Jurnalisme Investigasi On Air

0 komentar

Bondan ‘mak nyus’ Winarno mendatangi sebuah komplek pemakaman mewah di ibukota Filipina, Manila. Namanya Holy Cross Memorial Park, tempat jenazah Michael de Guzman dimakamkan. Michael de Guzman  koki terkenal yang masakannya kerap dicicipi Bondan dalam acara-acara kuliner. Guzman adalah salah seorang eksekutif perusahaan tambang asal Kanada, Bre-X, yang diberitakan tewas bunuh diri melompat dari helikopter pada 19 Maret 1997, di pedalaman Kalimantan Timur. Karena berkewarganegaraan Filipina, kematian Guzman menimbulkan komplikasi diplomatik antara Manila dan Jakarta.

Presiden Filipina waktu itu, Fidel Ramos, ikut angkat bicara. Apalagi, Guzman adalah geolog kebanggaan Filipina yang bekerja di sebuah perusahaan tambang dan mengklaim menemukan 40 juta ons emas di Busang, Kalimantan Timur. Bila diuangkan, kandungan emas sebesar itu ditaksir bernilai 25 miliar dolar Amerika! Sejak mereka umumkan temuan itu, harga saham Bre-X Minerals, Ltd. melonjak tinggi dan para eksekutifnya seperti David Walsh atau John Felderhof kaya mendadak. Termasuk de Guzman. Saham Bre-X yang pada Maret 1995 hanya dihargai 50 sen dolar Kanada, terus ajojing hingga menembus 200 dolar, dan menyentuh puncak sejarahnya di level 286,5 dolar Kanada pada akhir September 1996.

Bila saya bayangkan dengan nilai kurs rupiah saat ini (1 dolar Kanada kira-kira Rp 9.100), maka hanya dalam hitungan 18 bulan, nilai saham Bre-X telah membengkak dari Rp 4.550 menjadi Rp 2,6 juta per lembar! Bila Anda menyimpan 1 lot saja (500 lembar), maka dalam tempo hanya setahun setengah, modal Anda terlontar dari Rp 2,3 juta menjadi Rp 1,3 miliar! Padahal emasnya belum lagi benar-benar dikeruk dari perut bumi. Pejabat Indonesia di bawah rezim Soeharto ikut membesar-besarkan temuan kandungan emas ini. Lalu para kroni Cendana pun menyiapkan diri sebagai mitra lokal bagi perusahaan-perusahaan tambang asing yang berminat pada Busang. Semua siap berebut Busang. Singkat cerita, Bre-X menggandeng Freeport yang berpengalaman menambang emas di Papua. Adapun mitra lokalnya adalah Nusamba, milik Bob Hasan.

Tapi Freeport tak mau beli kucing dalam karung. Ia bermaksud memastikan kandungan emas yang diklaim Bre-X dengan melakukan pengujian di lokasi dan tes laboratorium sendiri. Dan hasil… abrakadabra! Freeport terperangah. Kandungan emas di Busang ternyata tak seheboh yang digembar-gemborkan Bre-X. Freeport lalu meminta penjelasan. Pada hari di mana seharusnya Bre-X memberi penjelasan kepada geolog-geolog Freeport itulah, de Guzman diberitakan “melompat bunuh diri dari helikopter”. Bre-X mulai ketahuan belangnya. Ternyata Bre-X diduga kuat “meracuni” mata bor mereka dengan kandungan emas yang dicomot dari daerah lain, sehingga seolah-olah Busang adalah surga logam mulia. Dalam bahasa sederhana, ini adalah kasus penipuan ala dunia pertambangan. Tak pelak, harga saham Bre-X anjlok terbanting.

Eksekutifnya dikejar-kejar berbagai pihak dimintai pertanggungjawaban. Pemerintah Indonesia jadi bahan tertawaan masyarakat internasional karena dianggap bernegosiasi dengan penipu. Tak heran bila eksekutif puncak di Bre-X seperti David Walsh memilih kabur ke Kepulauan Bahama, dan Michael de Guzman memilih jalan kematian. Begitulah anggapan banyak orang. Tapi tidak bagi Bondan. Kembali ke pemakaman Holy Cross di Manila, Filipina. Petugas keamanan di sana bertanya apakah Bondan keluarga atau kerabat de Guzman. Bondan pun menjawab, bukan. Petugas makam lalu bercerita bahwa sejak dikebumikan 4 April 1997 hingga hari di mana Bondan datang, 22 April, tak seorang kerabat pun yang menziarahi makam itu. Bondan sontak heran.

Bagaimana mungkin di makam seorang yang dianggap “pahlawan geologi” bagi Filipina, dan membuat Istana Malacanang angkat bicara dalam kasus kematiannya itu, tak sedikit pun didapati karangan bunga, bekas dupa, atau lilin. Bondan pun semakin yakin bahwa jenazah yang dikubur itu bukanlah Michael Antonio Tuason de Guzman. Lalu jenazah siapa? Di mana de Guzman? Dan apa yang terjadi? Tiga pertanyaan pendek itu akan dijawab Bondan melalui upaya penelusuran yang panjang, berliku, dan memakan biaya karena harus melakukan perjalanan ke berbagai kota dunia seperti Toronto dan Calgary (Kanada).
Tapi apa yang membuat Bondan yakin bahwa ada sandiwara di balik cerita kematian de Guzman, selain fakta bahwa kuburannya tak diziarahi orang? Dalam bukunya, Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, Bondan mengonstruksi sejumlah fakta yang berserak dan merangkainya menjadi sebuah dugaan. Fakta-fakta itu adalah sebagai berikut: Michael de Guzman adalah seorang pria yang menikmati hidup. Isterinya empat orang yang tersebar di berbagai negara, termasuk di Bogor dan Sulawesi. Apakah pria dengan kenikmatan duniawi seperti ini mudah bunuh diri? Guzman sudah mencairkan nilai sahamnya senilai 4,8 juta dolar Amerika, meski emas di Busang belum lagi ditambang.

Mungkinkah orang yang merencanakan mati mencairkan asetnya? Atau bila dibalik: mungkinkah orang yang baru mencairkan asetnya memilih mati? Sebelum “bunuh diri”, Guzman meninggalkan sejumlah surat wasiat. Sementara eksekutif Bre-X lainnya menganggap Guzman dihabisi pihak lain. Bukankah kedua fakta ini saling bertolak belakang? Mengapa pihak Bre-X tidak “satu skenario” dalam hal ini? Cerita tentang perusahaan yang mengaku menemukan kandungan emas besar, tapi akhirnya bodong, bukan barang baru di dunia pertambangan. Pada 1980, sebuah perusahaan tambang New Cinch Uranium mengaku menemukan emas yang kemudian dinyatakan bodong.

Entah kebetulan atau tidak, baik New Cinch atau Bre-X sama-sama dari Kanada. Tidakkah kasus penipuan semacam ini bisa terulang dalam bisnis pertambangan? Kematian seseorang di seputar kasus tambang emas bodong, juga bukan yang pertama. Dalam kasus New Cinch Uranium, setelah perusahaan itu dicurigai merekayasa temuan emas, maka pengujian dilakukan di sebuah laboratorium independen, Chem-Tech. Nah, salah seorang pegawai laboratorium yang membuktikan bahwa New Cinch berbohong, mati misterius. Sekali lagi, tidakkah hal semacam ini bisa terulang? Fakta-fakta dan pertanyaan di atas menarik. Tetapi tidak cukup sebagai bahan untuk menarik kesimpulan bahwa ada rekayasa di balik kabar kematian de Guzman. Karena itu Bondan membutuhkan fakta-fakta yang lebih detil dan rinci di lapangan. Butuh verifikasi. Apa yang terjadi dengan cerita “kematian” Guzman barangkali akan melengkapi gambar besar bahwa Bre-X dengan sengaja telah melakukan penipuan terbesar dalam sejarah pertambangan.

Guzman sebagai saksi kunci bisa saja dihabisi untuk menghilangkan jejak orang lain. Guzman juga sangat mungkin bunuh diri untuk menghindari tanggung jawab. Atau, dia bisa memilih cara ketiga: menghilang dan berganti identitas, lalu melanjutkan hidup dengan harta yang masih (banyak) tersisa. Jalan yang ketiga masuk akal dipilih, agar tak ada pihak mana pun yang mengejar-ngejar dan mengganggu kehidupannya. Maka skenario rekayasa kematian layak dicoba. Dalam penelusurannya, Bondan pun menemukan data-data ini: “Jenazah” de Guzman yang konon terjun dari helikopter dan ditemukan di hutan Kalimantan itu tidak memiliki gugusan gigi palsu. Padahal de Guzman menggunakan gigi palsu di bagian atas. Jenazah itu juga tidak bisa diidentifikasi ciri-ciri khusus dari organ tertentu atau sidik jarinya, agar bisa dicocokkan dengan de Guzman.

 Penemuan jenazah empat hari kemudian oleh tim Bre-X (bukan tim SAR) menimbulkan kecurigaan, semudah itukah menemukan jasad orang di tengah rimba belantara yang terjatuh dari udara? Setelah peristiwa itu, dua kru helikopter dan seorang kawan de Guzman tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Dalam buku yang diterbitkan bulan Juni 1997 itu, Bondan memang tidak menemukan de Guzman secara fisik. Tapi dengan paparan-paparan kejanggalan yang diperolehnya dari sebuah upaya penelusuran yang tekun, dia pun membuat kesimpulan penutup seperti ini: “Hidup, tampaknya terlalu manis bagi Michael de Guzman untuk diakhiri dengan terjun tanpa payung dari helikopter. Atau, barangkali ia kini tengah membaca buku ini sambil tersenyum-senyum nun di Cayman Island atau Brazil sana?” Sayang sekali buku itu kini tak bisa dijual bebas karena gugatan hukum dari mantan Menteri Petambangan dan Energi, (alm) IB Sudjana yang merasa nama baiknya dicemarkan.

Keluarga Sudjana menggugat Bondan Rp 1 triliun! Tapi jurnalis mana pun sependapat, bahwa dari karya Bondan Winarno ini, banyak dimensi yang bisa dipelajari: baik ketekunan riset, metode peliputan, strategi membangun jaringan, teknik wawancara, logistik peliputan, hingga implikasi hukum setelah publikasi. O ya, satu lagi: Bondan melakukan semua ini di usia 47 tahun. Usia di mana rata-rata wartawan senior Indonesia akan memilih memerintahkan anak buahnya daripada terjun sendiri.

 Apa yang dilakukan Bondan adalah gambaran sebuah praktik jurnalistik yang kerap disebut dengan gagah sebagai: jurnalisme investigasi. 5 ELEMEN INVESTIGASI Kita tidak akan membuang-buang waktu dengan memperdebatkan apa definisi investigasi, dengan mengutip dari berbagai literatur. Yang akan kita lakukan adalah “sekedar” mengenali dan mengupas konsepnya. Hampir setiap karya jurnalis Indonesia yang diberi label investigasi selalu menimbulkan perdebatan tentang layak tidaknya predikat itu disandang. Hanya sedikit saja yang diakui beramai-ramai sebagai karya investigasi. Padahal, si wartawan atau medianya merasa sudah jungkir balik mengerjakannya.

Liputan “Bakso Tikus” di Trans TV yang menghebohkan di tahun 2006 dilabeli liputan investigasi. Saat itu Trans TV memang memproduksi banyak sekali liputan berlabel investigasi tentang kejahatan-kejahatan pelaku usaha yang menipu konsumen. Sebagian besar adalah usaha kecil-menengah (UKM) seperti tukang tambal ban yang menyebar paku, obat gosok palsu, telur ayam kampung palsu, atau sapi glonggongan. Di sisi lain, majalah seperti Tempo cukup produktif menurunkan liputan-liputan yang menyangkut korporasi besar seperti skandal pajak Asian Agri yang disebut-sebut merugikan keuangan negara Rp 1,3 triliun atau pembalakan liar yang diduga dilakukan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Sementara RCTI dengan investigasi jaringan perdagangan ginjal Indonesia-Singapura atau “perburuan” agen Badan Intelijen Negara (BIN) yang menjadi saksi kunci kasus pembunuhan Munir.

Lantas manakah yang lebih “investigatif” di antara topik-topik di atas: obat gosok palsu atau skandal perpajakan? Kriminalitas ala oknum tukang tambal ban atau operasi intelijen untuk meracuni seseorang? Bila ada lima wartawan duduk mendiskusikan pertanyaan di atas, maka tujuh hari tujuh malam belum tentu tuntas perdebatan mereka. Biasanya ini terjadi karena sebagian orang merancukan dua hal: Investigasi sebagai produk/karya jurnalistik Investigasi sebagai teknik yang digunakan dalam peliputan Laporan Bondan Winarno tentang skandal Busang setebal 270 halaman, misalnya, biasanya langsung disebut sebagai produk atau karya jurnalistik investigatif. Demikian juga liputan wartawan Tempo, Metta Dharmasaputra tentang skandal pajak Asian Agri. Secara fisik, laporan-laporan itu panjang lebar atau memakan beberapa halaman majalah, yang kadang juga dibundel sebagai suplemen tersendiri.

Di televisi, laporan investigasi kerap dikemas dalam program khusus berdurasi 30 menit, seperti Metro Realitas (Metro TV), Delik (RCTI), atau Sigi (SCTV). Ada juga yang menempel di program berita regular sebagai segmen khusus seperti Trans TV, atau diturunkan secara berseri seperti di RCTI. Tentu saja laporan yang panjang belum tentu laporan investigatif. Sebaliknya, laporan-laporan pendek atau tayangan lima menit di televisi bisa saja merupakan laporan investigasi. Bisa juga bukan.

Di sisi lain, seorang wartawan yang tekun mengendap dan akhirnya menemukan lokasi penggelonggongan sapi, lalu merekam aktivitas itu dengan kamera tersembunyi, dan menyiarkannya dengan durasi lima menit, biasanya juga disebut karya investigasi. Padahal, dia “hanya” menggunakan teknik investigasi. Demikian juga dengan wartawan yang menyamar dan duduk seharian di sebuah terminal, di mana ia bisa mengamati transaksi antara polantas dan calo angkutan yang membayar upeti agar diizinkan parkir atau ngetem mencari penumpang di rambu larangan.

Sang wartawan sebenarnya sedang menjalani salah satu proses dalam teknik investigasi yakni observasi. Tapi produk laporannya nanti belum tentu bisa disebut sebagai karya jurnalisme investigasi. Produk atau karya investigasi pasti menggunakan teknik investigasi dalam proses peliputannya. Tetapi teknik investigasi belum tentu menghasilkan karya jurnalisme investigasi. Lalu apa yang membuat sebuah produk liputan bisa disebut karya investigasi- selain dia menggunakan teknik investigasi? Hampir semua jurnalis berpendapat bahwa status investigasi bukan ditentukan oleh panjang pendeknya laporan, atau apakah dia menggunakan teknik menyamar dalam liputannya, melainkan apakah laporan itu mengungkap kasus kejahatan terhadap kepentingan publik; apakah laporan itu tuntas menjawab semua hal tanpa menyisakan sedikitpun pertanyaan (karena kejahatan tersebut biasanya dilakukan secara sistematis); apakah laporan itu sudah mendudukkan aktor-aktor yang terlibat disertai buktinya (karena sistematis, maka dalam kejahatan itu biasanya ada pembagian peran, aktor pengecoh, dan kambing hitam atau korban); serta, apakah pembaca/pendengar/ penonton sudah paham dengan kompleksitas masalah yang dilaporkan.

Maka, jurnalisme investigasi biasanya memenuhi elemen-elemen ini: (1) Mengungkap kejahatan terhadap kepentingan publik, atau tindakan yang merugikan orang lain.. (2) Skala dari kasus yang diungkap cenderung terjadi secara luas atau sistematis (ada kaitan atau benang merah). (3) Menjawab semua pertanyaan penting yang muncul dan memetakan persoalan dengan gamblang. (4) Mendudukkan aktor-aktor yang terlibat secara lugas, didukung bukti-bukti yang kuat. (5) Publik bisa memahami kompleksitas masalah yang dilaporkan dan bisa membuat keputusan atau perubahan berdasarkan laporan itu.

Tanpa kelima elemen tersebut, sebuah laporan panjang barangkali hanya bisa disebut sebagai laporan mendalam (in-depth reporting). Nah, untuk mendapatkan kelima hal di atas, tentu saja ada metode atau teknik yang bisa digunakan, yakni teknik investigasi. Jadi teknik investigasi seperti mendapatkan dokumen atau penyamaran hanya salah satu sub-elemen saja dalam jurnalisme investigasi. Kelima hal di atas juga mencakup unsur “ontologi, epistemologi, dan aksiologi” atau unsur “kognitif, afektif, dan psikomotorik” .
Ada elemen pilihan topik (menyangkut kejahatan publik yang sistematis), ada elemen metodologi dan teknik (pembuktian dan pengaitan benang merah), ada elemen penggarapan materi liputan (komprehensif dan terstruktur) , dan ada elemen manfaat bagi publik, dan menggerakkan perubahan sosial (psikomotorik) . Agar bermanfaat, maka tentu hal paling awal adalah membuat mereka memahami dulu secara baik dan benar, apa-apa saja yang kita laporkan, tanpa menyisakan sedikitpun keraguan atau ketidakmengertian. Memang ada sejumlah jurnalis senior seperti Robert Greene dari Newsday (Amerika) yang menegaskan adanya elemen “disembunyikan” dan “orisinal” dalam sebuah laporan investigasi.

Jadi menurut Greene yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “Bapak Jurnalisme Investigasi Modern” ini, topik seputar kejahatan publik saja tidak cukup disebut layak investigasi, tapi haruslah yang orisinal, dan bukan menindaklanjuti investigasi pihak lain, seperti polisi atau jaksa. Itulah jurnalisme investigasi. Peraih dua Pulitzer pada 1970 dan 1974 ini juga menegaskan pentingnya elemen “dirahasiakan oleh mereka yang terlibat”. Jadi bila ada kejahatan yang sengaja ditutup-tutupi, maka itulah pintu masuk untuk jurnalisme investigasi. Dalam konteks ruang dan waktu tertentu, konsep tersebut tentu patut didukung. Laporan investigasi memang sepatutnya dikembangkan dari hasil temuan-temuan sendiri, daripada mengekor hasil investigasi pihak lain. Sebab, ada perbedaan besar antara membuat liputan investigasi, dengan memberitakan hasil investigasi (polisi, jaksa, atau KPK).

Ada perbedaan besar antara melakukan investigasi dalam kasus pembunuhan yang diduga melibatkan Antasari Azhar (Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK), dengan memberitakan hasil investigasi polisi dalam kasus tersebut. Sama berbedanya dengan melakukan investigasi kasus terorisme peledakan bom di hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton (Juli 2009), dengan sekedar menyiarkan hasil investigasi Densus 88. Kita perlu kembali meluruskan kesalahkaprahan ini. Ada liputan-liputan yang sebenarnya hanya melaporkan hasil investigasi aparat hukum, lalu disebut sebagai liputan investigasi. Ini adalah kerancuan yang biasanya banyak terjadi dalam berita-berita korupsi atau kriminal.

Hanya karena memegang bocoran Berita Acara Pemeriksaan (BAP) beberapa tersangka, lalu laporan tersebut diberi label investigasi. Atau hanya karena memeroleh fotokopi dokumen dari penyidik atau pihak lain, lalu disebut investigasi. Padahal, jurnalisnya hanya menulis ulang apa yang sudah ditemukan oleh aparat penyelidik atau penyidik. Semua temuan yang ia sajikan, adalah temuan aparat. Tidak ada sedikit pun upaya untuk menelusuri sendiri, baik untuk menguatkan versi aparat, atau justru membantahnya. Contohnya adalah program doku-drama berjudul “KPK” yang ditayangkan di Trans TV.

Sebagian besar (semua?) materi yang ditayangkan baik menyangkut substansi kasus, nama orang, atau rekaman penangkapan, adalah hasil investigasi Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan penelusuran kru Trans TV sendiri. Demikian juga dengan program kriminal berjudul “Investigasi” yang pernah ditayangkan Lativi, yang sebagian besar berisi aneka reka-adegan atas kasus-kasus kejahatan yang sudah di tangan polisi. Tak ada yang baru dari apa yang sudah kita baca di rubrik-rubrik kriminal di koran. Barangkali inilah yang menggelisahkan jurnalis seperti Robert Greene hingga ia menekankan elemen “orisinalitas”. Meski demikian, membuat investigasi tandingan atau telusuran ulang atas hasil investigasi pihak lain, menurut saya, tetap layak disebut jurnalisme investigasi.

Jadi orisinalitas yang dimaksud sebagai elemen investigasi, bukan pada jenis topiknya (yang sudah ditelusuri pihak lain), tapi apakah fakta-fakta yang ditemukan bisa mengarah pada kesimpulan baru (orisinal), dan bukan mengulang cerita lama (baca: kesimpulan lama). Jurnalis yang menelusuri ulang hasil temuan polisi, jaksa, KPK, atau BPK, bukan berarti tak akan menghasilkan karya investigasi. Sebab tak mustahil, apa yang ditemukan jurnalis lebih melengkapi, mempertajam, atau membantah dan mementahkan temuan-temuan otoritas formal. Bahkan untuk yang sudah digelar di pengadilan sekalipun.

Bukankah selalu terbuka kemungkinan terjadinya kasus-kasus salah tangkap atau peradilan sesat? Di situlah jurnalisme ikut berkontribusi. Jadi, sekali lagi, konsep orisinalitas yang digagas Robert Greene, bisa saya sepakati dalam konteks ini. Bila para jurnalis Amerika hari ini melakukan telusuran ulang atas kasus berumur nyaris setengah abad seperti penembakan Presiden John F Kennedy (22 November 1963), maka yang mereka lakukan bisa saja disebut investigasi, meski tidak “orisinal” (karena Komisi Warren pernah melakukannya dengan laporan setebal 2.000 halaman, disusul tim jaksa yang dipimpin Jim Garrison yang cukup brilian dan agresif). Sementara unsur “disembunyikan” atau “dirahasiakan” oleh pelakunya, dalam beberapa kasus adalah penilaian post factum. Kita baru bisa menilai hal tersebut sengaja dirahasiakan atau disembunyikan oleh pelakunya justru bila liputan telah tuntas dikerjakan. Apalagi, tak semua kasus kejahatan terhadap publik sengaja “dirahasiakan” atau “disembunyikan”.

Bisa saja hal itu terjadi hanya karena lokasi yang jauh dari pusat-pusat bisnis media (domisili wartawan), sehingga ada unsur bias dalam menilai sesuatu. Keberadaan tentara anak-anak (child soldier) di Myanmar yang terang-terangan memanggul senjata, belum tentu disembunyikan oleh pihak gerilyawan seperti Karen National Union (KNU), meski mereka tahu ada hukum internasional yang melarang. Tapi bila ada jurnalis yang bisa menelusuri bagaimana mereka direkrut, dilatih, dan diterjunkan dalam pertempuran, sehingga fonemena ini terjadi secara sistematis dan bahkan diikuti oleh tentara reguler, tentu akan menjadi liputan investigasi yang menarik.

Sekitar bulan November 2005, di Filipina, saya mewawancarai salah seorang bekas gerilyawan Karen yang memberontak pada junta militer Myanmar. Namanya Aung Myo Min. Pria ini pernah tinggal di kamp Thay Baw Boe, di dekat perbatasan Thailand, di mana sedikitnya 1.000 bocah dilatih dasar-dasar kemiliteran. Mereka berusia antara 12-14 tahun dan sudah belajar menembak, teknik sabotase, dan intelijen. “Saya bisa merasakan mengapa ada anak-anak jadi tentara. Waktu itu tidak ada rasa apa-apa melihat anak-anak terlibat,” kenang Myo. Saking banyaknya, Perserikatan Bangsa-Bangsa menempatkannya Myanmar alias Burma dalam daftar 15 negara “produsen” tentara anak bersama Colombia, Sudan, Sri Lanka, Nepal, Congo, Burundi, Somalia, Uganda, dan Filipina. Dengan realitas semacam ini, sebenarnya tak ada unsur “disembunyikan” dari kejahatan hukum perang dengan merekrut anak-anak.

Tapi yang sulit adalah akses ke lapangan untuk melakukan verifikasi dan menelusuri proses perekrutan mereka. Masuk ke Myanmar di bawah pemerintahan junta (terutama sebagai jurnalis asing), adalah satu hal. Setelah berhasil masuk pun, untuk mendapatkan kepercayaan dari kelompok pemberontak, adalah hal yang lain. Tapi keberadaan tentara anak tak disembunyikan oleh KNU, termasuk barangkali kelompok bersenjata lain seperti Kachin Independence Army (KIA) atau Shan State Army (SSA). Buktinya, foto-foto tentang keberadaan mereka tetap bisa saya peroleh dari Myo (saat saya menulis laporan untuk acehkita.com). Begitu juga dengan para wartawan yang bisa merekam keberadaan tentara anak di Sierra Leone di masa-masa konflik. Atau kawan saya fotografer Hotli Simanjuntak yang bisa memeroleh foto anak-anak Aceh memanggul laras panjang AK-47 atau M-16 di sebuah lokasi di Pidie setelah status Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut pada 1998. Jadi, meski tidak “disembunyikan” oleh pelakunya, sebuah topik kejahatan pada publik, tetap layak diinvestigasi. Sebab, ada juga kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dan terang-terangan sebagai bentuk perlawanan ideologis atau politis.

Karena itu, dalam perspektif saya, elemen dalam sebuah karya jurnalistik bisa disebut sebagai investigasi, bukan hanya terletak pada persoalan “orisinalitas” (dalam pengertian topik baru dan tak pernah ditelusuri orang lain) atau unsur “ditutup-tutupi” oleh pelakunya, melainkan apakah karya itu (sekali lagi): mengungkap kasus kejahatan terhadap (kepentingan) publik; apakah laporan itu sudah tuntas menjawab semua hal tanpa menyisakan sedikitpun pertanyaan (karena kejahatan tersebut biasanya dilakukan secara sistematis); apakah laporan itu sudah mendudukkan aktor-aktor yang terlibat secara lugas (karena sistematis, maka dalam kejahatan itu biasanya ada pembagian peran, aktor pengecoh, dan kambing hitam atau korban); serta apakah konsumen media sudah paham dengan kompleksitas masalah yang dilaporkan, sehingga bisa mengambil keputusan dan perubahan atasnya. Jadi kini kita sudah mulai bisa membedakan antara pendidikan seks, dan pelajaran teknik bercinta.

Menyamar, menggunakan kamera tersembunyi, mengamat-amati lokasi dari dalam mobil, adalah “teknik bercinta”, bukan “pendidikan seks” itu sendiri. Sebab, masih banyak pekerjaan lain dalam jurnalisme investigasi seperti perencanaan, penyusunan laporan yang komprehensif, pengemasan yang menarik, pengaturan logistik, implikasi bagi kepentingan publik, dan aspek-aspek pasca-publikasi yang perlu diperhatikan seperti ancaman keselamatan atau gugatan hukum, yang kesemuanya itu adalah kerja-kerja yang melebihi “sekedar” action ala detektif di lapangan. (DDL)

http://cicak.or.id/baca/2009/11/12/investigasi-jurnalistik-apa-itu-investigasi-3.html

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar