Dari kejauhan, tampak seorang
anak laki-laki berbadan kecil asyik mondar-mandir memindahan buku dari rak ke
mejanya, dan menaruhnya kembali seraya mengambil buku lain di perpustakaan
kampus. Entah apa yang sedang ia cari. Hampir tiap hari ia di sana, sendirian,
tanpa peduli apapun pada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Ia adalah
Zuhri, salah seorang mahasiswa Komunikasi & Penyiaran Islam (KPI) di IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh, yang sekarang telah mengenyam semester VI.
Kemantapannya
untuk mengejar gelar sarjana memang tak diragukan lagi. Hal ini terbukti dengan
hasil nilai yang ia peroleh persemesternya. Bahkan tak hanya sampai di situ,
dalam hatinya ia juga berambisi untuk melajutkan pendidikanya ke jenjang yang
lebih tinggi, jika nanti perkuliahannya yang sedang ia jalani saat ini usai.
Tapi ia bingung, mau peroleh biaya dari mana untuk itu. Apalagi ayahnya yang
tidak lama lagi akan memasuki masa pensiun, dan adiknya yang saat ini masih
kelas 3 SMA sebentar lagi juga akan berkuliah.
“Kamu
sekarang, fokus saja dulu sama kuliah mu. Nantik kalau kuliah mu usai, baru
kerja. Ayah tidak ingin nanti kamu memperoleh nilai jelek, jika kuliah sambil
bekerja. Ayah masih sanggup mengulihkan mu untuk jadi sarjana, tapi kalau kamu
mau ambil S2 nanti, itu baru ayah tidak bisa pastikan apakah ayah sanggup
membiyai mu atau tidak.” Ucap ayahnya. Keinginannya untuk bekerja sambil kuliah
terpaksa kembali ia urungkan, ia tak ingin membantah amanah dari sang ayah.
Walau di satu sisi, ia telah berniat mengumpulkan uang untuk biaya perkuliahannya
nanti.
Ia
sangat ingin membahagiakan kedua orang tuanya, selagi mereka masih berada di
antaranya. Bahkan setiap shalat ia memanjatkan do’a dan mengutarakan niatnya
kepada sang penguasa. Ia bertekad suatu saat nanti ingin menaikkan haji kedua
orang tuanya itu. Jika nanti telah memiliki pekerjaan, dan memiliki uang yang
cukup. Namun saat ini, rasa terimakasih yang dalam kepada kedua orang tuanya
itu, hanya mampu ia utarakan dalam bentuk prestasi yang dapat ia peroleh,
dengan pengharapan dapat membentuk ukiran senyum kebahagian di raut wajah kedua
orang tuanya.
Satu
semester telah berlalu, masa liburan kinipun tiba. Ia segera bergegas mengemas
barang-barangnya untuk pulang ke Labuhanhaji kampung halamannya, untuk membantu
ayahnya bekerja di gunung. Sang ayah di samping berprofesi sebagai guru, ia
juga bekerja di gunung sebagai petani pala demi mencari uang tambahan. Namun
kejadian beberapa bulan lalu, membuat ayahnya takut untuk pergi sendirian ke
gunung. Karena ada warga desa yang diterkam harimau di saat pergi ke gunung.
Setibanya
di kampung, Zuhri mengambil waktu dua hari untuk beristirahat agar kondisi
tubuhnya kembali fit untuk mendaki gunung. Dua haripun berlalu, ia dan sang
ayah akhirnya berangkat ke gunung dengan dibekali nasi bungkus ala ibundanya
tercinta. Setibanya di sana, terlihat kulit buah pala berserakan di mana-mana,
ternyata pohon palanya telah duluan dicuri orang. Perjalanan jauhnya mendaki
gunung ternyata harus ia terima dengan kondisi pala yang telah dicuri orang.
Tak ingin terlalu pusing memikirkan itu, ia pun mengambil parang dan
membersihkan semak-semak di areal lahan gunungnya itu.
Haripun
berkisah sore, ia dan sang ayah akhirnya memutuskan untuk pulang. Disela-sela
perjalanan pulang, Zuhri tergoda melihat aliran air pegunungan yang sejuk, ia
pun akhirnya tertarik untuk mandi dan kemudian shalat. Lokasi gunung yang tak
pasti membuatnya bingung untuk memastikan kemana arah kiblat. Akhirnya ia
menghadap kemana yang ia sukai.
Hari
semakin gelap, ia bergegas pulang sebelum hari ditutupi malam. Jalan pembatang
sawah yang sangat kecil, sesekali membuatnya terjungkal ke dalam sawah. Setelah
pejuangan panjang melintasi pembatang sawah ia lintasi, akhirnya ia pun tiba di
rumah. Sang ibu yang telah lama menunggu telah menyiapkan santapan pisang molen
dan secangkir teh hangat untuknya. Begitulah kecintaan sang ibu ini kepada anak
yang saat ini ia harap-harapkan itu.
“Kring...,
Kring..., Kring...,” Handphone Zuhri berdetang keras, Ismunandar teman lamannya
mengajaknya keluar di malam itu. “Kemana kita rencana malam ini Is?” tanya
Zuhri gamblang. “Main Play Station gimana? Kali ini aku ingin
kalahkan kamu,” ujar Ismunandar yakin. Tawaran itupun diterima baik oleh Zuhri.
Dari dulu Ismunandar tidak pernah menang melawan permainan Zuhri.
Tak
lama, waktu permainan mereka pun berakhir. Ismunandar kali ini masih saja
kalah. “Aku nyerah dech...,” ucap Ismunandar malu. Zuhri dan Ismunandar
akhirnya menghentikan permainanya dan berniat menuju pos ronda untuk gabung
dengan pemuda di desanya. Dalam perjalanannya menuju pos ronda, ia bertemu
Hendra dan Jufri yang saat itu sedang membeli minyak tanah di kios Cut Dan.
Hendra dan Jufri merupakan teman Zuhri semasa SMA dulu, tapi sekarang mereka
kuliah di tempat yang berbeda. Hendra kuliah di Universitas Sumatera Utara,
Medan dan Jufri di Universitas Malikul Saleh, Lhoksumawe. Musim libur kali ini
akhirnya mempertemukan mereka kembali setelah setahun lamanya mereka tidak
pernah bertemu.
“Ndra...
Jefri... mau kemana kalian..??” sapa Zuhri ramah. Hendra dan Jefri terpelongok
kaget, melihat Zuhri teman SMA-nya itu tiba-tiba nongol di depan mereka yang
sedang sibuk mengisi minyak ke dalam obor. “Eh... Kapan pulangnya kamu sob??”,
“kami mau ke Lhosaya ni, gunungnya si Hendra lagi musim durian sekarang. Ikut
yok??.” Ajak Jefri dan Hendra penuh harap. “Baiklah, tapi aku pulang dulu ya,
minta izin sama orang rumah, sekalian mau ambil parang.” Jawab Zuhri merespon.
Tak
berapa lama Zuhri kembali, dan merekapun akhirnya berangkat. Setibanya di sana,
ternyata sepupunya si Hendra, si Brams dan Said sudah duluan berada di sana
sedang asyik bermain domino. Sesaat mereka bangun dan saling bersalaman sebagai
tanda keramah-tamahan. Zuhri dan Jefri juga memilih ikut main bersama mereka
untuk menghilangkan suntuk. Sedangkan Ismunandar dan Hendra, mereka memilih memainkan
gitar dan bernyanyi sambil menunggu buah durian jatuh.
Sekitar
sejam berlalu, Zuhri dan teman-temannya terperanjat kaget. Masyarakat desa,
yang tinggalnya agak sedikit dekat dengan pegunungan, rame-rame mengepung Zuhri
dan teman-temannya dan kemudian memeriksa segala barang bawaan mereka. Di
antara masyarakat menyita domino dan gitar mereka. Hendra sang pemilik gunung
bangun dan bertanya kepada salah seorang masyarakat, “Ada apa Pak?”, Kenapa
gitar dan permainan domino kami diambil?”. “Itu sudah menjadi aturan kami di
sini, tidak boleh membawa barang-barang yang begituan, jadi siapapun yang
kesini harus mengikuti itu semua,” tegas salah seorang masyarakat,
yang kelihatannya memimpin gerombongan itu.
Malam
pun akhirnya berlalu sunyi bagi Zuhri dan teman-temannya, tak ada musik dan
permainan yang dapat di mainkan untuk membelah kesunyian di malam itu. “Brams,
tolong cuci semua peralatan masak dan makan kita,” ucap Hendra kepada salah
seorang sepupunya itu. “Tadi baru saja kami cuci di rumah sebelum ke sini, jadi
ngapain dicuci lagi?” jelas Brams sambil bertanya. “Daerah ini berbahaya, kalau
tidak kita cuci lagi nanti bisa-bisa kita kenak tubo, karena kita tidak tahu
apakah masyarakat tadi orang baik-baik atau tidak. Dan mungkin saja di antara
mereka ada yang menaruhnya di peralatan dan makanan kita, namanya juga ilmu
setan,” jelas Hendra agak sedikit panjang.
Perlahan-lahan
Zuhri mendekati Hendra yang masih menggerutu dengan kejadian tadi, seraya ingi
tahu lebih banyak. “Ndra tubo itu apa sih?” tanya Zuhri bingung. “Tubo
merupakan sejenis racun yang dapat mematikan bagi manusia, dan biasanya ditaruh
dalam makanan dan minuman dengan sedikit jampe-jampe. Ilmu ini merupakan ilmu
yang secara turun temurun diwariskan sang pemiliknya kepada salah seorang
keluarganya, bisa itu kepada anaknya, atau cucunya. Dan jika tidak diwariskan,
sang pemilik ilmu tidak bisa meninggal sebelum ilmu ini diwariskan,” Hendra
mencoba menjelaskan kepada Zuhri sedetail mungkin.
Tiba-tiba
dari arah gunung yang berada di atas pegunungan tempat Zuhri dan teman-temannya
menghuni durian, tampak dua orang remaja berlarian kencang. Zuhri dan
teman-temannya pun serentak kaget dan kemudian menegur mereka seraya bertanya.
“Ada apa...??” tanya Hendra yang sepertinya mengenal sosok kedua remaja itu.
“kami tadi baru saja dari atas sana, tapi tiba-tiba saja pelita yang kami
gunakan ini mati sendirian, padahal angin tidak ada, minyak masih ada, kan
aneh, kami rasa itu pertanda buruk, yang bahwa harimau ada di sini,” jawab
mereka sambil terengah-engah dan melanjutkan larinya. Zuhri dan teman-temannya
pun mulai merinding ketakutan, sesaat setelah itu mereka pun saling bergegas
memilih tempat tidur yang berada di tengah-tengah sambil bersenda gurau. Zuhri
yang saat itu kalah cepat memilih tempat yang berada di tengah, hanya bisa
pasrah saja untuk tidur di tepi.
Ketika
teman-temannya telah tertidur pulas semua, Zuhri bangun dan menggeser Si Jefri
yang berada di tengah, agar dia kebagian tempat di tengah. Ternyata dari tadi
Zuhri belum juga tidur, posisinya yang saat itu berada di tepi membuatnya
was-was, matanya bergerak liar ke kiri dan ke kanan mengontrol apakah ada
sesuatu yang janggal. Tapi saat ini ia merasa lega, karena telah berada di
tengah.
Mata
cina yang terus semakin mengecil membuat Zuhri tertidur pulas hingga pagi
menyonsong. Dinginnya cuaca pagi membuat Zuhri tersentak bangun, ia langsung
menuju aliran air di dekat jambo untuk mencuci wajah dan kemudian membangunkan
teman-temannya. Sambil menunggu teman-temannya mencuci wajah, ia mencoba
memungut buah durian yang jatuh sejak tadi malam, yang belum sempat mereka
ambil. Hendra, teman Zuhri sang pemilik durian, akhirnya membagikan kepada
Zuhri dan teman-temannya buah durian secara sama rata. Mereka pun akhirnya
pulang kerumah masing-masing dengan membawa durian.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar