Oleh : Rahmatul Akbar
Hari kamis pukul
10.15 Wib, di desa Lamnga bertambah seorang penduduknya lagi. Tepat di tanggal
4 Oktober 1990 di sebuah gubuk yang sederhana, bayi berjenis kelamin laki-laki
itu lahir dengan selamat setelah perjuangan seorang wanita separuh baya
yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk hadirnya bayi mungil tersebut. Setelah
bayi tersebut di bersihkan oleh seorang bidan desa, tiba – tiba seorang pria
mengambil bayi tersebut dan mengumandangkan azan di telinga kanan bayi tersebut
dan iqamah di telinga kirinya. Pria itu adalah ayah kandung dari bayi
tersebut, Saridin Harun namanya. Ia menggendong bayi mungil tersebut
dengan penuh kegembiraan dan kesenangan. Ia begitu besyukur karena bayi dan
istrinya selamat dengan sehat tanpa kurang sedikit pun.
Bayi tersebut di beri nama
Rahmatul Akbar yang artinya rahmat yang sangat besar. Nama bayi tersebut di
ambil dari bahasa arab karena semua nama keluarganya di ambil dari bahasa arab.
Bayi mungil tersebut di besarkan dengan kasih sayang seorang ibu yang dengan
tulus di curahkan kepada bayinya itu. Dia di besar kan di dalam lingkungan
keluarganya yang selalu menyayanginya karena dia menjadi anak bungsu dari empat
bersaudara. Dan ia tumbuh dalam lingkungan yang sangat baik dan taat beragama.
Desa lamnga menjadi tempat ia tumbuh dan berkembang. Walaupun ia berasal dari
daerah pesisir, namun ia tidak bisa berenang seperti layaknya anak pesisir. Itu
menjadi salah satu kelemahan dia.
Lambat laun bayi tersebut tumbuh
dan berkembang menjadi seorang anak kecil dan ia pun masuk sekolah dasar (SD)
di desa tempat ia di lahirkan. Sebelum masuk SD anak kecil ini lebih dulu
di masukkan ke taman kanak-kanak (TK) oleh orang tuanya. Ia menjadi anak
yang suka bergaul dengan semua temannya. Dia rupanya punya hobi yang besar terhadap
permainan bola kaki, bahkan ia bercita-cita ingin menjadi pemain bola hebat di
waktu besar nanti dan bisa mengharumkan nama daerah nya. Dan ingin mengangkat
piala di depan orang banyak.
Hari terus berganti, Tahun pun
terus berputar. Tanpa di sadari anak kecil ini sudah tamat SD. Tapi ia bingung
mau melanjutkan kemana pendidikannya. Namun karena kakak dan abangnya tamatan
pesantren, maka si bungsu ini tidak mau kalah dengan saudara-saudara
kandungnya. Ia pun ingin masuk ke pesantren seperti saudara kandungnya itu. Ia
memilih salah satu pesantren terpadu yang ada di Banda Aceh. Karena abangnya
alumni pesantren Darul Ulum, maka ia berprinsip untuk tidak masuk pesantren
yang sama dengan tempat abangnya dulu pernah belajar. Ia lebih memilih pesantren
Inshafuddin di Lambaro skep.
Tahun 2003 menjadi catatan untuk
si bungsu bahwa ia mulai masuk pesantren di tahun itu, tepat di tanggal
16 Agustus ia tercatat sebagai santriwan di pesantren tersebut. Ia pun mulai
menjalani hari-harinya sebagai seorang santri. Ia mulai sadar, rupanya hidup di
pesantren itu tidak jauh berbeda dengan di penjara. Tapi di pesantren itu
bukanlah tempat orang yang telah berbuat salah melainkan tempat untuk di didik
orang-orang untuk tidak berbuat salah dan bisa bermanfaat untuk orang lain,
sedangkan di penjara tempat orang yang sudah berbuat salah yang di didik untuk
tidak berbuat salah lagi. Cuma itu salah satu perbedaan antara pesantren dan
penjara.
Si bungsu ini harus terbiasa
dengan peraturan yang ada yang semuanya di atur mulai dari bangun tidur sampai
tidur kembali. Semuanya itu di atur oleh aturan yang telah di buat oleh
pesantren. Dia tidak bisa protes kecuali harus mengikuti semua peraturan yang
ada tersebut. Si bungsu ini hampir menyerah karena ketatnya peraturan yang ada
dan juga pesantrennya menjadi korban dahsyatnya Tsunami di hari minggu itu.
namun ia tidak mau menyerah dengan keadaan yang ada walaupun pesantrennya
di porak-porandakan oleh tsunami, ia tetap untuk tidak akan pindah dari
pesantren. Ia masih teringat dengan tekatnya dulu waktu masuk pesantren yaitu
harus bisa berada di pesantren selama 6 tahun karena saudaranya dulu semuanya 6
tahun tinggal di pesantren. Si bungsu ini tidak mau kalah dengan
saudara-saudaranya itu. Ia pun tetap bersabar karena dengan bersabar semuanya
akan ada jalan keluar.
Semua kegiatan di pesantren
lumpuh, yang ada di pesantren hanya sampah bekas tumpukan tsunami dan juga
mayat-mayat cucu Adam. Kami di izinkan pulang ke kampung masing-masing untuk
sementara waktu. Namun yang ada di pikiran si bungsu waktu itu hanya satu,
yaitu “ apakah kedua orang tuanya masih hidup? Karena berita yang ia dapat
bahwa semua di daerah pesisir aceh di landa tsunami. Baru di hari ke 3 tsunami
ia mendapat kabar gembira bahwa keluarganya selamat semua. Karena mereka
sempat lari di waktu tsunami tersebut dan mereka semua selamat di rumah yang
dua lantai.
2 bulan tsunami berlalu. Si
bungsu kembali lagi ke pesantren untuk melanjutkan tekatnya untuk menyelesaikan
sekolahnya di pesantren itu. Namun suasana mulai berbeda dari yang sebelum
tsunami dulu kelas si bungsu santrinya hampir 50 orang dalam satu kelas, tetapi
setelah tsunami hanya ada 6 orang satu kelas. Itu pun kelasnya di belah dua.
Yang hanya triplek tipis sebagai pembatas sedangkan suara tanpa ada batasannya.
Walaupun hanya enam orang dalam satu kelas, namun si bungsu tetap yakin
sekolahnya bisa kembali di bangun bahkan lebih bagus dari yang sebelum tsunami.
Waktu terus berputar tanpa ada
yang bisa menghentikan kecuali kuasa-Nya. Si bungsu pun tamat sekolah menengah
pertama (SMP) walaupun bangunan sekolahnya cacat. Ia pun bertekat untuk
melanjutkan SMU nya di pesantren tersebut. Cuma modal kesabaran yang si bungsu
pegang. Ia terus mengikuti arus waktu dengan baik. Setelah 1 tahun tsunami,
pesantren si bungsu mendapat bantuan dari Swiss Red Cross untuk membangun
kembali pesantren tersebut. 3 tahun berlalu pesantren si bungsu berdiri kembali
kokoh dan tegak dengan tiga lantai. Semua fasilitas di beri dan di sediakan.
Bahkan lebih mewah dari yang sebelum tsunami. Mungkin itulah buah dari hasil
kesabaran si bungsu dan kawan kawannya selama itu. Walau pun si bungsu hanya
menikmati 6 bulan fasilitas yang ada namun ia tetap senang, karena adik-adik di
bawahnya bisa merasakan kemewahan itu lebih lama lagi.
Setelah tamat dari
pesantren, ia pun masuk ke salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh. Ia
memperoleh undangan bebas seleksi dari perguruan tinggi tersebut. Kini ia
menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Perguruan tinggi itu adalah
IAIN Ar-Raniry dan si bungsu masuk di fakultas Dakwah jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam(KPI), kini ia sudah semester VI. Sekarang ia tidak lagi
mempunyai cita-cita ingin jadi pemain bola yang hebat. Tapi sepak bola tetap
ada dalam darahnya walaupun orang lain menganggap ia bodoh karena ia pernah
tidak masuk kuliah karena ingin main bola. Sekarang Ia ingin memandang
kedepan untuk lebih baik. Dan ia ingin lebih bermanfaat kepada orang lain dan
bisa menghajikan kedua orang tuanya. Karena haji menjadi mimpi orang tuanya.
Dan ia harus mampu mewujudkan mimpi orang tuanya itu. Karena mewujudkan mimpi
orang tua juga merupakan salah satu jalan untuk bisa membahagiakan
mereka.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar