Oleh : Ma'rif Maulidil Chamis
Tik... tik... tik... jarum
jam menunjukkan pukul 00.00 WIB. Hawa sejuk di pegunungan mulai
menyentuh. Orang-orang sudah tenggelam dalam buaian mimpi dengan alunan suara
jangkrik sebagai pengantarnya. Cucuran air yang keluar dari keran terdengar
jelas ketika ia sedang membasuh beberapa bagian tubuhnya. Apa yang ingin
dilakukannya di saat tak terdengar lagi suara-suara senda-gurau anak manusia?
Yang jelas terdengar kini hanya bisikan angin pada dedaunan dan nyanyian
jangkrik.
***
Bersama seorang teman, Ma’rif mengadukan permasalahannya kepada Sang Maha
pemberi pertolongan. Ketika orang-orang mulai merasa resah dengan berbagai
masalah yang tak kunjung dapat jalan keluar, mereka pasti akan merasa frustasi.
Bantuan dari sesama cukup terbatas pada kadar kemampuannya. Hanya Yang Maha Esa
yang selalu mau mendengar keluh-kesah hamba-Nya dan memberikan pertolongan
setiap saat kita membutuhkannya.
Lelaki yang mempunyai nama lengkap Ma’rif Maulidil Chamis ini memang punya sedikit
bekal ilmu pengetahuan agama. Sejak kabur dari TK FKIP karena ia ingin terus
melanjutkan ke sekolah baru, ia langsung memilih Madrasah Ibtidaiyah Negeri
(MIN) Tungkob. Memiliki tubuh mungil dan usia yang tergolong muda tidak
menyurutkan spirit nya untuk terus bersaing di sekolah barunya itu.
Selama enam tahun masa pendidikannya ia juga pernah duduk di kelas inti
dari kelas 4 sampai tamat.
Pernah terbesit dalam hatinya untuk masuk pesantren, namun ambisinya
terahalang dengan kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan. Setelah berpikir
matang-matang, ia memutuskan untuk sekolah di Madrasah Tsanawaiyah Negeri
(MTsN) 4 Rukoh. “Saya mau nyambung ke MTsN Rukoh,” ujar lelaki yang lahir pada
tanggal 12 Desember 1991 ini kepada gurunya saat mengambil ijazah.
Setelah lulus menjadi siswa MTsN, tentunya sudah ada perbedaan dan perubahan.
Segala hal-hal yang baru ingin dicobanya. Mencoba untuk hidup mandiri dan tidak
suka jika orang tuanya terlalu banyak mengatur. Namun Bangadek, begitu sapaan akrabnya
di rumah, tetap patuh dan menghormati Ayah dan Ibunya. Ia begitu bersemangat
membantu Ayahnya menitipkan kerupuk kulit di warung-warung. Sementara Ayahnya
menjajakan kerupuk kulit itu berkeliling seputaran Aceh Besar-Banda Aceh,
bahkan sampai ke Pulau Weh untuk menafkahi keluarganya.
Ma’rif mulai menyukai dunia bisnis seperti itu mungkin karena di dalam dirinya
mengalir darah Kakeknya, Usman, yang dulunya juga seorang pebisnis tali sabut
kelapa. Meski hanya jajan Rp 500 pada saat itu, ia sering menyisihkannya.
Hasrat untuk memiliki sepeda sendiri sangat besar. Mengharap semata-mata dari
penghasilan Ayah tidak cukup. Ibunya juga hanya duduk di rumah menjalankan
tugasnya sebagai seorang istri dan seorang ibu.
Lain di rumah lain di sekolah, di rumah Ma’rif suka membantu orang tua, di
sekolah Ia juga tidak malas belajar. Nilai-nilai yang bagus dan peringkat 3
yang diperolehnya membawanya duduk di kelas 2 inti. Tidak hanya menjadi salah
satu siswa kelas inti yang membuat Ia senang, impian yang sudah lama terpendam
juga terwujudkan. Ma’rif juga sudah bisa pulang-pergi sekolah dengan BMX baru
punya sendiri. Sekarang, bergaul dengan teman juga sudah tidak minder lagi.
Itulah hasil tabungannya dibantu sedkit dengan duit ibunya.
“Manusia yang berencana, Allah yang menentukan,” kata-kata seperti itu yang
sering ia dengar dari gurunya. Selang sekitar 3 bulan mempunyai sepeda baru,
tibalah hari dimana Aceh dikenal dunia. Hari dimana semua orang beristirahat
dari aktivitasnya itu ternyata banyak membuat orang-orang istirahat untuk
selamanya. Tanggal merah pada hari itu banyak menumpahkan bulir-bulir air mata.
Tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa bergelimpangan dimana-mana seolah tak
berharga lagi.
26 Desember 2004 telah menjadi hari dukacita yang mendalam bagi masyarakat Aceh
khususnya. Peristiwa dahsyat yang menimpa Bumi Serambi Mekah pada saat itu
tersimpan baik dalam memori mereka yang tersisa. Ma’rif sebagai salah seorang
yang ikut berlarian untuk mencari tempat perlindungan merasa bersyukur. Umur
yang tersisa merupakan kesempatan untuk melakukan perubahan.” Allah masih
memberikan kesempatan kepada kita untuk kembali mengingat-Nya,” nasehat ibunya
kepadanya serta abang dan kedua adiknya.
Tidak genap 30 hari, Bumi Serambi Mekah mulai bangkit. Banda Aceh dibanjiri
dengan berbagai bantuan dari mereka yang terusik hatinya di seluruh dunia. Ia
kembali melangkahkan kakinya ke tempat semula ia menimba ilmu. Bangunan 2
lantai yang masih berdiri kokoh itu menjadi saksi bisu ketika bumi
porak-poranda diguncang gempa dan dihantam gelombang raksasa. Ia kembali
belajar di sekolah itu meski hanya dengan berpakaian biasa dan menggunakan
fasilitas apa adanya.
Siapa yang menyangka! Ternyata ada kabar baik yang berhembus dari Lhokseumawe.
Mereka merekrut siswa korban Tsunami untuk dijadikan santri. Tsunami membawa
hikmah bagi mereka yang ditinggalkannya. Mendapat kesempatan emas untuk
menuntut ilmu gratis tidak sia-siakannya. Dukungan dari seorang teman dan restu
dari orang tuanya membuat hati anak kedua dari empat bersaudara ini bertambah
yakin untuk pindah.
Tanpa pemberitahuan resmi kepada pihak sekolah, ia berhijrah ke sekolah baru
yang pernah diimpikannya tempo dulu. Hal itu dilakukannya karena keesokan
harinya setelah mendapatkan kabar itu ia langsung berangkat. Keinginannya itu
hanya diketahui Fahmi, teman yang duduk di sebelahnya saat itu. Dari Fahmi lah
teman-teman sekelasnya tahu bahwa Ma’rif telah bertolak ke Kota Gas Arun
untuk menuntut ilmu.
5 jam perjalanan terasa melelahkan baginya. Terlebih lagi ini merupakan
perpisahan pertama dengan keluarga tercinta. Tetapi wajah- wajah baru di mobil
yang ditumpanginya membuat ia tidak merasa sendiri. Mereka juga
meninggalkan keluarga tercinta di kampung halaman karena tujuan yang sama
dengan Ma’rif. Perjalanan juga terasa singkat dengan adanya celetukan dan canda
tawa mereka. Tak dapat dipungkiri, bayang-bayang semu wajah sang Ibu dan Ayah
sulit untuk pudar dari ingatan mereka. Sudah tentu hal itu karena saat itu
mereka masih berumur 12-13 tahun.
Mobil yang ia tumpangi memasuki sebuah gang dan melewati sebuah pagar. Disana
sudah berdiri beberapa bangunan 2 lantai yang berbentuk letter L. Di tengahnya
terdapat lapangan voli dan lapangan bola kaki yang letaknya tidak berjauhan
dengan mesjid. Di mesjid itulah sekarang para santri sedang berkumpul.
Mengingat waktu Magrib begitu singkat, Ma’rif dan kawan-kawan yang baru sampai
langsung melaksanakan shalat. Setelah itu, mereka dipilah-pilah menjadi 2 orang
untuk menempati asrama yang telah disediakan.
Beradaptasi dengan suatu hal yang baru bukanlah sebuah proses yang singkat.
Begitulah yang dirasakan Ma’rif dan kawan-kawan saat pertama kali tiba disana.
Namun, para santri menyambutnya dengan ramah. Ia dikerubungi bagaikan artis
yang sedang diwawancarai oleh wartawan. Hari-hari yang ia lalui mulai terasa
menyenangkan. Teman-teman baru yang mudah akrab dan kebersamaannya membuat ia
betah. Waktu shalat, makan, mandi, dan tidur selalu dilakukan secara
bersama-sama. Meski harus bersabar dengan budaya antri, hidup banyak teman
terasa jauh dari sepi.
Kedisiplinan dalam mengatur waktu dan peraturan yang ketat merupakan ciri khas
pondok pesantren. Layaknya hukum rimba, “siapa yang kuat, ia yang bertahan.”
Satu persatu teman-temannya mulai hengkang dan kabur dari penjara suci itu
untuk kembali ke kampung halaman. Sebagian dari mereka ada juga yang tak kuasa
menahan kerinduannya kepada Ayah dan Ibu mereka.
Lain halnya dengan Ma’rif, ia memegang perkataan ayahnya. “ Kalau kamu pulang
sebelum berhasil, kamu tidak boleh pulang ke rumah,” kata ayahnya tegas dalam
bahasa Aceh. Oleh karena itu, ia tidak mau ikut-ikutan. Berbakti kepada
orangtua merupakan akhlak yang mulia, kalimat itu yang pernah diajarkan
gurunya.
Belajar selama sekitar 8 bulan di Pesantren Muhammadiyah Ihyaa Ussunnah terasa
cukup bagi kedua orang tuanya. Kemudian ia kembali ke kampung halaman dan
menyambung sisa kelas 3 nya di MTsN Montasik, Aceh Besar. Faktor ekonomi dan
tempat yang jauh menjadi alasan utama ayahnya untuk memindahkannya. Dengan
pindahnya ke MTsN Montasik, orangtuanya bisa mengunjunginya tiap seminggu
sekali dari tempat asalnya, Tanjung Selamat. Ia tinggal di asrama bersama
teman-teman yang mayoritas mereka adalah anak yatim/piatu korban Tsunami yang
berasal dari bagian Barat Aceh. Hanya sekolah saja di luar. Di asrama Ia
mendapat pelajaran agama tambahan seperti di Dayah. Beberapa bulan tinggal
disana Ia juga pernah mendapat rangking 1 dan memperoleh penghargaan dari
Ustadznya.
Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Akhirnya Ia mengikuti Ujian Akhir
Nasional (UAN) dan mendapatkan ijazah disana. Beberapa bulan sempat
nyantri membuat ia rindu kembali dengan kehidupannya pratsunami. Ia ingin
kembali merasakan sekolah di tempat biasa. Tidak ada asrama, tidak ada antrian,
dan tidak jauh dari keluarga. Namun, orangtua tetap ingin dia menjadi santri.
Karena tidak ingin membuat hati Ibu dan Ayahnya kecewa, ia melanjutkan ke
Pesantren Al-Fauzul Kabir. Di pesantren itu akhirnya Ia menghabiskan masa-masa
indah ketika beranjak dewasa.
Berbekal dari sedikit ilmu dan pengalaman yang diperolehnya dari 2 pesantren
sebelumnya membuat ia mudah beradaptasi. Rangking 3 dan 2 yang diraihnya di
kelas I Madrasah Aliyah Swasta (MAS) merupakan bukti bahwa ia mampu bersaing
dengan santri lainnya. Hanya 3 tahun ia mengenyam pendidikan di Kota Jantho
itu. Namun tak sedikit kenangan yang terukir dalam memorinya. Tidak akan lama
lagi ia beranjak pergi menuju tempat yang lebih tinggi. Waktu yang tersisa
semakin singkat. Ia berhasrat meninggalkan tanah kelahirannya berburu ilmu di
negeri orang.
Sepulangnya ke rumah ketika liburan tiba, ia menyatakan maksud hatinya kepada
sang Ibu. Ibu mendengarkan tutur katanya dengan antusias. Perasaan senang
muncul dari wajah ibunya. “Nak, Ibu juga ingin melihat anak Ibu ke luar negeri
seperti anak orang lain,” kata Ibunya sambil tersenyum. Kemudian Ibunya
menceritakan suatu kisah tentang seorang yang taat dan sholeh hidup bahagia di
perantauan. Sampai lelaki sholeh itu meninggal, tak ada hati seorang pun yang
tergores akibat ulahnya. Akan tetapi istrinya bermimpi bahwa suaminya sedang
disiksa dalam neraka.
Tak sanggup menahan risau dan gelisah, ia mengadukan mimipinya itu kepada orang
alim. Orang alim tersebut menafsirkan, “ada satu orang yang menderita dalam
kesusahan yang ia lupakan. Sementara ia hidup bahagia di negeri ini.” Mendengar
penjelasan sang ulama, istrinya pun mencari tahu tentang orang yang dimaksud.
Ternyata benar, seorang wanita yang merupakan adik dari lelaki sholeh itu hidup
dalam kesusahan. Kemudian istrinya memberikan harta yang ditinggalkan suaminya
untuk mengurangi beban penderitaan wanita itu. Malam itu dia bermimpi kembali
tentang suaminya, namun keadaannya sudah berubah. Tidak ada siksaan lagi, yang
ada hanya senyum bahagia yang terpancar dari wajah suaminya.
Usai bercerita, ibunya tidak menjelaskan maksud dan hubungannya dengan impian
anaknya yang ingin kuliah di luar negeri. Ma’rif menyimpulkan sendiri tujuan
dari cerita ibunya. “Sepertinya, kali ini ibuku ingin Aku kembali ke rumah dan
melanjutkan kuliah di tanah kelahiranku,” serunya dalam hati. Perasaan bimbang
dan ragu sudah mulai merasuk ke dalam kalbu dan pikirannya. Ingin menjadi salah
satu mahasiswa Al-Azhar, Kairo, sedikit memudar. Hari-hari penentuan sudah
semakin dekat.
Formulir dari beberapa Universitas luar daerah mulai berdatangan. Tawaran dari
Kepala Sekolah untuk kuliah di luar juga sudah diberikan. Ia masih membisu
tidak memberikan jawaban pasti. Padahal kesempatan emas itu hanya dtujukan
kepada mereka yang dianggap layak untuk mendapatkannya. “Kamu mau kuliah
dimana?” tanya Pak Kepala Sekolah. Ia menjawab,”Saya mau lanjut ke IAIN
ustadz.” Sambil tersenyum sedikit merendahkan Kepala Sekolah itu berkata lagi,”
IAIN itu pilihan terakhir, bukan yang pertama!” Ma’rif hanya terdiam tidak
terlalu menghiraukannya.
Menentukan sebuah keputusan diantara dua pilihan memang terasa berat dan sulit.
Karena itu menyangkut masa depannya. Hanya ada satu jalan untuk meluruskan
keraguan ini. “Wasta’iinu bis shobri was sholah...,” teringat pelajaran yang
diajarkan ustadznya. Ya! Shalat Istikharah lah penyelesaian akhirnya. Kemudian
ia melakukan shalat itu ketika malam benar-benar sunyi. Ia benar-benar
mengharapkan jawaban yang tepat. Segala uneg-unegnya ditumpahkan dalam do’anya
yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam.
Selang beberapa malam, ia bermimpi pulang ke rumah dalam suasana yang
menyenangkan bersama keluarga tercinta. Mimpi itu kembali teringat ketika ia
sedang duduk termenung sendiri. “Berarti Aku harus kuliah disini sambil
membantu orang tua mencari rezeki,” tafsirnya sendiri. Kemudian Ia melupakan S1
di luar negeri.” S2 nanti kamu kan masih punya kesempatan untuk kuliah di luar
negeri,” ucapan ibunya kembali terngiang dalam benaknya.
Sekarang lelaki berkulit agak terang itu sudah beranjak ke semester 6 kuliah di
IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) di
Fakultas Dakwah yang dipilihnya terinspirasi dari seorang dosen, Pak Yusri
panggilannya. Ketika musibah tsunami beberapa tahun silam, ia sempat mengungsi
di rumah Pak Yusri, di Blang Bintang. Melihat tingkah lakunya yang ramah dan
keaktifannya bergaul dengan orang asing membuat orang lain kagum. Ibunya pun
menyarankan Ma’rif mengikuti jejak dosennya yang mempunyai kembaran itu.
Tidak lama lagi masa yang tersisa di S1. Kini dengan segenap kemampuan yang
dimilikinya, ia kembali berusaha membangkitkan impian yang sempat terkubur di
masa sekolahnya. Do’a yang ia harapkan dari ibunya sangat besar. Berbakti
kepada orang tua menjadi nomor satu baginya di bandingkan mewujudkan impian
sendiri. Pilihan terakhirnya itu semoga menjadi keputusan yang baik bagi masa
depannya. Amin.....
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar