S.W.A.T. berarti Special Weapons and Tactics. Jurnalistik, menurut Ensiklopedi
Indonesia adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi
tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan
menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.
Nah,
mungkin pembaca bingung mengapa dua hal yang berbeda ini, saya sajikan dalam
tulisan di kesempatan kali ini. Tulisan ini terinspirasi setelah saya menonton
ulang film S.W.A.T. Filmnya bagus, alur cerita menarik dan banyak adegan
tembak-tembakkan. Namun, bukan persoalan film action-nya yang akan
saya kupas. Tapi saya akan coba membuktikan betapa penting jurnalistik dalam
penerapannya di kehidupan sehari-hari.
Sebelum saya masuk ke penjabaran yang lebih dalam, film ini diawali dari aksi
perampokan di bank. Anggota S.W.A.T., Brian Gamble (Jeremy Renner) terpaksa
menembak sandera untuk melumpuhkan penyanderanya. Sesuai dengan aturan S.W.A.T.
Gamble dianggap bersalah dan dikeluarkan dari S.W.A.T., dan kepolisian LA.
Sementara partnernya, Jim Street (Colin Farrell) hanya dipindahkan ke bagian
gudang.
Konflik antarpartner menjadi salah satu yang ditawarkan S.W.A.T.Wajar
kalau penonton bisa menebak kehadiran kembali Gamble untuk balas dendam.
Selanjutnya, muncul "Hondo" Harrelson (Samuel L. Jackson), anggota
SWAT senior yang ditugasi membentuk tim baru. Ada Jim Street yang pernah di-blacklist.
Lalu Chris Sanchez (Michelle Rodriguez), polisi wanita yang sudah tiga kali
ditolak masuk S.W.A.T. Pilihan anggota wanita ini memang agak mengada-ada.
Sebab, di sepanjang sejarahnya S.W.A.T. tak pernah mencatat satu pun anggota
perempuan. Selanjutnya, ada Deacon "Deke" Kay (rapper LL Cool J),
polisi hitam yang lebih sering membuat kekacauan. Hanya TJ McCabe (Josh
Charles) dan Michael Boxer (Brian van Holt) yang berkenan di hati Fuller.
Pembuat film berusaha menaikkan tempo ketegangan. Tim S.W.A.T. Hondo
ditugasi mengawal Alex Montel (Oliver Martinez). Si penjahat internasional
ini melontarkan tawaran US$ 100 juta bagi siapa pun yang bisa membebaskannya
dari kawalan S.W.A.T. Sekali lagi, bisa ditebak. Para penjahat geger
karena tergiur. Tim S.W.A.T. kelimpungan menghadapi berbagai upaya
membebaskan Montel.”
Bagian
yang saya beri warna merah, merupakan kunci untuk menghubungkan S.W.A.T dan
jurnalistik. Jika para pembaca pernah menonton film ini, maka selesainya si
penjahat melontarkan tawaran US$ 100 juta untuk kebebasan dirinya,
media massa langsung serentak memberitakan kejadian ini. Inilah poin penting
yang akan saya jelaskan. Hemat saya, media massa tidak boleh menyiarkan begitu
saja. Karena, seperti yang kita semua ketahui, penciptaan opini publik didukung
oleh salah satu faktor, yaitu pemberitaan oleh jurnalis / media massa.
Akibatnya, fatal. Tidak hanya memberi informasi bahwa si penjahat,Alex
Montel, sudah tertangkap tapi juga memberi informasi bagi para penjahat
lain untuk membebaskan dirinya.
Memang kejadian ini, saya ambil
dari film. Tapi, kesalahan yang mirip seperti ini mungkin terjadi di dunia
nyata. Menurut Bill Kovaach, Committee of Concerned Journalist, “Makin
bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu juga informasi yang
didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang
dibuat.”
Jadi, poin yang ingin saya
sampaikan adalah bahwa media massa dalam praktik jurnalistik harus hati-hati.
Apa yang disampaikkan ke masyarakat belum tentu memiliki respon serupa yang
diinginkan oleh si penulis. Pada kasus di film ini, bukannya menjadi info yang
berguna tapi malah memperkeruh situasi. Contoh lain, namun nyata dan yang
pernah terjadi di Indonesia, mungkin saat terjadinya letusan Gunung Merapi.
TvOne, sepengetahuan saya, dilarang untuk meliput karena pemberitaan ke publik
sangat berlebihan. Pelarangan itu datang karena mereka dianggap menciptakan
ketakutan.
Dari buku “A9ama Saya Adalah
Jurnalisme”, karangan Andreas Harsono, dalam bisnis media ada sebuah segitiga
yang mewakili tiga siku. Siku pertama adalah pembaca atau pendengar. Siku
kedua adalahpemasang iklan. Dan, siku terakhir adalah masyarakat. Mungkin
terdengar klise antara pembaca atau pendengar dengan masyarakat. Sekilas sama,
tapi berbeda. Perbedaanya terletak pada kepentingan. Dalam media massa, jika
lebih mengarah pada siku pertama, maka pemberitaan akan lebih pada apa yang
ingin mereka dengar. Tapi dalam siku ketiga, pemberitaan akan lebih berat dalam
apa yang penting bagi masyarakat.
Ingat! Salah satu dari sembilan
elemen jurnalisme adalah berpihak pada masyarakat. Apabila kita kembali ke
film, maka pemberitaan tertangkapnya si penjahat bukan pemihakan pada publik,
melainkan pemihakkan pada pendengar atau pembaca.
Akhir kata, segala masalah yang
terjadi di dunia ini merupakan masalah komunikasi dan cara menyelesaikan
masalah itu juga harus melaluiKOMUNIKASI.
Silvanus Alvin, Jurnalistik 2009
Daftar Pustaka:
A9ama Saya Adalah Jurnalisme.
Harsono, Andrea. Kanisius. 2010
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar