Sampah-sampah Kehidupan

0 komentar


Oleh : Satria putra

Sejak wanita itu menghilang, Sampah-sampah berserakan. Botol minuman kemasan, plastik dan kardus bekas terlihat dimana-mana. Kemana dia? Dulu aku pernah katakan pada teman-temanku “Tanpa dia, Banda Aceh semak”. Dan sekarang benar-benar semak.
***
Sekitar dua bulan yang lalu, tepat di awal November, terakhir kali aku melihatnya. Seperti biasa sekitar pukul 23:00 ia muncul dengan memikul karung kotor berisi sampah. Malam itu tidak banyak sampah yang ia kumpul. Wanita yang dipanggil Rima ini lebih banyak duduk ketimbang memungut sampah yang berkeliaran disekitarnya. Sudah beberapa malam ia terlihat seperti pemalas. Dan malam itu adalah malam termalas baginya yang pernah aku lihat. Tapi aku tahu betul jika itu semua ada alasannya. Hatiku pun membujuk untuk segera mencari tahu apa yang terjadi pada wanita tua itu. Akan tetapi untuk mendapatkan jawaban yang ku ingin, aku harus menunggunya disini, menunggu sampai ia melintas.

Malam sudah hampir sampai pada klimaksnya, namun Bu Rima belum juga melintas. Biasanya, sebelum pertengahan malam ia sudah mengambil jatah sampah didepan toko tempat ku bekerja (Nanti kujelaskan, kenapa Bu Rima punya jatah sampah disini). Aku sempat panik, jangan-jangan ia sudah pulang. Dan enggan untuk markir disini, karena sampah yang ia kumpul sudah cukup. Namun itu semua menghilang saat senyum mengembang dari wajah tua itu menyapaku. Masih seperti sebelumnya kulihat. Ia memilih duduk terlebih dahulu, ketimbang memungut botol dan plastik bekas jatahnya ditong sampah kami.

“Ibu sakit ?” sapaku saat menghampirinya.
Bu Rima diam, ia hanya menghela nafas panjang. Aku berusaha untuk tidak melanjutkan pertanyaan tadi. Saat itu aku merasa ia tersinggung dengan pertanyaanku. Aku memilih diam dan duduk dibangku sebelahnya.
“mau tutup jam berapa malam ini?” suara yang kutunggu akhirnya terdengar juga dari mulut sang ibu.
“seperti biasa bu” jawabku sambil tersenyum. Wanita itu mengangguk lalu bangkit dari duduknya dan mulai memungut sampah. Beberapa kali aku sempat mendengar Bu Rima terbatuk-batuk. Ia memang kelihatan sedang kurang sehat. Namun sepertinya ia enggan untuk mengiyakan padaku. Usai memungut botol-botol bekas di tong sampah, Bu Rima mencuci tangannya dengan air yang ia bawa. Botol berisi air cuci tangan itu ia letakkan tepat bersama botol-botol yang ia pungut. Akhirnya ia kembali menghampiriku dan duduk di bangku sampingku.

“anak ibu tidak setuju kalo ibu bekerja seperti ini. Ibu disuruh pulang kembali kekampung dan tinggal bersama mereka” Bu Rima memulai percakapan malam itu. Terlihat Raut sedih diwajahnya. Bahkan nada suaranya saat berbicara sesekali serak seperti menahan isak. Bu Rima mengatakan jika dirinya sangat berat untuk meninggalkan Banda Aceh. Bukan karena ia  ingin disebut orang kota. Tapi ia hanya khawatir jika nanti selepas kepergiannya tidak ada orang yang dapat mewarisi pekerjaannya itu.

Pernyataan Bu Rima tersebut mengingatkan ku pada awal-awal bertemu dengannya. Saat itu aku secara tidak sengaja melempar botol minuman bekas keluar dari toko tempatku bekerja. Mungkin karena kebiasaanku. Botol yang aku lempar pun jatuh dekat dengan tempat Bu Rima memungut sampah. Secara spontan aku meminta maaf  kepadanya. Saat itu ia hanya tersenyum dan mengangguk. Namun beberapa saat setelah ia menyelesaikan pekerjaannya dan telah memcuci kedua tangannya, ia balik menghampiriku. Dengan tegas dia melontarkan sebuah kalimat yang menjadi pelajaran penting bagiku.
“Nak, Sampah yang kalian buang itu adalah uang kami. Kami bisa makan dari situ” Bu Rima tersenyum sambil berlalu dariku. Hari itu menjadi pukulan berat bagiku. Dan mulai saat itu aku berusaha menjaga uang-uang mereka. Dan menyisakan sampah yang sesuai selera Bu Rima, yaitu botol minuman kemasan bekas, plastik dan kardus. Itulah sebabnya ditong sampah kami selalu ada jatah sampah untuk Bu Rima.

Bu Rima adalah warga Lhoksemawe yang merantau ke Banda Aceh Sejak 2010 silam. Dan itu pertama kali ia datang ke Ibukota  Seuramoe Mekkah ini. Awalnya beliau hanya bermaksud untuk mengunjungi salah seorang kerabat yang mengalami musibah. Namun dikarenakan keterbatasan ekonomi, akhirnya beliau tidak dapat kembali kekampung halamannya. Di Banda Aceh beliau hanya menumpang di sebuah rumah tua milik seorang warga.

Untuk tetap bertahan hidup diperantauan, tentu Bu Rima harus bekerja serta harus memiliki uang. Dan di usianya yang saat itu sudah berumur 64 tahun tidak mudah untuk menemukan pekerjaan. Akhirnya ia memilih menjadi pemulung. Karena hanya itulah salah satu profesi yang ia anggap layak dan bisa ia kerjakan tanpa harus mengeluarkan modal.

Ada hal menarik dari cerita beliau tentang pilihannya terhadap profesi sebagai pemulung, selain kerena pemasalahan modal. Berawal saat perjalanannya dari kampung menuju Banda aceh, didalam mobil yang ia tumpang ada salah seorang yang menyalakan mp3 dari Handphone selulernya. Suara yang keluar dari benda itu bukanlah nyanyian, akan tetapi suara salah seorang teungku tersohor di Aceh yang sedang berceramah. Ia mengaku tidak paham-paham betul tentang ajaran agama Islam. Beliau cuma tahu tentang ibadah dan sedikit tentang mu’amalah. Ceramah sang Teungku sayup-sayup terdengar diantara ringkikan mesin angkutan dan suara penumpang yang ngobrol. Namun Bu Rima tetap dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh sang teungku melalui ceramahnya.

Yang paling terkesan bagi Bu Rima adalah ketika sang teungku menyampaikan sebuah hadist tentang kebersihan. Teungku tersebut dengan detail menjelaskan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman dan Allah sendiri menyukai orang-orang yang bersih. Selain itu sang Teungku berulang kali mencontohkan persoalan kebersihan, yang Bu Rima anggap adalah hal-hal yang paling sering ia jumpai. Seperti orang-orang yang mengaku beriman tetapi lingkungannya kotor atau sering buang sampah sembarangan. Aku sendiri sempat merasa tersindir dari cerita Bu Rima, yang pada awalnya kelakuanku juga sering buang sampah sembarangan.

Karena alasan itulah ibu satu orang anak ini Ikhlas bekerja sebagai pemulung. Menjadi pemulung, bukan lah sebuah pekerjaan yang mudah. Meski kelihatannya ringan, namun tetap saja beresiko. Bu Rima sendiri mengaku pernah beberapa kali diserang aneka penyakit. Mulai dari Malaria sampai penyakit gatal-gatal. Selain itu ada hal pahit yang dialami Bu Rima, saat awal-awal menjadi pemulung, ia pernah di tuduh mencuri oleh seorang warga hanya karena ingin mengambil dua botol bekas dibalik pagar besi milik warga tersebut. Bu Rima juga pernah di tuduh sebagai penculik, hanya karena posisinya dekat dengan seorang anak kecil yang sedang makan es krim. Ia cuma bermaksud untuk menunggu wadah penampung es krim si anak kosong, yang nantinya ia ambil usai si anak membuangnya. Saat itu Bu Rima mengaku nyaris di hakimi warga, untung ada salah seorang yang mengenalnya dan membatunya memberi keterangan.

“kadang jadi pemulung itu serba salah, gak ngambil sampah jadi masalah, ngambil pun salah” itu salah satu keluhan yang pernah kudengar dari Bu Rima. Ia juga mengaku kesal dengan orang-orang yang tidak menghargai pekerjaannya. Menurutnya jika didunia ini tidak ada yang mau memungut sampah sedangkan sampah terus menerus dibuang sembarangan, maka dunia ini dalam sekejap akan tenggelam dengan sampah. Bu Rima juga heran, kenapa banyak yang tidak suka saat ia mengambil sampah. Apa salahnya dengan pekerjaanya itu. Anak nya sendiri justru beberapa kali merangnya melakukan pekerjaan itu. Mungkin alasan yang terakhir karena itu di anggap pekerjaan yang hina. Lalu hinakan mereka yang mau berkorban demi kebersihan. Itu yang tidak habis aku pikir.

Demikianlah kisah pertemuanku dengan Bu Rima harus berakhir pada malam itu. Bu Rima harus kembali kekampung halamannya. Disana ia akan kembali tinggal bersama seorang anak perempuannya yang baru saja menikah. Oh iya, aku lupa menjelaskan tadi, bahwa Bu Rima sudah tidak bersuami sejak dua tahun sebelum tsunami. Aku tidak menanyakan secara rinci perihal beliau kehilangan suaminya. Yang jelas aku mengetahuinya saat ia sedang berbicara dengan seorang ibu, yang menghampirinya saat sedang memungut sampah. Entah karena sudah saling kenal atau tidak, ibu itu terlihat begitu akrab dengan Bu Rima. Dari percakapan itulah tanpa sengaja aku mendengar secuil kalimat “saya sudah tidak punya suami, udah lama taon 2002” dari mulut Bu Rima.

Bu Rima sengaja selama beberapa hari terakhir tidak terlalu banyak memungut sampah, karena ia selalu di awasi oleh anaknya yang baru datang untuk menjemputnya pulang. Kala itu sampah yang ia pungut juga ia berikan kepada pemulung lainnya dan tidak ia jual sendiri. Hal itu ia lakukan agar anaknya tidak tahu jika ia masih memulung, untuk uang tambahan perjalanan pulangnya. Dan salah satu cara mengakalinya adalah dengan duduk-duduk sejenak, jika ia merasa sudah aman baru ia memungut sampah.

Jujur aku tidak mengerti mengapa sampai segitunya ia menghindar dari sang anak. Dan aku tidak paham betul mengapa sang anak sampai melarangnya sedemikian rupa. Karena hanya malam itu moment terakhir bersamanya. Aku tidak punya waktu untuk bertanya lagi.

Sepeninggalan malam itu Bu Rima tidak lagi muncul. Meski sampah jatahnya selalu ada, namun sampah-sampah itu masih tetap disana sampai petugas kebersihan pagi datang menjemput. Sejak wanita itu menghilang, Sampah-sampah berserakan. Botol minuman kemasan, plastik dan kardus bekas terlihat dimana-mana. Kemana dia? Dulu aku pernah katakan pada teman-temanku “Tanpa dia, Banda Aceh semak”. Dan sekarang benar-benar semak. Menjelang tengah malam sampai setelah subuh, nyamuk berpesta pora, diatas sampah-sampah yang biasanya suka dikumpul oleh Bu Rima.

Kini malam terasa begitu sepi dan panjang. Tidak ada lagi cengiran dan tawa dari wajah wanita tua itu. Biasanya saat hendak mengambil sampah, ia selalu terlebih dulu menyapa orang-orang sekitar dengan ramah. Mengajak mereka berbicara bahkan tidak jarang ia membuat lelucon yang menghibur dan menjadi bahan ketawaan orang. Ia adalah sosok yang luar biasa.

Sekarang sampah-sampah seperti hidup dan berkembang biak. Sampah yang hidup sendiri, tanpa memberi kehidupan. Sampah sudah tidak berharga. Sampah sudah seperti bukan lagi uang-uang mereka. Sampah adalah sampah itu sendiri. Tiada lagi sampah-sampah kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar