BBM (Bahan Bakar Media)

0 komentar


Ditulis oleh : Titus Febrianto

“All Warfare is Based on Deception” (Sun Tzu – Ancient Chinese Tactician)
Saya tertarik ketika membaca tulisan Budiarto Shambazy di Kompas (24/3) yang mengharapkan legenda April Mop terjadi juga di Indonesia pada tanggal 1 April esok. BBM tidak jadi naik!
Tidak ada yang meragukan bahwa polemik kenaikan BBM per 1 April 2012 menuai eskalasi pro dan kontra yang begitu menguras energi. Kenyataannya, dalam dua periode pemerintahan SBY, harga BBM pernah dua kali mengalami kenaikan. Maret 2005, harga BBM naik 30%, dan pada Oktober tahun yang sama harganya naik hingga 126%. Namun keduanya tidak diekor oleh penolakan yang sedemikian masif.
Ada yang bilang, penipuan adalah biang keladinya. Rieke Diah Pitaloka, Kwik Kian Gie, Fuad Bawasier, Anggito Abimanyu, dan banyak tokoh lain mengungkap tabir kabut jual- beli BBM oleh pemerintah yang diakui ternyata surplus! Kwik dengan tegas menolak terminologi subsidi, defisit, menjaga neraca APBN, dan sebagainya. Ambivalen dengan pernyataan pemerintah di awal tahun yang dengan jumawa membanggakan pertumbuhan ekonomi makro kita yang mencapai 6,5 %. Jauh di atas ekspektasi.
Ada juga yang bilang, aksi- aksi penolakan ditunggangi kelompok oposan dan kelompok kepentingan. Argumentasinya sederhana. Kenaikan BBM, betapapun tidak bisa dihindari, niscaya ditunggangi kepentingan politik. BLT (Bantuan Langsung Tunai) adalah manifestasinya. Strategi BLT yang terbukti berhasil mendongkrak tingkat elektabilitas parpol penguasa, sedang mencoba peruntungannya kembali. Rakyat marah karena di dalam kesempitan, masih ada yang mencari kesempatan.
Dan ada alasan ketiga. Media. The fourth estate ini memiliki kekuatan dominan dalam membentuk opini publik. Jika hari ini massa turun ke jalan, sekian persen tanggung jawab ada di pundak media. Sayangnya, sikap mendua media telah berhasil merubah gerimis menjadi hujan badai.
Pengalaman Luar Negeri
Media sebagai sebuah organisasi industri, bukanlah sebuah entitas tunggal yang otonom. News of The World sebagai tabloid terlaris dan tertua di Inggris, ketika dibeli oleh Rupert Murdoch akan membawa pula semua pendiriannya. Agresif, laksis, dan pragmatis. Begitulah media terkemuka ini kemudian menemui ajalnya. Terjerat dalam kasus penyadapan telepon yang mencoreng nilai-nilai jurnalistik.
Itu pula alasan mengapa di jamannya Indonesia Raya bisa sedemikian keras bersuara. Hingga jeruji breidel menghancurkan ideologi jurnalisme jihad yang coba dibangun oleh Mochtar Lubis lewat surat kabar asuhannya itu. Pula alasan terjadi eksodus besar-besaran dari Tempo ke Editor. Ketika idealisme jurnalistik tak lagi mampu berkompromi dengan manajemen yang sarat intensifikasi dan maksimalisasi laba.
Media sebagai organisasi industri terpengaruh oleh banyak pihak. Reese & Shoemaker (1996) menyimpulkan setidaknya ada lima lingkaran keterikatan yang senantiasa menyertai produk media. Individual constraint, Media Routine constraint, Ownership constraint, Extra Media constraint, dan Ideological constraint. Apa yang terjadi di Jepang adalah contoh faktual.
Tahun 2011 gempa berkekuatan besar mengguncang Jepang. Titik episentrum di Sendai tidak berarti wilayah lain terbebas dari ancaman. Tsunami menyapu hampir seluruh bagian timur laut negara kepulauan tersebut. Tak lama berselang, bencana ketiga menyambut. Bahaya Radiasi Nuklir, akibat kebocoran dan ledakan reaktor di Fukushima.
NBC adalah yang pertama mengudarakan tragedi Jepang kepada dunia. Namun dahsyatnya gelombang tsunami baru terekam pertama kali secara jelas oleh kamera Nichiuri TV yang terbang dengan helikopter dan mengambil gambar dari udara. Sayangnya tidak ada satupun media di Jepang yang kemudian memberi perhatian lebih terhadap bencana susulan, radiasi nuklir. Masyarakat Jepang panik. Terjadi eksodus besar-besaran keluar Jepang, menuju China dan Korea atau manapun, asal menjauh dari tempat radiasi. Sementara itu, media Jepang seolah menjalin kerja sama dengan pemerintah untuk bersuara bahwa “semua baik- baik saja. Aman terkendali.”
Apa yang terjadi? Profesor Asano Ken-ichi dari Doshisha University yang melakukan riset bersama kolega membuktikan bahwa memang ada vested interest di balik “matinya” kritisisme media terhadap bencana nuklir tersebut. Bukan mengada-ada jika semuanya coba dirunut hingga sejak pangkalan militer AS bercokol di Okinawa, selatan jepang. Karena sejak itulah, praktis kebijakan politik Jepang dipengaruhi pula oleh kebijakan luar negeri AS. Pembangunan power plant-power plant nuklir (termasuk di Fukushima) adalah usaha AS memperkaya energi nuklir di seluruh penjuru dunia terhadap sekutu-sekutu dan pihaknya sendiri. Berusaha mengungkap apa yang terjadi di Fukushima, sekalipun sekecil apapun, berpotensi membawa pemahaman kepada masyarakat Jepang bagaimana pemerintahan mereka telah hidup menjadi kaki tangan AS.
Di Amerika, centang perentang ambivalensi media terjadi ketika keberpihakan nampak jelas. Saat kalangan Republikan menonton Fox News dan partai Demokrat menonton CNN. Dimana perang opini adalah senjata utama untuk menggenjot rating. Ironisnya, FCC (Federal Communications Commission) yang seharusnya berdiri di garda terdepan untuk meluruskan itu semua, justru sibuk meladeni usaha para pelobi untuk memperlonggar ijin kepemilikan korporasi media.
Semua peristiwa ini membuktikan bahwa media bukanlah entitas yang bebas nilai. Ia mengambil sikap. Sikapnya determinatif terhadap opini publik yang terbentuk. Dan sikap dibuat bukan tanpa kepentingan. Indonesia tak luput dari fenomena ini.
Kembali ke BBM
Isu BBM akan naik sebenarnya telah terendus sejak pemberitaan mengenai konflik Iran-AS menguat. Menuju kepastian ketika akhirnya embargo minyak AS dan sekutunya, dijawab oleh Iran dengan blokade selat Hormuz.
Itu semua belumlah memancing media untuk bersuara. Baru ketika Jero Wacik dan jajaran kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) mewacanakan beberapa kebijakan, seperti pembatasan BBM bersubsidi, konversi BBM ke BBG, dan pengalihan dari premium ke pertamax khusus untuk kendaraan pribadi roda empat, media mulai angkat sauh. Pada saat ini wacana “menyelamatkan APBN” belum santer terdengar, dan opsi-opsi kenaikan BBM seperti yang disuarakan KADIN atau Apindo masih dipandang sebelah mata karena tidak populis.
Awal Maret, saat wacana pemerintah bergeser ke arah menaikkan harga BBM sebesar 30%, media berlomba-lomba menjadi yang pertama untuk mengkritisi kebijakan ini. Bahkan media mengambil sikap sangat kasat mata. Seolah-seolah setiap hari adalah narasi keburukan pemerintah. Kenaikan BBM adalah kebijakan tidak populis, berpotensi menaikkan harga sembako, menyengsarakan rakyat, BLT palsu, SBY gagal, dan sebagainya. Trial by the press? Black campaign?
Media jelas punya agenda. Setidaknya Metro Tv yang dinahkodai Surya Paloh, dan Tv One yang dimiliki Aburizal Bakrie, mendulang keuntungan elektabilitas dari anjloknya popularitas pemerintah (yang representatif Partai Demokrat). Dan apapun agenda tersebut, mereka sukses membakar semangat massa untuk turun ke jalan.
Inilah pilihan-pilihan frasa yang diturunkan media kala itu. People Power, pemerintahan gagal, subsidi untuk siapa, reformasi mei 1998, dan lain sebagainya. Media seolah menggerakkan massa dan mahasiswa untuk turun ke jalan. Menarik karena pemilihan narasumber, baik di berbagai talk show televisi, maupun informan peliputan media cetak, adalah mereka-mereka yang mengambil sikap di kubu kontra. Seolah menguatkan agenda yang telah disiapkan.
Hanya beberapa minggu berselang, tatkala isu kenaikan menjadi semakin pasti, perubahan besar terjadi. Diksi-diksi baru menghiasi pemberitaan. Demo ricuh dan mahasiswa anarkis. Setiap kali reporter turun ke lapangan dan menanyakan aspirasi warga, selalu terjadi proses generalisisr seolah pendapat 3-4 orang tersebut mencerminkan pendapat masyarakat satu kota. Pertanyaan- pertanyaan yang terlontar pun bias dan missleading. (“Apakah anda setuju jika demonstrasi menolak kenaikan BBM harus berakhir ricuh, sekalipun atas nama rakyat?”) Bisa anda bayangkan ada orang yang menjawab tidak setuju?
Jika sebelumnya black campaign ditujukan bagi pemerintah, dan opini publik digalang sebagai motor massa turun ke jalan, kini black campaign ditujukan bagi gerakan massa itu sendiri. Audiensi diajak geram ketika kamera-kamera televisi menyorot pembakaran ban, dan adegan dorong-mendorong yang dilakukan baik oleh polisi maupun mahasiswa.
Anarkis. Kata yang mendadak populer setiap kali terjadi gerakan massa. Merujuk pada perspektif framing dan critical discourse analysis, depiksi kata merupakan rekonstruksi pemaknaan yang turun dari ideologi media, dan ingin ditanamkan dalam benak komunikannya. Sekarang apa yang media maksud sebagai anarkis? Aksi bakar bankah? Aksi bakar keranda? Corat-coret foto SBY? Dorong-dorongan? Atau ketika batu mulai saling dilemparkan? Jika anarkistis merujuk pada pemaknaan literal asal katanya, anarchy, maka kekerasan menjadi acuan utama. Sekarang apa yang kita lihat di layar kaca adalah mahasiswa lempar batu, polisi tendangi dan pukuli mahasiswa pakai pentung! Bahkan tak jarang ditembak dengan gas air mata dan peluru karet. Tak tahu betul siapa yang memulai. Yang jelas kekerasan dilakukan oleh kedua belah pihak. Adilkah jika labelling anarkis hanya disematkan kepada pendemo?
Apakah ini refleksi ideologi pemilik media sebagai kaum mapan dan industriawan yang selalu paranoid terhadap people power dan gerakan massa lainnya? Tak ada yang tahu.
Ketika tulisan ini dibuat, tepatnya tanggal 27 Maret 2012, bertepatan dengan hari dimana ribuan massa turun ke jalan. Baik di Jakarta maupun daerah-daerah lain sebagai proses klimaks penolakan terhadap kenaikan BBM, sekaligus kawalan masyarakat terhadap sidang paripurna yang akan digelar dua hari kemudian.
Uniknya di hari itu, media sekali lagi berubah sikap. Kini polisi yang jadi bulan-bulanan. Ibarat kepiting tersiram ombak, televisi-televisi mundur dari usaha stigmatisasi anarkisme gerakan massa, ke proses pencitraan polisi yang seolah preman mabuk membawa beragam senjata untuk diayunkan. Kehadiran polisi dan militer yang dikritik banyak pihak sebelumnya sebagai bentuk paranoid penguasa, kini seolah menemui penghakiman di bawah ujung kamera. Tv One sangat bersemangat hingga berkoar-koar mengenai pelanggaran kebebasan pers akibat ulah seorang anggota polisi yang merebut kamera wartawan Tv One.
Kemana sebenarnya pedang dewi keadilan hendak diayunkan oleh media? Ketika obyektivitas telah ditolak untuk disakralkan dalam proses jurnalistik, media mulai mengambil sikap. Namun sikap apa yang sebenarnya coba diambil media- media ini terkait isu kenaikan BBM? Di awal mereka menyiram bensin ke dalam api, setelah api membesar mereka menyalahkan panasnya yang membakar, sejurus kemudian mereka menghakimi para fireman yang berusaha meredakannya.
Tanggal 1 April ada di depan mata. Apakah ramalan Budiarto Shambazy mengenai April mop terwujud? Atau justru pembacaan Ikrar Nusa Bhakti yang melihat mendung bangsa kita hampir siap mencurahkan hujan besarlah yang terbukti?
Apapun itu, satu yang pasti. Media belum akan berhenti untuk terus menyiram bahan bakar ke atas bara konflik.

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar