KECERIAAN ITU JANGAN KUSUT LAGI

0 komentar

Written By : Satria Putra



Malam mulai bungkuk kearah Fajar. Nyanyian jangkrik kalah suara, dengan dentuman musik Pop yang aku putar dicomputer operator. Para pelanggan jasa Internet sudah mulai sepi sejak pukul 01 lebih sedikit. Hanya tinggal beberapa mata saja yang belum lelah menatap monitor beaneka warna itu. Disudut ruangan terlihat seorang lelaki yang duduk dalam sebuah bilik kecil berukuran 1x1 meter, tepat didepan tangga  menuju lantai 2 ruangan itu. Dengan mata yang mulai layu sang lelaki tetap berusaha membelalak kearah tulisan-tulisan yang terpampang didepannya. Walau kantuk yang bergelantungan di ujung kulit matanya, membuat ia harus siap beberapa kali terangguk kecil. Namun ia berusaha cepat sadar dan membenarkan kembali duduknya.

Tangan kanan lelaki itu, asyik memencet-mencet remot berekor yang bentuknya seperti telur dibelah dua. Tapi bedanya, remote ini memiliki lampu yang berkedip-kedip. Sedangkan tangan yang satunya lagi sibuk melakukan patroli diseputaran jidad, kadang turun kedagu. Pernah juga sesekali naik keatas untuk membajak kepalanya yang mungkin gatal. Lelaki berkulit terang itu adalah Ma’rif Maulidi Chamis. Teman MA-ku dulu. Sejak aku mengenalnya enam tahun lalu, tidak pernah terdengar nama panggilan khusus. Kecuali nama aslinya, yaitu Ma’rif. Nanti kujelaskan mengapa bisa demikian.

Ma’rif sudah datang ketempat kerjaku sejak jarum pendek pada jam masih menunjuk kearah angka  sembilan. Dengan maksud untuk menyelesaikan tugas makalah, salah satu mata kuliah yang diberikan oleh Dosen dikampusnya. Keinginannya untuk bergelut dengan kyboard lebih awal, harus terhenti saat aku mengatakan bahwa semua room sudah terisi. Ma’rif pun harus rela menunggu dibangku teras depan bersama salah satu anggota kelompok makalahnya. Dan baru bisa menuntaskan niatnya setelah putaran jam bergulir 2 kali 60 menit. Meski harus menunggu lama wajahnya tetap saja terlihat ceria. Tidak heran hampir dua karung obrolan hangat tersantap bersama sang teman, diselingi tawa yang terbahak khasnya itu. Sebelum aku memanggilnya, untuk segera mengambil alih menahkodai computer yang berada pada bilik paling sudut bertulisan No.7.

Ma’rif memang hampir selalu terlihat ceria. Itulah salah satu kelebihan lelaki pemilik rambut bergelombang itu. Mudah berbaur dengan teman-teman, dan bisa mengkondisikan diri dengan suasana yang dibawa oleh teman-temannya. Namun bukan berarti Ma’rif dengan begitu saja mudah terpengaruh. Walau ia adalah pemuda yang ramah dan mudah bersahabat, Ma’rif tetap menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik atau harus dihindari. Tanpa harus membuat teman-temannya tersinggung. Sifat itu sudah lama tertanam dalam jiwa Ma’rif dan masih bertahan sampai sekarang.

Tidak heran saat ia menginjakkan kaki ditanah Jantho untuk melanjutkan sekolah tingkat SMAnya, belum ada satu orangpun yang menyadari bahwa Ma’rif saat itu sudah menjejaki sekolah pada kelas sepuluh. Selain posturnya yang terbilang mungil dan sifat enjoy nya yang tidak peduli meski harus berteman dengan anak-anak yang baru tamat Sekolah Dasar, membuat banyak yang mengira bahwa Ma’rif Maulidil Chamis saat itu adalah santri baru kelas satu MtsN. Sampai proses belajar-mengajar di pondok pesantren Al-Fauzul Kabir berjalan normal, barulah orang-orang terperangah saat Ma’rif masuk ke kelas tempat belajar siswa MA.

Sebenarnya melanjutkan sekolah di penjara suci yang menjadi urat nadi ibu kota Aceh Besar itu, bukanlah keinginan Ma’rif seratus persen. Meski beberapa bulan sebelumnya sudah pernah mengunjungi pondok pesantren yang berbasis terpadu tersebut, ketika masih dalam tahap pembangunan. Salah satu alas an Ma’rif adalah karena terlalu jauh dari tempat tinggalnya di Darusalam. Namun atas dasar saran orang tuanya, akhirnya ia berjodoh dengan Pondok Pesantren yang sering disebut Al-faka itu. Kebetulan adik kandung Ma’rif juga ingin bersekolah disana, dan orang tuanya sangat berharap agar Ma’rif dapat menjadi pembimbing adiknya kelak.

Kecerian Ma’rif sempat pudar tiga tahun lalu. Keputusannya untuk melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi harus dibayang-bayangi dengan rasa bimbang. Saat itu Ma’rif bersama rekan-rekannya, begitu berhasrat untuk melanjutkan kuliah keluar negeri. Tawaran pendidikan gratis dari berbagai Universitas terkenal pun, tak henti-hentinya menggoda. Menyadari hal itu adalah kesempatan emas baginya, Ma’rif lantas melaporkan keinginannya itu kepada sang ibu. Awalnya anak kedua dari empat bersaudara ini begitu yakin, bahwa ibunda tercinta akan mengabulkan kenginannya tersebut. Apalagi saat ia menyampaikan hasatnya itu, ibundanya terlihat sangat senang.

Ibu mana yang tidak bangga melihat anaknya bersekolah di luar negeri. Apalagi biaya pendidikan yang tidak ditanggung sendiri, tentunya sangat membantu sekali. Ibunda Ma’rif sendiri sebenarnya sangat ingin anaknya bisa seperti anak-anak tetangga yang lain. Yakni dapat menuntut ilmu dinegeri orang, yang pastinya akan membawa harum nama keluarga.

Kaget bercampur haru, itulah yang dirasakan Ma’rif Maulidil Chamis, setelah mendengarkan penuturan dari ibunya. Namun tidak bisa dimungkiri jika hasratnya itu harus tertunda. Pasalnya, meski bangga akan cita-cita sang buah hati, rasa berat untuk melepas Ma’rif pergi juga terlihat jelas di mata Ibundanya. Cerita lama yang sudah berulang kali didengar  dari ibunya kembail terdengar hari itu. Dan menjadi alasan berat bagi Ma’rif untuk meluruskan niatnya yang sudah terencanakan jauh-jauh hari.

Ya, cerita tentang seorang yang taat dan sholeh hidup bahagia di perantauan. Sampai lelaki sholeh itu meninggal, tak ada seorang pun yang merasa hatinya tergores akibat ulah sang lelaki. Akan tetapi istrinya bermimpi bahwa suaminya sedang disiksa dalam neraka. Tak sanggup menahan risau dan gelisah, ia mengadukan mimipinya itu kepada orang alim. Orang alim tersebut menafsirkan, “ada satu orang yang menderita dalam kesusahan yang ia lupakan. Sementara ia hidup bahagia di negeri ini.” Mendengar penjelasan sang ulama, istrinya pun mencari tahu tentang orang yang dimaksud. Ternyata benar, seorang wanita yang merupakan adik kandung dari lelaki sholeh itu hidup dalam penderitaan yang teramat sangat. Kemudian istrinya memberikan harta yang ditinggalkan suaminya untuk mengurangi beban penderitaan wanita itu. Malam itu dia bermimpi kembali tentang suaminya, namun keadaannya sudah berubah. Tidak ada siksaan lagi, yang ada hanya senyum bahagia yang terpancar dari wajah suaminya.

Meski ibunya tidak pernah menjelaskan hikmah dari kisah yang beliau ceritakan, Ma’rif sudah sangat paham maksud dari wanita yang melahirkannya itu. Tinggallah Ma’rif dengan kebimbangannya. Keceriaannya pun terlihat pudar dan hanya memilih lebih banyak diam dan termenung sendiri. Ma’rif tidak lagi tertarik dengan obrolan hangat teman-temannya, tentang Universitas terkemuka didunia yang ingin mereka singgahi nantinya. Bahkan saat para guru-guru bertanya tentang masa depan ma’rif dan kawan-kawan, ia hanya mengatakan bahwa dirinya belum bisa nenentukan kemana. Walau kawan-kawan selalu membela Ma’rif dan mengatakan bahwa ia akan melanjutkan kuliah keluar negeri. Ditambah para guru-gurunya juga meng-amini hal itu, meski Ma’rif sendiri hanya menyambutnya dengan senyum kecil.

Kegelisahan dihati Ma’rif semakin tak beujung, saat mendengar kabar dari teman-temanya bahwa batas pendaftaran untuk calon penerima Beasiswa luar negeri sudah memasuki masa-masa tenggang. Terlebih teman-temannya sudah pada sibuk mengurus perlengkapan syarat yang minta. Diantara mereka bahkan bebas pulang pergi kekampung halaman dengan alasan untuk mengusrus surat ini dan itu. Ditambah para guru dan Ustaz pembimbing memaklumi hal itu dan menganggap sesuatu yang wajar. Walau hakikatnya Pon-Pes yang sudah berdiri sejak tahun 1991 itu, punya disiplin yang kuat. Apalagi menyangkut tentang pulang pergi santrinya.

Saat-saat seperti ini adalah hal yang paling sulit bagi siapa pun. Begitu juga dengan ma’rif, kebimbangan dan keragu-raguan terus saja menghantui. Hal itulah yang membuat ma’rif segera memutuskan kemana langkah masa depannya itu. Dengan cara yang di ajarkan oleh gurunya yakni  “Wasta’iinu bis shobri was sholah..., Shalat Istikharah lah penyelesaian akhirnya. Ma’rif Kemudian melakukan shalat itu ketika malam benar-benar sunyi. Ia benar-benar mengharapkan jawaban yang tepat. Dan melepas semua hal-hal membuat ia terpuruk seperti itu.

Hari-hari kelam terlewatkan sudah. Keceriaan yang sempat hilang kini terlihat lagi dari wajah itu. Keputusan untuk melanjutkan kuliah di tanah kelahirannya sendiri sudah dibulatkan dalam hati. Walau hal itu sempat mengejutkan banyak pihak. Terutama jajaran guru-guru. Bahkan bapak kepala sekolah sendiri sempat mengingatkan Ma’rif, bahwa pilihan untuk kuliah didaerah sendiri adalah pilihan kesekian. Beliau juga meyakinkan bahwa kesempatan yang sama tidak mungkin  akan bisa diperoleh pada tahun-tahun berikutnya. Namun rayuan-rayuan itu, hanya mengalir bah angin bagi ma’rif. Karena dia sangat yakin bahwa keputusannya saat ini adalah hasil petunjuk dari Yang Maha Esa. Terlebih setelah ia melakukan shalat istikharah, ma’rif pernah bermimpi “ia pulang pulang kerumah dalam suasana yang menyenangkan” yang di tafsirkan sendiri bahwa ia harus mengabdi kepada orang tua terlebih dahulu.

Pengumuman hasil ujian akhir tingkat SMA tinggal menunggu hari. Perguruan tinggi di Aceh pun rata-rata sudah membuka pendaftaran bagi para calon mahasiswa baru. Ma’rif bersama 15 orang temannya yang lain memang sudah menerima undangan dari IAIN AR-RANIRRY, sejak beberapa minggu sebelumnya. Berkas-berkas persyaratan yang diminta sudah terkirim. Tinggal menunggu hasil pengumuman kelulusan dari panitia.

Dan ketika saat-saat yang ditunggu tiba, yakni pengumuman hasil ujian akhir dan pengumuman kelulusan seleksi mahasiswa undangan di IAIN AR-RANIRRY, kecerian Ma’rif semakin berkicau. Betapa tidak, Ma’rif beserta seluruh teman-temannya dinyatakan lulus dari sekolah tingkat atas itu, dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan. Begitu juga dengan hasil seleksi mahasiswa undangan yang dia ikuti, semuanya lolos seleksi dan dapat langsung menyelesaikan persyaratan administrasi tanpa harus mengikuti test lagi.

Kesempatan ini tidak dibuang percuma oleh ma’rif. Meskipun dari 15 orang temannya yang sudah dinyatakan lulus seleksi di IAIN AR-RANIRRY Banda Aceh hanya tiga orang dengannya yang melanjutkan ke perguruan tinggi Islam itu. Yang lain merasa bahwa pilihan mereka tidak cocok dengan apa yang mereka impikan. Karena sebagian besar yang lulus adalah pilihan ke dua dan ketiga dari pilihan mereka. Ada yang berkeinginan untuk mengikuti tes ulang dan ada juga yang masih menunggu kelulusan dari lembaga yang mengeluarkan Beasiswa, untuk pergi menuntut ilmu ke luar negeri.

Menempuh pendidikan tingkat Strata Satu  di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah IAIN AR-RANIRRY adalah pilihan Ma’rif yang sudah dibulatkan dalam hatinya. Ketertarikannya itu berawal dari tingkah laku dan sifat ramah,  seorang dosen yang dulunya juga menempuh pendidikan disana. Itu terjadi saat musibah tsunami beberapa tahun silam menerpa Aceh, dan keluarga ma’rif menggungsi ke Blang Bintang dirumah pak dosen yang bernama Yusri itu. Ibunda Ma’rif yang juga ikut menjadi saksi kebaikan bapak yang memiliki kembaran itu, sangat mengimpikan jika suatu saat nanti ma’rif dapat mengikuti jejak lelaki yang sekarang menjadi dosennya itu.Dari sanalah ma’rif belajar banyak tentang kehidupan yang sesungguhnya. Yakni harus selalu dihadapi dengan senyuman dan kecerian walau terkadang harapan tidak pernah sejalan dengan apa yang dipikirkan.

Sejak mulai berkuliah Ma’rif sudah tertarik untuk bergabung di organisasi kampus. Bermodal pengalaman menjadi Pengurus OSPA (Organisasi Siswa Pesantren Al-fauzul Kabir) ketika masih duduk di bangku MA, membuatnya begitu yakin untuk dapat meneruskan kiprah di jenjang pendidikan tingkat tinggi itu. Sanggar Seni Selaweut atau sering disebut S3 itulah organisasi kemahasiswaan tempat Ma’rif berlabuh. Minatnya terhadap seni dan musik khususnya membuat rasa penasaran lelaki itu bertambah. Walau pada hakikatnya keberadaan Ma’rif di S3 berawal dari Candaan.

“Saya mengira S3 itu tingkat pendidikan Doktor, kebetulan saat baru-baru kuliah belum suka baca-baca mading. Saya Cuma baca sekilas. Kebetulan ada teman yang ngajak ‘daftar S3 youk’ tanpa pikir panjang saya langsung setuju. Eh tahu-tahunya Organisasi kesenian, ya saya coba-coba saja”
       
        Harapan untuk lolos seleksi rasanya begitu kecil. Karena dari beberapa tes yang dilakukan panitia, Ma’rif bisa dikatakan tidak unggul dibidang apapun. Memang ia menyadari bahwa dirinya sama sekali tidak punya Bazic di bagian itu. Selama ini ia hanya sebagai penikmat kesenian, dan bukan pelaku kesenian. Tidak heran jika anak kedua dari pasangan bapak M.Nasir Dan Bu Hazami tersebut mengaku sangat terkejut, saat namanya tercantum diantara puluhan nama lainnya yang dinobatkan sebagai penerus generasi Organisasi Nomor wahid dikampusnya itu.
        Sejak saat itu Ma’rif semakin yakin untuk menggeluti dunia kesenian. Meski ia harus balapan dengan waktu dengan segudang aktifitasnya yang harus ia kerjakan selain berorganisasi. Pada awalnya Ma’rif sempat terlihat sangat terbeban. Tugas membantu orang tuanya berbelanja pada pagi hari dan menutup warung nasi usaha ibundanya pada malam hari, membuat Ma’rif sedikit kerepotan mengatur angka 1440 menit dalam sehari itu. Seiring berjalan beban itu sudah menjadi bagian dari keceriaan tersendiri bagi lelaki yang juga berpropesi sebagai penjual pulsa Elektrix All operator tersebut.
        Hingga saat ini lelaki kelahiran Tanjung Selamat 12 Desember 1991 itu, masih aktif di Organisasi yang sudah melambungkan nama IAIN AR-RANIRRY kebeberapa belahan penjuru dunia. Dan sudah dipercaya untuk membimbing adik-adik letingnya berdasarkan kemampuan ilmu kesenian yang sudah ia pelajari setahun lebih. Setidaknya Ma’rif sekarang sudah bisa membuktikan, bahwa ia bukanlah orang yang sekedar penikmat sebuah kesenian. Akan tetapi ia dapat menjadi pelaku atau yang menampilkan kesenian itu sendiri.
        Tersadar akan keberadaannya sekarang dikampus sudah menjejaki semester puncak, seperti membangunkan kembali Ma’rif dari mimpi lama yang ia idamkan. Yaitu menuntut ilmu di Negara lain. Beberapa waktu yang lalu aku sempat bertanya, Negara mana yang akan Ma’rif kunjungi? Dengan senyum simpul dia menjawab:
“Saya tertarik dengan Cina. selain karena ada dalam riwayat nabi, budaya dan prinsip hidup orang Cina inilah yang membuat saya penasaran”

Namun saat aku kembali bertanya apakah hasrat itu akan segera terpenuhi setelah Ma’rif lulus dari sini? Ia sempat terdiam, lalu tertawa kecil, sebelum menjawab:
“Soal itu akan dikondisikan, jika perlu saya akan ikut Kursus selama beberapa pertemuan, baru kemudian melanjutkan langkah kesana”

Yang jelas hasrat itu akan segera dipenuhinya, Ma’rif tidak ingin keceriannya kembali berkerut, dengan hal-hal yang telah menjadi masa lalu baginya.

Ma’rif tetaplah Ma’rif, ia tidak pernah  menjadi orang lain. Itulah sebabnya mengapa Ma’rif tidak memiliki nama panggilan khusus. Karena memang tidak ada yang cocok selain nama aslinya itu untuk dipanggil. Hanya keluarga besarnya yang sering memanggil Ma’rif dengan sebutan lain dan hanya satu sebutan yaitu Bang Adex. Itu dikarenakan dulunya, saat ia masih balita Ma’rif kecil sudah memiliki seorang adik. Dan ibundanya lah yang pertama memanggilnya dengan sebutuan itu.

Inilah sosok Ma’rif yang aku kenal sesungguhnya, sang pejuang tangguh dalam kehidupanya, mudah bangkit dari keterpurukan dan tidak pantang menyerah serta sangat bertanggung jawab. Aku selalu berharap keceriaan di wajah itu jangan pernah kusut lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar