban yang ku ingin, aku harus menunggunya disini, menunggu sampai ia melintas.

Malam sudah hampir sampai pada klimaksnya, namun Bu Rima belum juga melintas. Biasanya, sebelum pertengahan malam ia sudah mengambil jatah sampah didepan toko tempat ku bekerja (Nanti kujelaskan, kenapa Bu Rima punya jatah sampah disini). Aku sempat panik, jangan-jangan ia sudah pulang. Dan enggan untuk markir disini, karena sampah yang ia kumpul sudah cukup. Namun itu semua menghilang saat senyum mengembang dari wajah tua itu menyapaku. Masih seperti sebelumnya kulihat. Ia memilih duduk terlebih dahulu, ketimbang memungut botol dan plastik bekas jatahnya ditong sampah kami.

“Ibu sakit ?” sapaku saat menghampirinya.
Bu Rima diam, ia hanya menghela nafas panjang. Aku berusaha untuk tidak melanjutkan pertanyaan tadi. Saat itu aku merasa ia tersinggung dengan pertanyaanku. Aku memilih diam dan duduk dibangku sebelahnya.
“mau tutup jam berapa malam ini?” suara yang kutunggu akhirnya terdengar juga dari mulut sang ibu.
“seperti biasa bu” jawabku sambil tersenyum. Wanita itu mengangguk lalu bangkit dari duduknya dan mulai memungut sampah. Beberapa kali aku sempat mendengar Bu Rima terbatuk-batuk. Ia memang kelihatan sedang kurang sehat. Namun sepertinya ia enggan untuk mengiyakan padaku. Usai memungut botol-botol bekas di tong sampah, Bu Rima mencuci tangannya dengan air yang ia bawa. Botol berisi air cuci tangan itu ia letakkan tepat bersama botol-botol yang ia pungut. Akhirnya ia kembali menghampiriku dan duduk di bangku sampingku.

“anak ibu tidak setuju kalo ibu bekerja seperti ini. Ibu disuruh pulang kembali kekampung dan tinggal bersama mereka” Bu Rima memulai percakapan malam itu. Terlihat Raut sedih diwajahnya. Bahkan nada suaranya saat berbicara sesekali serak seperti menahan isak. Bu Rima mengatakan jika dirinya sangat berat untuk meninggalkan Banda Aceh. Bukan karena ia  ingin disebut orang kota. Tapi ia hanya khawatir jika nanti selepas kepergiannya tidak ada orang yang dapat mewarisi pekerjaannya itu.

Pernyataan Bu Rima tersebut mengingatkan ku pada awal-awal bertemu dengannya. Saat itu aku secara tidak sengaja melempar botol minuman bekas keluar dari toko tempatku bekerja. Mungkin karena kebiasaanku. Botol yang aku lempar pun jatuh dekat dengan tempat Bu Rima memungut sampah. Secara spontan aku meminta maaf  kepadanya. Saat itu ia hanya tersenyum dan mengangguk. Namun beberapa saat setelah ia menyelesaikan pekerjaannya dan telah memcuci kedua tangannya, ia balik menghampiriku. Dengan tegas dia melontarkan sebuah kalimat yang menjadi pelajaran penting bagiku.
“Nak, Sampah yang kalian buang itu adalah uang kami. Kami bisa makan dari situ” Bu Rima tersenyum sambil berlalu dariku. Hari itu menjadi pukulan berat bagiku. Dan mulai saat itu aku berusaha menjaga uang-uang mereka. Dan menyisakan sampah yang sesuai selera Bu Rima, yaitu botol minuman kemasan bekas, plastik dan kardus. Itulah sebabnya ditong sampah kami selalu ada jatah sampah untuk Bu Rima.

Bu Rima adalah warga Lhoksemawe yang merantau ke Banda Aceh Sejak 2010 silam. Dan itu pertama kali ia datang ke Ibukota  Seuramoe Mekkah ini. Awalnya beliau hanya bermaksud untuk mengunjungi salah seorang kerabat yang mengalami musibah. Namun dikarenakan keterbatasan ekonomi, akhirnya beliau tidak dapat kembali kekampung halamannya. Di Banda Aceh beliau hanya menumpang di sebuah rumah tua milik seorang warga.

Untuk tetap bertahan hidup diperantauan, tentu Bu Rima harus bekerja serta harus memiliki uang. Dan di usianya yang saat itu sudah berumur 64 tahun tidak mudah untuk menemukan pekerjaan. Akhirnya ia memilih menjadi pemulung. Karena hanya itulah salah satu profesi yang ia anggap layak dan bisa ia kerjakan tanpa harus mengeluarkan modal.

Ada hal menarik dari cerita beliau tentang pilihannya terhadap profesi sebagai pemulung, selain kerena pemasalahan modal. Berawal saat perjalanannya dari kampung menuju Banda aceh, didalam mobil yang ia tumpang ada salah seorang yang menyalakan mp3 dari Handphone selulernya. Suara yang keluar dari benda itu bukanlah nyanyian, akan tetapi suara salah seorang teungku tersohor di Aceh yang sedang berceramah. Ia mengaku tidak paham-paham betul tentang ajaran agama Islam. Beliau cuma tahu tentang ibadah dan sedikit tentang mu’amalah. Ceramah sang Teungku sayup-sayup terdengar diantara ringkikan mesin angkutan dan suara penumpang yang ngobrol. Namun Bu Rima tetap dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh sang teungku melalui ceramahnya.

Yang paling terkesan bagi Bu Rima adalah ketika sang teungku menyampaikan sebuah hadist tentang kebersihan. Teungku tersebut dengan detail menjelaskan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman dan Allah sendiri menyukai orang-orang yang bersih. Selain itu sang Teungku berulang kali mencontohkan persoalan kebersihan, yang Bu Rima anggap adalah hal-hal yang paling sering ia jumpai. Seperti orang-orang yang mengaku beriman tetapi lingkungannya kotor atau sering buang sampah sembarangan. Aku sendiri sempat merasa tersindir dari cerita Bu Rima, yang pada awalnya kelakuanku juga sering buang sampah sembarangan.

Karena alasan itulah ibu satu orang anak ini Ikhlas bekerja sebagai pemulung. Menjadi pemulung, bukan lah sebuah pekerjaan yang mudah. Meski kelihatannya ringan, namun tetap saja beresiko. Bu Rima sendiri mengaku pernah beberapa kali diserang aneka penyakit. Mulai dari Malaria sampai penyakit gatal-gatal. Selain itu ada hal pahit yang dialami Bu Rima, saat awal-awal menjadi pemulung, ia pernah di tuduh mencuri oleh seorang warga hanya karena ingin mengambil dua botol bekas dibalik pagar besi milik warga tersebut. Bu Rima juga pernah di tuduh sebagai penculik, hanya karena posisinya dekat dengan seorang anak kecil yang sedang makan es krim. Ia cuma bermaksud untuk menunggu wadah penampung es krim si anak kosong, yang nantinya ia ambil usai si anak membuangnya. Saat itu Bu Rima mengaku nyaris di hakimi warga, untung ada salah seorang yang mengenalnya dan membatunya memberi keterangan.

“kadang jadi pemulung itu serba salah, gak ngambil sampah jadi masalah, ngambil pun salah” itu salah satu keluhan yang pernah kudengar dari Bu Rima. Ia juga mengaku kesal dengan orang-orang yang tidak menghargai pekerjaannya. Menurutnya jika didunia ini tidak ada yang mau memungut sampah sedangkan sampah terus menerus dibuang sembarangan, maka dunia ini dalam sekejap akan tenggelam dengan sampah. Bu Rima juga heran, kenapa banyak yang tidak suka saat ia mengambil sampah. Apa salahnya dengan pekerjaanya itu. Anak nya sendiri justru beberapa kali merangnya melakukan pekerjaan itu. Mungkin alasan yang terakhir karena itu di anggap pekerjaan yang hina. Lalu hinakan mereka yang mau berkorban demi kebersihan. Itu yang tidak habis aku pikir.

Demikianlah kisah pertemuanku dengan Bu Rima harus berakhir pada malam itu. Bu Rima harus kembali kekampung halamannya. Disana ia akan kembali tinggal bersama seorang anak perempuannya yang baru saja menikah. Oh iya, aku lupa menjelaskan tadi, bahwa Bu Rima sudah tidak bersuami sejak dua tahun sebelum tsunami. Aku tidak menanyakan secara rinci perihal beliau kehilangan suaminya. Yang jelas aku mengetahuinya saat ia sedang berbicara dengan seorang ibu, yang menghampirinya saat sedang memungut sampah. Entah karena sudah saling kenal atau tidak, ibu itu terlihat begitu akrab dengan Bu Rima. Dari percakapan itulah tanpa sengaja aku mendengar secuil kalimat “saya sudah tidak punya suami, udah lama taon 2002” dari mulut Bu Rima.

Bu Rima sengaja selama beberapa hari terakhir tidak terlalu banyak memungut sampah, karena ia selalu di awasi oleh anaknya yang baru datang untuk menjemputnya pulang. Kala itu sampah yang ia pungut juga ia berikan kepada pemulung lainnya dan tidak ia jual sendiri. Hal itu ia lakukan agar anaknya tidak tahu jika ia masih memulung, untuk uang tambahan perjalanan pulangnya. Dan salah satu cara mengakalinya adalah dengan duduk-duduk sejenak, jika ia merasa sudah aman baru ia memungut sampah.

Jujur aku tidak mengerti mengapa sampai segitunya ia menghindar dari sang anak. Dan aku tidak paham betul mengapa sang anak sampai melarangnya sedemikian rupa. Karena hanya malam itu moment terakhir bersamanya. Aku tidak punya waktu untuk bertanya lagi.

Sepeninggalan malam itu Bu Rima tidak lagi muncul. Meski sampah jatahnya selalu ada, namun sampah-sampah itu masih tetap disana sampai petugas kebersihan pagi datang menjemput. Sejak wanita itu menghilang, Sampah-sampah berserakan. Botol minuman kemasan, plastik dan kardus bekas terlihat dimana-mana. Kemana dia? Dulu aku pernah katakan pada teman-temanku “Tanpa dia, Banda Aceh semak”. Dan sekarang benar-benar semak. Menjelang tengah malam sampai setelah subuh, nyamuk berpesta pora, diatas sampah-sampah yang biasanya suka dikumpul oleh Bu Rima.

Kini malam terasa begitu sepi dan panjang. Tidak ada lagi cengiran dan tawa dari wajah wanita tua itu. Biasanya saat hendak mengambil sampah, ia selalu terlebih dulu menyapa orang-orang sekitar dengan ramah. Mengajak mereka berbicara bahkan tidak jarang ia membuat lelucon yang menghibur dan menjadi bahan ketawaan orang. Ia adalah sosok yang luar biasa.

Sekarang sampah-sampah seperti hidup dan berkembang biak. Sampah yang hidup sendiri, tanpa memberi kehidupan. Sampah sudah tidak berharga. Sampah sudah seperti bukan lagi uang-uang mereka. Sampah adalah sampah itu sendiri. Tiada lagi sampah-sampah kehidupan.

SANG TELADAN DARI DESA

0 komentar

Matahari senja telah melambaikan tangan, namun wanita paruh baya itu masih duduk didepan sebatang pohon rindang diperjalanan pulang dari kebunnya.  Nafasnya masih terengah-engah. Hembusan sepoi belum sanggup merayunya untuk bangkit. sesekali  Kain kecil ditangan kanannya  mengusap muka yang berlumur keringat. Tatapan matanya kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan dalam benaknya.


Suara sepeda motor yang melaju kencang mengagetkan lamunnya. Wanita bernama Husna itu baru sadar bahwa hari hampir berpelukan dengan malam. Ia segera bangkit. Diambilnya tas berisi sayur-sayuran dan botol minuman kosong, lalu ditidurkan dipunggungnya. Ia pun memulai langkah dengan cepat meninggalkan pohon-pohon rindang dan jalan bebatuan yang selalu menyaksikannya tiap pergi dan pulang dari kebun.


Krisis ekonomi yang melanda Ketum Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ini, memaksanya untuk ikut campur memenuhi kebutuhan hari-hari. Walau ia tak sekuat dulu, tapi diusianya yang hampir menginjak 51 tahun, semangat untuk beribadah dan bekerja tidak dinomor duakan. Wajar jika seperempat malam tiba, wanita kelahiran seulimum 17 juli 1962 itu melalaikan diri diatas sajadah. Ketika pagi tiba ia dengan segera mempersiapkan sarapan untuk anak-anaknya yang akan berangkat kesekolah. Baru setelah menyelesaikan tugas hari-harinya, ia mempersiapkan diri untuk berangkat kekebun membantu sang suami bercocok tanam. Disamping tugasnya sebagai Ketum PKK, yang tetap ia jalani dengan konsistem dan rasa tanggung jawab.

Sosok husna bukanlah hal asing bagi masyarakat Dusun Nangka, Desa Jantho Baru. Sifatnya yang ramah dan suka menolong membuat masyarakat sekitar terkesan dengan pribadi Husna. Pernah suatu ketika seorang warga meminta bantuan Husna untuk menanami padi disawahnya, namun ia tak mampu memberi upah pada husna, seperti biasanya orang-orang berikan. Ia hanya mampu memberi setengah dari upah biasanya. Husna tidak menolak. Dengan keihklasan dan kebesaran jiwa yang ia miliki, Husna membantu orang tersebut. Hal itulah yang membuat Husna pernah diusulkan untuk menjadi sekdes di desanya tiga tahun silam. Namun setelah pertimbangan beberapa hal ia pun menolak sendiri usulan tersebut.

Husna bukanlah superman atau pahlawan bertopeng lain, namun perannya dalam memperjuangkan keluarga patut di ancungkan jempol. Betapa tidak, saat Aceh bergejolak dengan kehadiran kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI, keluarga husna termasuk salah satu dari sekian banyak keluarga yang terkena dampaknya. Setelah kurang lebih satu tahun rumah yang dibangunnya bersama suami dilahap api, pada tanggal 24 april 2002 keluarga Husna kembali dilanda musibah. Kali ini ditujukan kearah sang suami. Buruh tani itu diklaim memiliki hubungan khusus dengan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap mengacaukan negeri. Setelah dipukul babak-belur sang suami digiring oleh orang-orang tak dikenal itu menuju sebuah truk. Dengan alasan ingin mengintrogasi.


            Dua tahu sudah berlalu. Namun suaminya yang dijanjikan akan kembali satu hari setelah masa pengambilan belum juga pulang. Selama itulah Husna menjadi penompang hidup keluarga. Bayangkan seorang wanita yang pekerjaannya hanya buruh petani yang tidak tergolong produktif, harus mebiayai sekolah dan memberi makan keempat orang anaknya yang masih keci-kecil. Ditambah dengan keadaan negeri yang sedang konflik.


            “Tuhan selalu ada bersama kita” begitulah kata-kata yang sering terucap dibibir Husna. Namun disaat ia dengan giatnya membenahi kebutuhan keluarga, Allah memberi peringatan kepada seisi negri “seuramoe meukah”.Guncangan gempa yang disusul gelombang tsunami pada akhir tahun 2004 hampir meluluh lantakkan segalanya. Keluarga Husna memang tidak terkena dampak dari itu, namun hubungan emosionalnya terus mencekang diri. Ia berhasrat untuk terjun sebagai relawan. Namun disisi lain ia tidak mungkin meninggalkan anak-anaknya begitu saja.


Saat tataan kota porak-poranda, Jantho menjadi tempat alternatif bagi para pengungsi bencana gempa dan tsunami. Karena tempatnya yang tergolong jauh dari sasaran air laut dan termasuk daratan tinggi. kesempatan itupun tidak disia-sia Husna untuk mewujudkan impiannya membantu sesama. Walau dengan ala kadar dan keadaan pas-pasan ia bersedia menampung seorang janda dengan 2 orang anak yang juga masih kecil-kecil untuk tinggal bersamanya sementara waktu. Secara logika akan terfikir bahwa dengan bertambahnya anggota keluarga maka kebutuhan akan semakin meningkat. Namun tidak ada tanda-tanda Husna mengeluh, bahkan hampir setiap hari pada waktu luangnnya ia bersama ibu-ibu yang lain menbantu untuk mempersiapkan makanan secara massal kepada para pengungsi didesanya.


Disela-sela perjuanganya, Allah SWT  menjawab dengan hikmah. Anak sulung Husna terpilih menjadi salah satu dari sekian remaja yang dinobatkan sebagai Relawan Duta Bencana. Kontrak 2 tahun bersama NGO sungguh sangat menbantu keluarga. Namun hal itu tidak membuat Husna lengah memegang tanggung jawab keluarga. Ia tetap menjalani tugas hari-hari sebagai buruh tani yang dibantu oleh anak-anaknya seperti biasa. Sampai suatu ketika wanita yang ditampung husna beberapa waktu lalu berpamitan tuk tinggal bersama keluarganya yang kebetulan masih selamat didaerah perkotaan. Dengan berat Husna melepas sang wanita beserta kedua anaknya. Ia merasa belm memantu apa-apa.


Selang beberapa minggu setelah kepulangan wanita yang ditampungnya itu, keluarga husna dikejutkan dengan kehadiran seorang pria godrong dengan tampilan acak-acakan. Semula tidak ada yang tahu siapa lelaki itu. Namun lambat laun Husna sadar kalau itu adalah suaminya yang telah pergi sekian lama. Banyak yang berubah dari sang suami. Baik penampilan maupun sikapnya. Ia seperti stres berat terkadang mengamuk sendiri. Selama itu tidak jarang Husna dan anak-anaknya menjadi sasaran amukan sang suami.


Karena telah terbiasa menjadi penompang hidup, dan disaat suaminya kembali dengan keadaan gak karuan, Husna dengan tabah menjalaninya seperti biasa. Husna tidak lagi berharap pada sang suami seperti sediakala sebelum ia terkena gangguan jiwa. Dan sampai saat ini husna tetap seorang pahlawan tangguh bagi keluarganya. Disamping tugas sebagai Ketua Umum Ibu PKK yang sejak dua tahun terakhir ia pikul. Walau sekarang keadaan jiwa sang suami sudah membaik, namun seperti telah mendarah daging ia tetap menganggap diri sebagai penanggung jawab keluarga. Bagi masyarakat di desanya dialah the real heroes, sang teladan dari desa yang patut dicontoh.

Makna Dari Yang Kecil

2 komentar
Suatu Ketika saya berjalan menyelusuri sebuah lorong kecil dipusat kota Banda Aceh. Sebuah lorong yang saya rasa tidak pernah sepi dengan suara tapak. Saya melihat dua orang anak kecil sedang memperebutkan sesuatu. Karena penasaran  lantas saya menelusuri, hal apa yang sedang diribut-ributkan para "GENG" lorong itu. Setelah melakukan beberapa "Observasi" (ceeile gaya_nya) akhirnya saya ketahui ternyata yang sedang diperebutkan adalah sebuah batu. Saya sempat bertanya pada kawanan yang menjadi saksi hidup disana "Kenapa batu saja sampai diperebutkan?". Ternyata dari beberapa pernyataan saya dapatkan sebuah "statment" tentang alasan batu itu diperebutkan. Konon batu itu indah dan berharga. Saya berfikir, wajar saja jika sesuatu yang indah dan berharga itu diperebutkan, misalnya pada masa sekarang ini yang paling sering diperebutkan adalah Harta, Jabatan atau juga wanita (Perhiasan :D).
Saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saya, karena tujuan awal saya adalah mencari "Bengkel" (Ceritanya penyebab saya menyelusuri lorong dikarenakan "Ban" Motor yang saya Kendarai bersama seorang teman bocor).

Pesan Bego' dari sang inspektur

0 komentar


Hari itu aku tengah sibuk menggulung karton dan kertas kado untuk kupajang di toko. cukup lelah karna tumpukan nya agak lumayan tinggi. ditambah aku hanya bekerja sendiri. suasana hari memang gak terik seperti biasanya. hujan pun hanya mengancam dengan awan hitam. gak keliatan kalo dia mau turun. hadeuh kebanyakan ngoceh ya, bukan masuk terus ke intinya. alah hai, aku.!!

Ok. sebenarnya aku cuma mau bilang, bahwa ketika aku asik mengulung si karton, eh tiba2 ada yang manggil aku dengan nada keras. aku sempat melongo mencari sumber suara, eh betapa terkejutnya ternyata yang meneriakiku adalah seorang inspektur ternama (ep salah) maksud saya adalah seorang bocah kecil. hehe. aku pun menghampirinya sambil mencubit kecil pipi mungilnya itu. dia mengerang, lantas melempariku dengan sebembar uang bergambar pangeran antasari. tidak cukup disana, dia lantas menarik jari telunjukku, aku di tuntun kedalam ruangan yang berjejer dengan pajangan komputer. didepan komputer2 yang menyala itu telah ada nahkoda masing2. cuma nomor tiga yang tersisa, sang inspektur (maksud saya) bocah kecil (imut kayak semut :D ) memberi isyarat kepadaku untuk mengangkatnya keatas kursi. maklum baru 3 bulan cuma bisa oweeek oweeek. eh mana da udah sekolah play grup hai dia. iya ajalah. hag hag hag udah belok lagi kayaknya.

Usai komputer menyala dia memintaku untuk pergi, aku dengan bego' nya pergi, pegi tanpa alasan (kek laguna eren aja ya). hag ahg ahg. se ingat aku, rasanya baru dua langkah aku berjalan pergi, tiba2 suara teriakan itu keluar lagi dari sumbernya. aku menoleh " Apa lagi sich" kuperhatikan ia memegang telunjuk sambil menghembus.
" ini kecepeeeet" hag hag hag, rupanya jari kecil itu terjepit diantara huruf dan tanda baca pada keyboard. dalam hati aku bilang " mampuss, rasain" hehehe

Tapi gak tega juga liatnya, dengan sok empati aku bantu elus2. hehe, jarinya kecil sangat, enak tu kalo di kecapin hehe. lagi ngelus2 tu jari aku kepikiran "ni pas nya digigit, kapan lagi punya kesempatan untuk bls dendam sama anak cebol yg sering gangguin aku kalo bukan sekarag" tapi sebelum niat itu kutuntaskan, dia udah buru2 narik jarinya. sepertinya dia punya indra ketujuh, ato kelapan, ato juga indra herlambang. kemudian  dia menarik jari telunjukku lalu menggigitnya. "aaaauuuw" aku menarik jariku dari mulutnya dan berlari keluar toko sambil menahan sakid.

"sial" pekikku, benar saja firasatku. sedang enak2nya mengaduh-aduh dalam hati, eeh dia datang lagi. Sambil senyam-senyum kedua tangannya persis seperti rentenir atau ibu kos-kosan yang nagih kontrakan, dia menatapku dengan kepala sedikit mereng kekanan.
"mau balas?? nie" katanya sambil mengacungkan telunjuk kearahku. aku pun tersenyum kecil, pikiranku berkata "hajar men" hag hag hag, gak kek gitu juga kalieeee.
aku pun buru2 menggapai tangannya, namun dia dengan sigap nenarik dan berujar "balas dendam itu gak baik, apalagi sama anak kecil"lantas dia ngancir kabur kedalam. aku terdiam bisu sambil berfikir tenang. Astagfirullah.... benar apa yang dibilang si anak mungil itu. itulah sepenggal pesan yang kudapat. pesan itu ku artikan dengan bercabang arti. aku berfikir seandainya anak ini berdiri didepan rapat paripurna DPR lalu berpidato " Balas Dendam Itu Gak Gak Baik, Apa Lagi Sama Rakyat Kecil" kira2 apa respon mereka sama sepertiku. I Can Say, "hom hai"


Arti Sebuah Pekerjaan

0 komentar
Seorang eksekutif muda sedang beristirahat siang di sebuah kafe terbuka. Sambil sibuk mengetik di laptopnya, saat itu seorang gadis kecil yang membawa beberapa tangkai bunga menghampirinya.
”Om beli bunga Om.”
”Tidak Dik, saya tidak butuh,” ujar eksekutif muda itu tetap sibuk dengan laptopnya.
”Satu saja Om, kan bunganya bisa untuk kekasih atau istri Om,” rayu si gadis kecil.
Setengah kesal dengan nada tinggi karena merasa terganggu keasikannya si pemuda berkata, ”Adik kecil tidak melihat Om sedang sibuk? Kapan-kapan ya kalo Om butuh Om akan beli bunga dari kamu.”
Mendengar ucapan si pemuda, gadis kecil itu pun kemudian beralih ke orang-orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Setelah menyelesaikan istirahat siangnya,si pemuda segera beranjak dari kafe itu. Saat berjalan keluar ia berjumpa lagi dengan si gadis kecil penjual bunga yang kembali mendekatinya. ”Sudah selesai kerja Om, sekarang beli bunga ini dong Om, murah kok satu tangkai saja.”
Bercampur antara jengkel dan kasihan sipemuda mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya. “Ini uang 2000 rupiah buat kamu. Om tidak mau bunganya, anggap saja ini sedekah untuk kamu,” ujar si pemuda sambil mengangsurkan uangnya kepada si gadis kecil.
Uang itu diambilnya, tetapi bukan untuk disimpan, melainkan ia berikan kepada pengemis tua yang kebetulan lewat di sekitar sana. Pemuda itu keheranan dan sedikit tersinggung.
”Kenapa uang tadi tidak kamu ambil, malah kamu berikan kepada pengemis?”
Dengan keluguannya si gadis kecil menjawab,
”Maaf Om, saya sudah berjanji dengan ibu saya bahwa saya harus menjual bunga-bunga ini dan bukan mendapatkan uang dari meminta-minta. Ibu saya selalu berpesan walaupun tidak punya uang kita tidak bolah menjadi pengemis.”
Pemuda itu tertegun, betapa ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil bahwa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tidak seberapa tetapi keringat yang menetes dari hasil kerja keras adalah sebuah kebanggaan. Si pemuda itu pun akhirnya mengeluarkan dompetnya dan membeli semua bunga-bunga itu, bukan karena kasihan, tapi karena semangat kerja dan keyakinan si anak kecil yang memberinya pelajaran berharga hari itu.
Tidak jarang kita menghargai pekerjaan sebatas pada uang atau upah yang diterima. Kerja akan bernilai lebih jika itu menjadi kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran dalam sebuah pekerjaan, jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan memberi nilai kepada manusia itu sendiri. Dengan begitu, setiap tetes keringat yang mengucur akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangkan.

Kalo Indah Mengapa Harus Sakid

0 komentar
Hari itu hujan turun begitu deras. tidak ada yang dapat menghalangi kegirangannya bersama angin. iya angin sejak pagi terus saja mengajak hujan menari, bersama kertas kusam yang kuyup.
Aku duduk disebuah halte dekat dengan masjid tempat aku melaksanakan shalat zuhur tadi. sendiri, tidak ada seorang pun yang menemani. hanya percikan air dari sang angin yang mengajakku menari dan menari. mungkin dia mencoba mehiburku, yang bengong sejak hujan belum turun. tapi tetap saja aku tidak terusik dengan semua itu. aku tidak sadar entah berapa lama aku duduk dihalte samping jalan itu. tanganku menggenggam erat selembar kertas yang tulisannya mirip cakar ayam "Kalo Indah Mengapa Harus Sakid" itu kalimat yang tertulis, di lembaran yang sudah kusut dan basah. itu kalimat yang aku tulis sendiri. rasanya aku sudah bosan menyiksa kertas ini, dan aku berfikir untuk membuangnya. puas, itu rasanya. saat kertas itu tidak ada lagi dalam genggamanku.

Dari kejauhan terlihat seorang lelaki berusia senja menuju kearahku, saat bersua dengannya aku hanya mengumbar senyum kecil. Anehnya dia tidak mau duduk,meski hujan deras ia memilih untuk tetap berdiri didepanku. aku pun terpaksa berdiri karena gak enakan. awalnya aku tidak sadar apa yang dia lakukan, sambil menatap kebawah dan kaki kanannya menggosok2 lantai. pas berdiri aku baru terkejut, ternyata ia sedang berusaha membaca tulisan dikertas yang aku buang tadi. memang aku hanya tenang2 saja, karena aku yakin orang setua dia mana mungkin bisa baca tulisan yang udah hancur. tapi perasaan tidak enak tetap berpratroli di pikiranku.
"yang indah itu tetap akan indah, yang sakit itu tetap sakit. tidak pernah indah berubah menjadi sakit" lelaki berkopiah kusam itu kini bersuara. Bersuara lantang yang jelas mengagetkanku. ia kemudian memilih duduk, aku juga menyusulnya. karena males banget berdiri, pegel lama-lama. aku tidak menyangka ternyata dia membaca itu. yang justru membuat aku bingung mengapa seolah-olah dia tau kalo tulisan dikertas itu milikku. akhirnya binggungku itu kusampaikan padanya.


"Maksudnya gimana tu kek?" tanyaku tanpa merasa bersalah.


Iya tidak menjawab, lalu kembali berdiri dan berjalan kedepan. Tangannya dilambaikan kearah sebuah angkutan yang hendak melintas. Angkutan itu pun berdiri melewatinya 1 meter, kemudian si lelaki tua itu menatap kearahku yang masih bengong.


"Coba tanamkan sebiji tumbuhan apa saja, lalu biarkan ia tumbuh dan sampai mati. Mungkin kamu akan dapat sesuatu darinya"


kalimat itu mengakhiri percakapan kami. Pertemuan singkat yang membuat aku bertambah risau. Namun dari Kerisauanku aku berfikir untuk melakukan apa yang dikatakan sang kakek. gak da salahnya kalo aku coba. Hari itu juga aku menanam sebatang bunga dipinggir kamarku. sebatang bunga dahlia itu kini telah mekar, dan sangat indah. aku ridak tau kapan berakhir keindahannya itu. dan aku masih menunggu jawaban dari sang bunga untuk mengetahui maksud sikakek.

KECERIAAN ITU JANGAN KUSUT LAGI

0 komentar

Written By : Satria Putra



Malam mulai bungkuk kearah Fajar. Nyanyian jangkrik kalah suara, dengan dentuman musik Pop yang aku putar dicomputer operator. Para pelanggan jasa Internet sudah mulai sepi sejak pukul 01 lebih sedikit. Hanya tinggal beberapa mata saja yang belum lelah menatap monitor beaneka warna itu. Disudut ruangan terlihat seorang lelaki yang duduk dalam sebuah bilik kecil berukuran 1x1 meter, tepat didepan tangga  menuju lantai 2 ruangan itu. Dengan mata yang mulai layu sang lelaki tetap berusaha membelalak kearah tulisan-tulisan yang terpampang didepannya. Walau kantuk yang bergelantungan di ujung kulit matanya, membuat ia harus siap beberapa kali terangguk kecil. Namun ia berusaha cepat sadar dan membenarkan kembali duduknya.

Tangan kanan lelaki itu, asyik memencet-mencet remot berekor yang bentuknya seperti telur dibelah dua. Tapi bedanya, remote ini memiliki lampu yang berkedip-kedip. Sedangkan tangan yang satunya lagi sibuk melakukan patroli diseputaran jidad, kadang turun kedagu. Pernah juga sesekali naik keatas untuk membajak kepalanya yang mungkin gatal. Lelaki berkulit terang itu adalah Ma’rif Maulidi Chamis. Teman MA-ku dulu. Sejak aku mengenalnya enam tahun lalu, tidak pernah terdengar nama panggilan khusus. Kecuali nama aslinya, yaitu Ma’rif. Nanti kujelaskan mengapa bisa demikian.

Ma’rif sudah datang ketempat kerjaku sejak jarum pendek pada jam masih menunjuk kearah angka  sembilan. Dengan maksud untuk menyelesaikan tugas makalah, salah satu mata kuliah yang diberikan oleh Dosen dikampusnya. Keinginannya untuk bergelut dengan kyboard lebih awal, harus terhenti saat aku mengatakan bahwa semua room sudah terisi. Ma’rif pun harus rela menunggu dibangku teras depan bersama salah satu anggota kelompok makalahnya. Dan baru bisa menuntaskan niatnya setelah putaran jam bergulir 2 kali 60 menit. Meski harus menunggu lama wajahnya tetap saja terlihat ceria. Tidak heran hampir dua karung obrolan hangat tersantap bersama sang teman, diselingi tawa yang terbahak khasnya itu. Sebelum aku memanggilnya, untuk segera mengambil alih menahkodai computer yang berada pada bilik paling sudut bertulisan No.7.

Ma’rif memang hampir selalu terlihat ceria. Itulah salah satu kelebihan lelaki pemilik rambut bergelombang itu. Mudah berbaur dengan teman-teman, dan bisa mengkondisikan diri dengan suasana yang dibawa oleh teman-temannya. Namun bukan berarti Ma’rif dengan begitu saja mudah terpengaruh. Walau ia adalah pemuda yang ramah dan mudah bersahabat, Ma’rif tetap menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik atau harus dihindari. Tanpa harus membuat teman-temannya tersinggung. Sifat itu sudah lama tertanam dalam jiwa Ma’rif dan masih bertahan sampai sekarang.

Tidak heran saat ia menginjakkan kaki ditanah Jantho untuk melanjutkan sekolah tingkat SMAnya, belum ada satu orangpun yang menyadari bahwa Ma’rif saat itu sudah menjejaki sekolah pada kelas sepuluh. Selain posturnya yang terbilang mungil dan sifat enjoy nya yang tidak peduli meski harus berteman dengan anak-anak yang baru tamat Sekolah Dasar, membuat banyak yang mengira bahwa Ma’rif Maulidil Chamis saat itu adalah santri baru kelas satu MtsN. Sampai proses belajar-mengajar di pondok pesantren Al-Fauzul Kabir berjalan normal, barulah orang-orang terperangah saat Ma’rif masuk ke kelas tempat belajar siswa MA.

Sebenarnya melanjutkan sekolah di penjara suci yang menjadi urat nadi ibu kota Aceh Besar itu, bukanlah keinginan Ma’rif seratus persen. Meski beberapa bulan sebelumnya sudah pernah mengunjungi pondok pesantren yang berbasis terpadu tersebut, ketika masih dalam tahap pembangunan. Salah satu alas an Ma’rif adalah karena terlalu jauh dari tempat tinggalnya di Darusalam. Namun atas dasar saran orang tuanya, akhirnya ia berjodoh dengan Pondok Pesantren yang sering disebut Al-faka itu. Kebetulan adik kandung Ma’rif juga ingin bersekolah disana, dan orang tuanya sangat berharap agar Ma’rif dapat menjadi pembimbing adiknya kelak.

Kecerian Ma’rif sempat pudar tiga tahun lalu. Keputusannya untuk melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi harus dibayang-bayangi dengan rasa bimbang. Saat itu Ma’rif bersama rekan-rekannya, begitu berhasrat untuk melanjutkan kuliah keluar negeri. Tawaran pendidikan gratis dari berbagai Universitas terkenal pun, tak henti-hentinya menggoda. Menyadari hal itu adalah kesempatan emas baginya, Ma’rif lantas melaporkan keinginannya itu kepada sang ibu. Awalnya anak kedua dari empat bersaudara ini begitu yakin, bahwa ibunda tercinta akan mengabulkan kenginannya tersebut. Apalagi saat ia menyampaikan hasatnya itu, ibundanya terlihat sangat senang.

Ibu mana yang tidak bangga melihat anaknya bersekolah di luar negeri. Apalagi biaya pendidikan yang tidak ditanggung sendiri, tentunya sangat membantu sekali. Ibunda Ma’rif sendiri sebenarnya sangat ingin anaknya bisa seperti anak-anak tetangga yang lain. Yakni dapat menuntut ilmu dinegeri orang, yang pastinya akan membawa harum nama keluarga.

Kaget bercampur haru, itulah yang dirasakan Ma’rif Maulidil Chamis, setelah mendengarkan penuturan dari ibunya. Namun tidak bisa dimungkiri jika hasratnya itu harus tertunda. Pasalnya, meski bangga akan cita-cita sang buah hati, rasa berat untuk melepas Ma’rif pergi juga terlihat jelas di mata Ibundanya. Cerita lama yang sudah berulang kali didengar  dari ibunya kembail terdengar hari itu. Dan menjadi alasan berat bagi Ma’rif untuk meluruskan niatnya yang sudah terencanakan jauh-jauh hari.

Ya, cerita tentang seorang yang taat dan sholeh hidup bahagia di perantauan. Sampai lelaki sholeh itu meninggal, tak ada seorang pun yang merasa hatinya tergores akibat ulah sang lelaki. Akan tetapi istrinya bermimpi bahwa suaminya sedang disiksa dalam neraka. Tak sanggup menahan risau dan gelisah, ia mengadukan mimipinya itu kepada orang alim. Orang alim tersebut menafsirkan, “ada satu orang yang menderita dalam kesusahan yang ia lupakan. Sementara ia hidup bahagia di negeri ini.” Mendengar penjelasan sang ulama, istrinya pun mencari tahu tentang orang yang dimaksud. Ternyata benar, seorang wanita yang merupakan adik kandung dari lelaki sholeh itu hidup dalam penderitaan yang teramat sangat. Kemudian istrinya memberikan harta yang ditinggalkan suaminya untuk mengurangi beban penderitaan wanita itu. Malam itu dia bermimpi kembali tentang suaminya, namun keadaannya sudah berubah. Tidak ada siksaan lagi, yang ada hanya senyum bahagia yang terpancar dari wajah suaminya.

Meski ibunya tidak pernah menjelaskan hikmah dari kisah yang beliau ceritakan, Ma’rif sudah sangat paham maksud dari wanita yang melahirkannya itu. Tinggallah Ma’rif dengan kebimbangannya. Keceriaannya pun terlihat pudar dan hanya memilih lebih banyak diam dan termenung sendiri. Ma’rif tidak lagi tertarik dengan obrolan hangat teman-temannya, tentang Universitas terkemuka didunia yang ingin mereka singgahi nantinya. Bahkan saat para guru-guru bertanya tentang masa depan ma’rif dan kawan-kawan, ia hanya mengatakan bahwa dirinya belum bisa nenentukan kemana. Walau kawan-kawan selalu membela Ma’rif dan mengatakan bahwa ia akan melanjutkan kuliah keluar negeri. Ditambah para guru-gurunya juga meng-amini hal itu, meski Ma’rif sendiri hanya menyambutnya dengan senyum kecil.

Kegelisahan dihati Ma’rif semakin tak beujung, saat mendengar kabar dari teman-temanya bahwa batas pendaftaran untuk calon penerima Beasiswa luar negeri sudah memasuki masa-masa tenggang. Terlebih teman-temannya sudah pada sibuk mengurus perlengkapan syarat yang minta. Diantara mereka bahkan bebas pulang pergi kekampung halaman dengan alasan untuk mengusrus surat ini dan itu. Ditambah para guru dan Ustaz pembimbing memaklumi hal itu dan menganggap sesuatu yang wajar. Walau hakikatnya Pon-Pes yang sudah berdiri sejak tahun 1991 itu, punya disiplin yang kuat. Apalagi menyangkut tentang pulang pergi santrinya.

Saat-saat seperti ini adalah hal yang paling sulit bagi siapa pun. Begitu juga dengan ma’rif, kebimbangan dan keragu-raguan terus saja menghantui. Hal itulah yang membuat ma’rif segera memutuskan kemana langkah masa depannya itu. Dengan cara yang di ajarkan oleh gurunya yakni  “Wasta’iinu bis shobri was sholah..., Shalat Istikharah lah penyelesaian akhirnya. Ma’rif Kemudian melakukan shalat itu ketika malam benar-benar sunyi. Ia benar-benar mengharapkan jawaban yang tepat. Dan melepas semua hal-hal membuat ia terpuruk seperti itu.

Hari-hari kelam terlewatkan sudah. Keceriaan yang sempat hilang kini terlihat lagi dari wajah itu. Keputusan untuk melanjutkan kuliah di tanah kelahirannya sendiri sudah dibulatkan dalam hati. Walau hal itu sempat mengejutkan banyak pihak. Terutama jajaran guru-guru. Bahkan bapak kepala sekolah sendiri sempat mengingatkan Ma’rif, bahwa pilihan untuk kuliah didaerah sendiri adalah pilihan kesekian. Beliau juga meyakinkan bahwa kesempatan yang sama tidak mungkin  akan bisa diperoleh pada tahun-tahun berikutnya. Namun rayuan-rayuan itu, hanya mengalir bah angin bagi ma’rif. Karena dia sangat yakin bahwa keputusannya saat ini adalah hasil petunjuk dari Yang Maha Esa. Terlebih setelah ia melakukan shalat istikharah, ma’rif pernah bermimpi “ia pulang pulang kerumah dalam suasana yang menyenangkan” yang di tafsirkan sendiri bahwa ia harus mengabdi kepada orang tua terlebih dahulu.

Pengumuman hasil ujian akhir tingkat SMA tinggal menunggu hari. Perguruan tinggi di Aceh pun rata-rata sudah membuka pendaftaran bagi para calon mahasiswa baru. Ma’rif bersama 15 orang temannya yang lain memang sudah menerima undangan dari IAIN AR-RANIRRY, sejak beberapa minggu sebelumnya. Berkas-berkas persyaratan yang diminta sudah terkirim. Tinggal menunggu hasil pengumuman kelulusan dari panitia.

Dan ketika saat-saat yang ditunggu tiba, yakni pengumuman hasil ujian akhir dan pengumuman kelulusan seleksi mahasiswa undangan di IAIN AR-RANIRRY, kecerian Ma’rif semakin berkicau. Betapa tidak, Ma’rif beserta seluruh teman-temannya dinyatakan lulus dari sekolah tingkat atas itu, dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan. Begitu juga dengan hasil seleksi mahasiswa undangan yang dia ikuti, semuanya lolos seleksi dan dapat langsung menyelesaikan persyaratan administrasi tanpa harus mengikuti test lagi.

Kesempatan ini tidak dibuang percuma oleh ma’rif. Meskipun dari 15 orang temannya yang sudah dinyatakan lulus seleksi di IAIN AR-RANIRRY Banda Aceh hanya tiga orang dengannya yang melanjutkan ke perguruan tinggi Islam itu. Yang lain merasa bahwa pilihan mereka tidak cocok dengan apa yang mereka impikan. Karena sebagian besar yang lulus adalah pilihan ke dua dan ketiga dari pilihan mereka. Ada yang berkeinginan untuk mengikuti tes ulang dan ada juga yang masih menunggu kelulusan dari lembaga yang mengeluarkan Beasiswa, untuk pergi menuntut ilmu ke luar negeri.

Menempuh pendidikan tingkat Strata Satu  di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah IAIN AR-RANIRRY adalah pilihan Ma’rif yang sudah dibulatkan dalam hatinya. Ketertarikannya itu berawal dari tingkah laku dan sifat ramah,  seorang dosen yang dulunya juga menempuh pendidikan disana. Itu terjadi saat musibah tsunami beberapa tahun silam menerpa Aceh, dan keluarga ma’rif menggungsi ke Blang Bintang dirumah pak dosen yang bernama Yusri itu. Ibunda Ma’rif yang juga ikut menjadi saksi kebaikan bapak yang memiliki kembaran itu, sangat mengimpikan jika suatu saat nanti ma’rif dapat mengikuti jejak lelaki yang sekarang menjadi dosennya itu.Dari sanalah ma’rif belajar banyak tentang kehidupan yang sesungguhnya. Yakni harus selalu dihadapi dengan senyuman dan kecerian walau terkadang harapan tidak pernah sejalan dengan apa yang dipikirkan.

Sejak mulai berkuliah Ma’rif sudah tertarik untuk bergabung di organisasi kampus. Bermodal pengalaman menjadi Pengurus OSPA (Organisasi Siswa Pesantren Al-fauzul Kabir) ketika masih duduk di bangku MA, membuatnya begitu yakin untuk dapat meneruskan kiprah di jenjang pendidikan tingkat tinggi itu. Sanggar Seni Selaweut atau sering disebut S3 itulah organisasi kemahasiswaan tempat Ma’rif berlabuh. Minatnya terhadap seni dan musik khususnya membuat rasa penasaran lelaki itu bertambah. Walau pada hakikatnya keberadaan Ma’rif di S3 berawal dari Candaan.

“Saya mengira S3 itu tingkat pendidikan Doktor, kebetulan saat baru-baru kuliah belum suka baca-baca mading. Saya Cuma baca sekilas. Kebetulan ada teman yang ngajak ‘daftar S3 youk’ tanpa pikir panjang saya langsung setuju. Eh tahu-tahunya Organisasi kesenian, ya saya coba-coba saja”
       
        Harapan untuk lolos seleksi rasanya begitu kecil. Karena dari beberapa tes yang dilakukan panitia, Ma’rif bisa dikatakan tidak unggul dibidang apapun. Memang ia menyadari bahwa dirinya sama sekali tidak punya Bazic di bagian itu. Selama ini ia hanya sebagai penikmat kesenian, dan bukan pelaku kesenian. Tidak heran jika anak kedua dari pasangan bapak M.Nasir Dan Bu Hazami tersebut mengaku sangat terkejut, saat namanya tercantum diantara puluhan nama lainnya yang dinobatkan sebagai penerus generasi Organisasi Nomor wahid dikampusnya itu.
        Sejak saat itu Ma’rif semakin yakin untuk menggeluti dunia kesenian. Meski ia harus balapan dengan waktu dengan segudang aktifitasnya yang harus ia kerjakan selain berorganisasi. Pada awalnya Ma’rif sempat terlihat sangat terbeban. Tugas membantu orang tuanya berbelanja pada pagi hari dan menutup warung nasi usaha ibundanya pada malam hari, membuat Ma’rif sedikit kerepotan mengatur angka 1440 menit dalam sehari itu. Seiring berjalan beban itu sudah menjadi bagian dari keceriaan tersendiri bagi lelaki yang juga berpropesi sebagai penjual pulsa Elektrix All operator tersebut.
        Hingga saat ini lelaki kelahiran Tanjung Selamat 12 Desember 1991 itu, masih aktif di Organisasi yang sudah melambungkan nama IAIN AR-RANIRRY kebeberapa belahan penjuru dunia. Dan sudah dipercaya untuk membimbing adik-adik letingnya berdasarkan kemampuan ilmu kesenian yang sudah ia pelajari setahun lebih. Setidaknya Ma’rif sekarang sudah bisa membuktikan, bahwa ia bukanlah orang yang sekedar penikmat sebuah kesenian. Akan tetapi ia dapat menjadi pelaku atau yang menampilkan kesenian itu sendiri.
        Tersadar akan keberadaannya sekarang dikampus sudah menjejaki semester puncak, seperti membangunkan kembali Ma’rif dari mimpi lama yang ia idamkan. Yaitu menuntut ilmu di Negara lain. Beberapa waktu yang lalu aku sempat bertanya, Negara mana yang akan Ma’rif kunjungi? Dengan senyum simpul dia menjawab:
“Saya tertarik dengan Cina. selain karena ada dalam riwayat nabi, budaya dan prinsip hidup orang Cina inilah yang membuat saya penasaran”

Namun saat aku kembali bertanya apakah hasrat itu akan segera terpenuhi setelah Ma’rif lulus dari sini? Ia sempat terdiam, lalu tertawa kecil, sebelum menjawab:
“Soal itu akan dikondisikan, jika perlu saya akan ikut Kursus selama beberapa pertemuan, baru kemudian melanjutkan langkah kesana”

Yang jelas hasrat itu akan segera dipenuhinya, Ma’rif tidak ingin keceriannya kembali berkerut, dengan hal-hal yang telah menjadi masa lalu baginya.

Ma’rif tetaplah Ma’rif, ia tidak pernah  menjadi orang lain. Itulah sebabnya mengapa Ma’rif tidak memiliki nama panggilan khusus. Karena memang tidak ada yang cocok selain nama aslinya itu untuk dipanggil. Hanya keluarga besarnya yang sering memanggil Ma’rif dengan sebutan lain dan hanya satu sebutan yaitu Bang Adex. Itu dikarenakan dulunya, saat ia masih balita Ma’rif kecil sudah memiliki seorang adik. Dan ibundanya lah yang pertama memanggilnya dengan sebutuan itu.

Inilah sosok Ma’rif yang aku kenal sesungguhnya, sang pejuang tangguh dalam kehidupanya, mudah bangkit dari keterpurukan dan tidak pantang menyerah serta sangat bertanggung jawab. Aku selalu berharap keceriaan di wajah itu jangan pernah kusut lagi.

Warna Baru Dari Si Imut

0 komentar

Oleh : Satria Putra

Sreeek..!!
Seorang bocah kecil bertubuh tambun menarik kursi yang akan didudukinya. Tas ransel hitam yang sejak tadi nyenyak tidur dipunggungnya kini telah berada diatas meja, tepat didepan sang bocah itu duduk. Wajahnya terlihat kelelahan. Tampak beberapa butir keringat, mengalir dari kedua belah pipinya. Setelah sejenak duduk, ia meraih botol minuman sambil meneguknya sampai beberapa kali. Sebelum kembali duduk dengan rapi, tampa satu katapun terucap dari mulutnya.

Namanya Hafidz. Dia adalah seorang anak dari dosen yang membimbing mata kuliah “Tulisan Features”. Saya baru kali ini melihatnya. Karena pada pertemuan-pertemuan sebelumnya sang dosen yang sering kami jumpai, selalu saja tidak sedang bersama Hafihz. Kehadiran bocah ini sendiri kerap mengundang perhatian dari kawan-kawan se-unit. Tidak heran jika dirinya seolah-olah telah menghadirkan warna baru dalam pembelajaran kami hari itu.

Hafidz bukanlah artis terkenal atau siapalah yang kerap mudah menjadi sorotan publik. Dia juga bukan seorang malaikat yang tiba-tiba datang untuk memantau suasana pembelajaran kami hari itu. Sehingga membuat kami begitu semangat mengikuti proses pembelajaran. Dia hanya seorang anak kecil, yang mungkin tidak mengerti sama sekali tentang hal apa yang sedang kami bahas. Dia hanya duduk, diam dan terus diam sampai pembelajaran kami hari itu berakhir.

Disadari atau tidak, hari itu Hafidz telah menjadi objek. Puluhan mata memandangnya dengan berbagai macam argumentasi. Saya sendiri melihatnya sebagai sebuah teka-teki. Ya, teka-teki yang tidak saya dapati jawabannya sampai saat ini. Bagaimana tidak, dia layaknya seorang anak yang baru pulang dari sekolah. Bajunya berwarna putih yang berpasangan dengan celana coklat plus mengenakan sepatu hitam. Setahu saya jika seorang anak mengenakan baju putih dengan pasangan celana merah itu anak SD, baju putih celana biru tua SMP, baju putih celana biru muda SMA, baju orange celana coklat PRAMUKA. Nah, kalau baju putih celana coklat, sekolah dimana..? Hal itulah yang membuat saya sempat menerka-nerka dalam hati. Mungkin saja hafidz menempuh pendidikan di Sekolah Swasta, sehingga seragamnya sedikit berbeda layaknya anak sekolahan negri. Hanya itu jawaban sementara yang saya simpan didalam hati, menanti jawaban yang pasti menyapa walau entah sampai kapan.

Sekian banyak mata yang tak henti memandang, tidak membuat Hafidz salah tingkah. Dengan cueknya dia tetap duduk dengan tenang sambil memotong-motong sepenggal kertas buram dengan tangannya. Sehingga terlihat menjadi bagian-bagian yang kecil. Sesekali ia meremas-remas kertas yang telah menjadi potongan kecil itu dengan kedua tangannya, Sebelum ia serakkan lagi keatas meja.

Walau Hafidz hanya seorang bocah kecil yang imut, namun bagi saya dia telah memberi warna baru. Bukan karena warna baju dan celananya yang berbeda, akan tetapi lebih dari itu kehadirannya membawa sejuta warna yang tidak pernah saya lihat.

Kau Adalah Namamu

0 komentar

Oleh : Satria Putra

Seperti malam-malam biasanya pria itu telah duduk dengan sigap, di depan meja kecil yang telah penuh oleh tumpukan lembaran-lembaran tebal. Suara iringan musik melayu kesukaannya melengking sepanjang malam, menemani tarian jari-jari pria itu diatas keyboard komputernya. Seperti enggan lelah, jari-jari kecil itu terus meloncat, menginjak huruf-huruf penanda yang terlihat mulai pudar. Sampai akhirnya alarm saat ia beristirahat berbunyi, setelah jarum panjang arjoli berputar sampai beberapa kali dan kini menunjuk kearah angka empat. Begitulah pria bertubuh jangkung itu selalu menghabiskan malamnya.

Pria itu bernama Satria. Sejak satu tahun lalu dia bekerja pada sebuah Cv yang aktif sebagai perusahaan pengadaan barang dan jasa. Berbeda dengan karyawan lain, ia kerap menyelesaikan tugas kerjanya pada malam hari. Karena pada siang harinya ia harus menjalani aktivitas kampus. Disaat rekan kerja meninggalkan Satria untuk pulang ketempat tinggal masing-masing, justru tidak membuat semangatnya pudar. Ia terus menyelesaikan tugas demi tugas secara pelan-pelan, hingga nanti waktu yang telah ia atur untuk beristirahat menyapanya.

Satu setengah tahun yang lalu, satria harus rela tersisih dari kawan-kawan kampusnya. Niat tulus untuk terus melanjutkan kuliah, tidak mendapat dukungan manis dari ekonomi keluarganya yang tergolong pas-pasan. Saat itu juga ia memutuskan untuk berhenti kuliah sejenak dan terus terjun kedunia kerja. Syukurnya ketika itu dia langsung diterima pada sebuah perusahaan terkenal yang mengontrak pembangunan drainase Kota Banda Aceh. Satria bersama 30 pekerja lainnya ditempatkan sebagai pekerja lapangan, yang bertugas mengumpulkan bahan material kedalam satu paket untuk nantinya dicetak menjadi sebuah precase (saluran air siap dipasang).

Tepat empat bulan setelah ia bekerja pada perusahaan tersebut, diketahui satria tidak sadarkan selama dua hari. Rekan kerjanya menyebutkan, satria terlampau semangat untuk bekerja. Bahkan saat-saat istirahat pun ia lupakan, sebagai trik mengejar target. Sampai akhirnya suatu hari ia roboh diatas tumpukan pasir menggunung dibawah cengiran sang mentari.

“satria harus beristirahat selama enam bulan dan dia tidak bisa bekerja dibawah sinar matahari lebih dari dua jam” begitulah pesan sang dokter kepada orang tuanya sejenak sebelum membawa satria pulang kerumah.

Semenjak kejadian itu, satria tidak lagi bekerja. Barang-barangya pun sudah diantar oleh rekan-rekan kerja ketika menjenguk satria sakit. Setelah baikan ia bertekat untuk kembali berkuliah, dengan catatan harus memiliki kerja sampingan sebagai penompang hidupnya. Satria pun menyelesaikan administrasi kampus, dan mengubah status diri dari mahasiswa nonaktif menjadi aktif kembali.

Keyakinan diri satria bertambah ketika dia diterima bekerja disebuah Cv, yang siap menerimanya walau masih seorang mahasiswa. Pimpinan perusahaan menetapkan satria sebagai pekerja dimalam hari, sambil menjaga pelanggan yang sedang melakukan browsing internet.

Pria bertubuh tinggi kurus itu mulai berkuliah kembali. Kawan-kawan menerimanya dengan hangat. Setiap mata kuliah dia ikuti dengan penuh keiklasan. Saat jam kuliah berakhir, ia selalu berusaha meluangkan waktunya untuk saling berdiskusi bersama teman-teman tentang keadaan mereka masing-masing. Dia sosok penghibur, selalu bersemangat dan sangat percaya diri, begitulah teman-temannya menjelaskan tentang diri satria.

Satria memiliki beragam hobi, namun yang terus melekat adalah mengarang dan menulis puisi. Banyak puisi-puisinya dipersembahkan untuk kawan-kawan tercinta. Sampai akhirnya mereka menganjurkan agar satria mengirim puisi-puisinya itu kesebuah redaksi koran dan majalah lokal di aceh. Ia pun menerima usulan kawan-kawannya dengan baik, dan mulai giat berlatih hingga menghasilkan karya beberapa karya.

Ia juga hampir setiap minggunya mengirim hasil karya puisi yang ia karang sendiri ke redaksi koran-koran lokal. Namun sayang puluhan karya yang telah ia kirim, hanya pernah terbit sekali. Itu juga mengalami kesalahan redaksi yang menggabungkan karyanya dengan karya orang lain. Teman-teman yang menyadari hal itu senantiasa memberi dukungan moral untuk satria, agar tidak pernah lelah berkarya. Mereka percaya dan selalu meyakini satria bahwa suatu saat nanti karyanya akan di cari orang.

Satria pun meng-aminin perkatakaan kawan-kawannya itu. Walau mungkin ia hanya menganggapnya sekedar lelucon. Ia juga sudah bertekad dalam hati untuk terus berusaha dan mengasah kemampuannya. Seperti halnya membandingkan karyanya dengan karya orang lain yang sering terbit. Satria mencoba untuk tidak pernah berputus asa, walau kadangkala puisinya yang ia anggap bagus, namun tidak urung terbit.

Hidupnya telah terorganisir dengan motto yang ia tanamkan sejak pertama masuk kuliah.
“The Best Life Is Never Complain. If Other Can, Why I Can’t”  begitu kira-kira bunyinya. Dan sejak itu juga, ia terus menjalani hidup dengan keadaan yang terus ia syukuri. Mencoba tetap tegar dan tidak mengeluh , walau seberat apapun batu masalah yang ia pikul. Dia tidak banyak bercerita tentang dirinya pada manusia. Satria hanya berkeluh kesah dan bercerita panjang lebar kepada tuhan semata wayangnya Allah Azzawajalla disetiap sujudnya. Dia seperti namanya, Satria.