Kalo Indah Mengapa Harus Sakid

0 komentar
Hari itu hujan turun begitu deras. tidak ada yang dapat menghalangi kegirangannya bersama angin. iya angin sejak pagi terus saja mengajak hujan menari, bersama kertas kusam yang kuyup.
Aku duduk disebuah halte dekat dengan masjid tempat aku melaksanakan shalat zuhur tadi. sendiri, tidak ada seorang pun yang menemani. hanya percikan air dari sang angin yang mengajakku menari dan menari. mungkin dia mencoba mehiburku, yang bengong sejak hujan belum turun. tapi tetap saja aku tidak terusik dengan semua itu. aku tidak sadar entah berapa lama aku duduk dihalte samping jalan itu. tanganku menggenggam erat selembar kertas yang tulisannya mirip cakar ayam "Kalo Indah Mengapa Harus Sakid" itu kalimat yang tertulis, di lembaran yang sudah kusut dan basah. itu kalimat yang aku tulis sendiri. rasanya aku sudah bosan menyiksa kertas ini, dan aku berfikir untuk membuangnya. puas, itu rasanya. saat kertas itu tidak ada lagi dalam genggamanku.

Dari kejauhan terlihat seorang lelaki berusia senja menuju kearahku, saat bersua dengannya aku hanya mengumbar senyum kecil. Anehnya dia tidak mau duduk,meski hujan deras ia memilih untuk tetap berdiri didepanku. aku pun terpaksa berdiri karena gak enakan. awalnya aku tidak sadar apa yang dia lakukan, sambil menatap kebawah dan kaki kanannya menggosok2 lantai. pas berdiri aku baru terkejut, ternyata ia sedang berusaha membaca tulisan dikertas yang aku buang tadi. memang aku hanya tenang2 saja, karena aku yakin orang setua dia mana mungkin bisa baca tulisan yang udah hancur. tapi perasaan tidak enak tetap berpratroli di pikiranku.
"yang indah itu tetap akan indah, yang sakit itu tetap sakit. tidak pernah indah berubah menjadi sakit" lelaki berkopiah kusam itu kini bersuara. Bersuara lantang yang jelas mengagetkanku. ia kemudian memilih duduk, aku juga menyusulnya. karena males banget berdiri, pegel lama-lama. aku tidak menyangka ternyata dia membaca itu. yang justru membuat aku bingung mengapa seolah-olah dia tau kalo tulisan dikertas itu milikku. akhirnya binggungku itu kusampaikan padanya.


"Maksudnya gimana tu kek?" tanyaku tanpa merasa bersalah.


Iya tidak menjawab, lalu kembali berdiri dan berjalan kedepan. Tangannya dilambaikan kearah sebuah angkutan yang hendak melintas. Angkutan itu pun berdiri melewatinya 1 meter, kemudian si lelaki tua itu menatap kearahku yang masih bengong.


"Coba tanamkan sebiji tumbuhan apa saja, lalu biarkan ia tumbuh dan sampai mati. Mungkin kamu akan dapat sesuatu darinya"


kalimat itu mengakhiri percakapan kami. Pertemuan singkat yang membuat aku bertambah risau. Namun dari Kerisauanku aku berfikir untuk melakukan apa yang dikatakan sang kakek. gak da salahnya kalo aku coba. Hari itu juga aku menanam sebatang bunga dipinggir kamarku. sebatang bunga dahlia itu kini telah mekar, dan sangat indah. aku ridak tau kapan berakhir keindahannya itu. dan aku masih menunggu jawaban dari sang bunga untuk mengetahui maksud sikakek.

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar