Oleh : Satria Putra
Seperti malam-malam biasanya pria itu telah duduk dengan
sigap, di depan meja kecil yang telah penuh oleh tumpukan lembaran-lembaran
tebal. Suara iringan musik melayu kesukaannya melengking sepanjang malam,
menemani tarian jari-jari pria itu diatas keyboard komputernya. Seperti enggan
lelah, jari-jari kecil itu terus meloncat, menginjak huruf-huruf penanda yang
terlihat mulai pudar. Sampai akhirnya alarm saat ia beristirahat berbunyi,
setelah jarum panjang arjoli berputar sampai beberapa kali dan kini menunjuk
kearah angka empat. Begitulah pria bertubuh jangkung itu selalu menghabiskan
malamnya.
Pria itu bernama Satria. Sejak satu tahun lalu dia bekerja
pada sebuah Cv yang aktif sebagai perusahaan pengadaan barang dan jasa. Berbeda
dengan karyawan lain, ia kerap menyelesaikan tugas kerjanya pada malam hari.
Karena pada siang harinya ia harus menjalani aktivitas kampus. Disaat rekan
kerja meninggalkan Satria untuk pulang ketempat tinggal masing-masing, justru
tidak membuat semangatnya pudar. Ia terus menyelesaikan tugas demi tugas secara
pelan-pelan, hingga nanti waktu yang telah ia atur untuk beristirahat menyapanya.
Satu setengah tahun yang lalu, satria harus rela tersisih
dari kawan-kawan kampusnya. Niat tulus untuk terus melanjutkan kuliah, tidak
mendapat dukungan manis dari ekonomi keluarganya yang tergolong pas-pasan. Saat
itu juga ia memutuskan untuk berhenti kuliah sejenak dan terus terjun kedunia
kerja. Syukurnya ketika itu dia langsung diterima pada sebuah perusahaan
terkenal yang mengontrak pembangunan drainase Kota Banda Aceh. Satria bersama
30 pekerja lainnya ditempatkan sebagai pekerja lapangan, yang bertugas
mengumpulkan bahan material kedalam satu paket untuk nantinya dicetak menjadi
sebuah precase (saluran air siap dipasang).
Tepat empat bulan setelah ia bekerja pada perusahaan tersebut,
diketahui satria tidak sadarkan selama dua hari. Rekan kerjanya menyebutkan,
satria terlampau semangat untuk bekerja. Bahkan saat-saat istirahat pun ia
lupakan, sebagai trik mengejar target. Sampai akhirnya suatu hari ia roboh
diatas tumpukan pasir menggunung dibawah cengiran sang mentari.
“satria harus beristirahat selama enam bulan dan dia tidak
bisa bekerja dibawah sinar matahari lebih dari dua jam” begitulah pesan sang
dokter kepada orang tuanya sejenak sebelum membawa satria pulang kerumah.
Semenjak kejadian itu, satria tidak lagi bekerja. Barang-barangya
pun sudah diantar oleh rekan-rekan kerja ketika menjenguk satria sakit. Setelah
baikan ia bertekat untuk kembali berkuliah, dengan catatan harus memiliki kerja
sampingan sebagai penompang hidupnya. Satria pun menyelesaikan administrasi
kampus, dan mengubah status diri dari mahasiswa nonaktif menjadi aktif kembali.
Keyakinan diri satria bertambah ketika dia diterima bekerja
disebuah Cv, yang siap menerimanya walau masih seorang mahasiswa. Pimpinan perusahaan
menetapkan satria sebagai pekerja dimalam hari, sambil menjaga pelanggan yang
sedang melakukan browsing internet.
Pria bertubuh tinggi kurus itu mulai berkuliah kembali.
Kawan-kawan menerimanya dengan hangat. Setiap mata kuliah dia ikuti dengan
penuh keiklasan. Saat jam kuliah berakhir, ia selalu berusaha meluangkan
waktunya untuk saling berdiskusi bersama teman-teman tentang keadaan mereka
masing-masing. Dia sosok penghibur, selalu bersemangat dan sangat percaya diri,
begitulah teman-temannya menjelaskan tentang diri satria.
Satria memiliki beragam hobi, namun yang terus melekat
adalah mengarang dan menulis puisi. Banyak puisi-puisinya dipersembahkan untuk
kawan-kawan tercinta. Sampai akhirnya mereka menganjurkan agar satria mengirim
puisi-puisinya itu kesebuah redaksi koran dan majalah lokal di aceh. Ia pun
menerima usulan kawan-kawannya dengan baik, dan mulai giat berlatih hingga
menghasilkan karya beberapa karya.
Ia juga hampir setiap minggunya mengirim hasil karya puisi
yang ia karang sendiri ke redaksi koran-koran lokal. Namun sayang puluhan karya
yang telah ia kirim, hanya pernah terbit sekali. Itu juga mengalami kesalahan
redaksi yang menggabungkan karyanya dengan karya orang lain. Teman-teman yang
menyadari hal itu senantiasa memberi dukungan moral untuk satria, agar tidak
pernah lelah berkarya. Mereka percaya dan selalu meyakini satria bahwa suatu
saat nanti karyanya akan di cari orang.
Satria pun meng-aminin perkatakaan kawan-kawannya itu. Walau
mungkin ia hanya menganggapnya sekedar lelucon. Ia juga sudah bertekad dalam
hati untuk terus berusaha dan mengasah kemampuannya. Seperti halnya
membandingkan karyanya dengan karya orang lain yang sering terbit. Satria
mencoba untuk tidak pernah berputus asa, walau kadangkala puisinya yang ia anggap
bagus, namun tidak urung terbit.
Hidupnya telah terorganisir dengan motto yang ia tanamkan
sejak pertama masuk kuliah.
“The Best Life Is Never Complain. If Other Can, Why I
Can’t” begitu kira-kira bunyinya. Dan
sejak itu juga, ia terus menjalani hidup dengan keadaan yang terus ia syukuri. Mencoba
tetap tegar dan tidak mengeluh , walau seberat apapun batu masalah yang ia
pikul. Dia tidak banyak bercerita tentang
dirinya pada manusia. Satria hanya berkeluh kesah dan bercerita
panjang lebar kepada tuhan semata wayangnya Allah Azzawajalla disetiap
sujudnya. Dia seperti namanya, Satria.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar