Oleh : Satria Putra
Sreeek..!!
Seorang bocah kecil bertubuh tambun menarik kursi yang akan didudukinya. Tas ransel hitam yang sejak tadi nyenyak tidur dipunggungnya kini telah berada diatas meja, tepat didepan sang bocah itu duduk. Wajahnya terlihat kelelahan. Tampak beberapa butir keringat, mengalir dari kedua belah pipinya. Setelah sejenak duduk, ia meraih botol minuman sambil meneguknya sampai beberapa kali. Sebelum kembali duduk dengan rapi, tampa satu katapun terucap dari mulutnya.
Seorang bocah kecil bertubuh tambun menarik kursi yang akan didudukinya. Tas ransel hitam yang sejak tadi nyenyak tidur dipunggungnya kini telah berada diatas meja, tepat didepan sang bocah itu duduk. Wajahnya terlihat kelelahan. Tampak beberapa butir keringat, mengalir dari kedua belah pipinya. Setelah sejenak duduk, ia meraih botol minuman sambil meneguknya sampai beberapa kali. Sebelum kembali duduk dengan rapi, tampa satu katapun terucap dari mulutnya.
Namanya
Hafidz. Dia adalah seorang anak dari dosen yang membimbing mata kuliah “Tulisan
Features”. Saya baru kali ini melihatnya. Karena pada pertemuan-pertemuan
sebelumnya sang dosen yang sering kami jumpai, selalu saja tidak sedang bersama
Hafihz. Kehadiran bocah ini sendiri kerap mengundang perhatian dari kawan-kawan
se-unit. Tidak heran jika dirinya seolah-olah telah menghadirkan warna baru
dalam pembelajaran kami hari itu.
Hafidz
bukanlah artis terkenal atau siapalah yang kerap mudah menjadi sorotan publik.
Dia juga bukan seorang malaikat yang tiba-tiba datang untuk memantau suasana
pembelajaran kami hari itu. Sehingga membuat kami begitu semangat mengikuti
proses pembelajaran. Dia hanya seorang anak kecil, yang mungkin tidak mengerti
sama sekali tentang hal apa yang sedang kami bahas. Dia hanya duduk, diam dan
terus diam sampai pembelajaran kami hari itu berakhir.
Disadari
atau tidak, hari itu Hafidz telah menjadi objek. Puluhan mata memandangnya
dengan berbagai macam argumentasi. Saya sendiri melihatnya sebagai sebuah
teka-teki. Ya, teka-teki yang tidak saya dapati jawabannya sampai saat ini. Bagaimana
tidak, dia layaknya seorang anak yang baru pulang dari sekolah. Bajunya
berwarna putih yang berpasangan dengan celana coklat plus mengenakan sepatu
hitam. Setahu saya jika seorang anak mengenakan baju putih dengan pasangan
celana merah itu anak SD, baju putih celana biru tua SMP, baju putih celana
biru muda SMA, baju orange celana coklat PRAMUKA. Nah, kalau baju putih celana
coklat, sekolah dimana..? Hal itulah yang membuat saya sempat menerka-nerka
dalam hati. Mungkin saja hafidz menempuh pendidikan di Sekolah Swasta, sehingga
seragamnya sedikit berbeda layaknya anak sekolahan negri. Hanya itu jawaban
sementara yang saya simpan didalam hati, menanti jawaban yang pasti menyapa
walau entah sampai kapan.
Sekian
banyak mata yang tak henti memandang, tidak membuat Hafidz salah tingkah.
Dengan cueknya dia tetap duduk dengan tenang sambil memotong-motong sepenggal
kertas buram dengan tangannya. Sehingga terlihat menjadi bagian-bagian yang
kecil. Sesekali ia meremas-remas kertas yang telah menjadi potongan kecil itu
dengan kedua tangannya, Sebelum ia serakkan lagi keatas meja.
Walau
Hafidz hanya seorang bocah kecil yang imut, namun bagi saya dia telah memberi
warna baru. Bukan karena warna baju dan celananya yang berbeda, akan tetapi
lebih dari itu kehadirannya membawa sejuta warna yang tidak pernah saya lihat.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar