Ditulis oleh: Puspaningtyas Panglipurjati
-Prosa-
-Puisi-
-Prosa-
In Absentia
Kesepian adalah keramaian yang memilih untuk diam. Kesendirian adalah kebersamaan yang belum sampai. Dan, ketidakhadiran adalah keberadaan yang masih dipesan.
Begitu saja sejatinya. Kesepian dan keramaian, kesendirian dan kebersamaan, ketidakhadiran dan keberadaan, hanya sedang menunggu untuk saling menggantikan. Pada detik yang menguap begitu saja seperti asap, pada menit yang bagai pasir pesisir mudah terbang dan seketika menjelma bayang, pada jam yang serupa lalat tak begitu saja mudah masuk pukat, pada hari yang sebagaimana pencuri mengendap-endap di dini hari –kita tengah berada di ruang tunggu. Menyesap waktu adalah satu-satunya pilihan, kemungkinan tunggal.
Seperti ungkapan pada sebuah tayangan layar lebar, “Betapa nilai seseorang sangat terasa, justru ketika ia tiada.” Benar. Ketiadaan menjadi pengingat akan apa yang sering terabaikan saat kita dibuai kata dekat. Tentang bagaimana sahabatmu memberikan tisu saat kau tak bisa menahan bulir air matamu, tentang bagaimana kekasihmu atau bekas kekasihmu menengok kepadamu dan menatap matamu saat berdua menunggu lampu merah, tentang bagaimana ibumu membangunkanmu di pagi hari agar kau tidak terlambat beraktifitas, tentang bagaimana ayahmu mengingatkanmu untuk tidak pulang terlalu malam demi keamananmu, tentang bagaimana kakakmu, adikmu, nenekmu, kakekmu tersenyum kepadamu dan tentang bagaimana siapapun mengucapkan salam bagimu. Akankah kau mengingatnya dan menemukan artinya ketika mereka berada bersamamu? Hampir pasti tidak.
Dan seperti tong yang berbunyi nyaring saat kosong –hatimu, jiwamu, pikiranmu akan merdu menyanyi saat sunyi. Kekosongan dan kesunyian akan menghantarkanmu kepada malam-malam penuh kualitas. Saat di mana selembar tulisan terlahir dari rahim imajinasimu, saat di mana sebuah pesan kau kirim dari kotak ingatanmu, saat di mana bertetes-tetes air mata mengalir dari kantung rindumu, juga saat sebait doa tersampaikan dari rumah ketidaktahuanmu.
Ketika itulah kau tak lebih dari kelinci percobaan seorang ilmuwan yang menjadikan kesabaran sebagai sasaran.Seandainya kau adalah mekanik mesin waktu, mungkin waktu sudah kau rekayasa hingga bisa saja kau berpindah dari satu moment ke moment lain sesukamu, tanpa harus mengakrabi kewajiban menunggu. Tetapi nyatanya kewajiban lain lah yang menunggumu, bahwa kau harus tunduk pada pilihan yang kau buat sendiri. Ya, untuk dan akibat pilihan itulah, kini kau harus berpisah. Dengan siapapun dan apapun yang semula begitu tak berjarak darimu.
Tapi tenanglah, selain Tuhan, waktu juga Maha Tahu. Ia tahu betul kapan harus berlari sekencang atlet olimpiade, tahu betul kapan harus berjalan berlenggak-lenggok layaknya peragawati, atau kapan ia cukup menjadi arca yang diam namun bercerita. Nantinya, hanya waktu juga yang tahu kapan harus menghadiahimu sebuah perjumpaan yang telah kau tunggu-tunggu, sebagai apresiasi atas kesungguhanmu bersetia akan pilihanmu. Namun ingat, perjumpaan adalah rindu yang tertunda, begitu juga sebaliknya. Maka, seperti kesepian dan keramaian, kesendirian dan kebersamaan, ketidakhadiran dan keberadaan, keduanya juga akan saling menggantikan.
-Puisi-
Satu malam; saat penyair kehilangan kalam
Selamat malam.
Diam. Cukupkan saja percakapan itu di tengah gulita yang gempita. Pada malam yang pelukannya tak sehangat dulu. Pada bintang yang bosan dipuisikan.
Bisu. Sudahi saja perbincangan itu di antara keheningan yang mengerikan. Pada dingin yang gandengannya tak seerat dulu. Pada bulan yang enggan dituliskan. Satu malam. Di mana degupnya mulai meredup. Dan penyair tidak ingin lagi menyair.
Tak lain karena ia rindu. Rindu pada siapa yang melahirkan rima dari rahimnya. Rindu pada apa yang menciptakan kata dari semestanya.
Puisi, hanya akan menambah beban rindunya
dan menuliskannya, akan menjadi tanggungan berat di pundaknya.
Ketika itulah, satu malam, saat penyair kehilangan kalam.
Maka, jangan sekali-sekali kau bertanya tentang apa yang akan terucap dari bibirnya yang biru. Jangan juga coba-coba kau tunggu tentang apa yang akan tertuliskan dari tintanya yang tak kalah biru. Karena penyair ini sedang menggigil kedinginan menahan rindu.
-Puisi-
Perjumpaan di antara Tuhan
Kerna jiwa yang liar belum temukan rumahnya, terbang saja ia dan singgah sebentar pada hati yang nestapa
Engkau kah jiwa itu?
Dan aku hati yang nestapa?
Sembari ku tatapi bulan gundah, ku tembangkan kegamangan padamu,
Tidakkah kau dengar itu?
Tuhan, di mana Tuhan?
Yang tidak pernah selesai berteka-teki
Oh,Tuhan yang tak biarkanku mencuri dengar, pulangkanlah padaku jiwa yang liar!
waqh mas...susah saya bacanya
BalasHapus