Liburan Yang Mengesankan

0 komentar


            Oleh : Azzuhri
         Dari kejauhan, tampak seorang anak laki-laki berbadan kecil asyik mondar-mandir memindahan buku dari rak ke mejanya, dan menaruhnya kembali seraya mengambil buku lain di perpustakaan kampus. Entah apa yang sedang ia cari. Hampir tiap hari ia di sana, sendirian, tanpa peduli apapun pada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Ia adalah Zuhri, salah seorang mahasiswa Komunikasi & Penyiaran Islam (KPI) di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang sekarang telah mengenyam semester VI.

            Kemantapannya untuk mengejar gelar sarjana memang tak diragukan lagi. Hal ini terbukti dengan hasil nilai yang ia peroleh persemesternya. Bahkan tak hanya sampai di situ, dalam hatinya ia juga berambisi untuk melajutkan pendidikanya ke jenjang yang lebih tinggi, jika nanti perkuliahannya yang sedang ia jalani saat ini usai. Tapi ia bingung, mau peroleh biaya dari mana untuk itu. Apalagi ayahnya yang tidak lama lagi akan memasuki masa pensiun, dan adiknya yang saat ini masih kelas 3 SMA sebentar lagi juga akan berkuliah.

            “Kamu sekarang, fokus saja dulu sama kuliah mu. Nantik kalau kuliah mu usai, baru kerja. Ayah tidak ingin nanti kamu memperoleh nilai jelek, jika kuliah sambil bekerja. Ayah masih sanggup mengulihkan mu untuk jadi sarjana, tapi kalau kamu mau ambil S2 nanti, itu baru ayah tidak bisa pastikan apakah ayah sanggup membiyai mu atau tidak.” Ucap ayahnya. Keinginannya untuk bekerja sambil kuliah terpaksa kembali ia urungkan, ia tak ingin membantah amanah dari sang ayah. Walau di satu sisi, ia telah berniat mengumpulkan uang untuk biaya perkuliahannya nanti.

            Ia sangat ingin membahagiakan kedua orang tuanya, selagi mereka masih berada di antaranya. Bahkan setiap shalat ia memanjatkan do’a dan mengutarakan niatnya kepada sang penguasa. Ia bertekad suatu saat nanti ingin menaikkan haji kedua orang tuanya itu. Jika nanti telah memiliki pekerjaan, dan memiliki uang yang cukup. Namun saat ini, rasa terimakasih yang dalam kepada kedua orang tuanya itu, hanya mampu ia utarakan dalam bentuk prestasi yang dapat ia peroleh, dengan pengharapan dapat membentuk ukiran senyum kebahagian di raut wajah kedua orang tuanya.

            Satu semester telah berlalu, masa liburan kinipun tiba. Ia segera bergegas mengemas barang-barangnya untuk pulang ke Labuhanhaji kampung halamannya, untuk membantu ayahnya bekerja di gunung. Sang ayah di samping berprofesi sebagai guru, ia juga bekerja di gunung sebagai petani pala demi mencari uang tambahan. Namun kejadian beberapa bulan lalu, membuat ayahnya takut untuk pergi sendirian ke gunung. Karena ada warga desa yang diterkam harimau di saat pergi ke gunung.

            Setibanya di kampung, Zuhri mengambil waktu dua hari untuk beristirahat agar kondisi tubuhnya kembali fit untuk mendaki gunung. Dua haripun berlalu, ia dan sang ayah akhirnya berangkat ke gunung dengan dibekali nasi bungkus ala ibundanya tercinta. Setibanya di sana, terlihat kulit buah pala berserakan di mana-mana, ternyata pohon palanya telah duluan dicuri orang. Perjalanan jauhnya mendaki gunung ternyata harus ia terima dengan kondisi pala yang telah dicuri orang. Tak ingin terlalu pusing memikirkan itu, ia pun mengambil parang dan membersihkan semak-semak di areal lahan gunungnya itu.

            Haripun berkisah sore, ia dan sang ayah akhirnya memutuskan untuk pulang. Disela-sela perjalanan pulang, Zuhri tergoda melihat aliran air pegunungan yang sejuk, ia pun akhirnya tertarik untuk mandi dan kemudian shalat. Lokasi gunung yang tak pasti membuatnya bingung untuk memastikan kemana arah kiblat. Akhirnya ia menghadap kemana yang ia sukai.

            Hari semakin gelap, ia bergegas pulang sebelum hari ditutupi malam. Jalan pembatang sawah yang sangat kecil, sesekali membuatnya terjungkal ke dalam sawah. Setelah pejuangan panjang melintasi pembatang sawah ia lintasi, akhirnya ia pun tiba di rumah. Sang ibu yang telah lama menunggu telah menyiapkan santapan pisang molen dan secangkir teh hangat untuknya. Begitulah kecintaan sang ibu ini kepada anak yang saat ini ia harap-harapkan itu.
            “Kring..., Kring..., Kring...,” Handphone Zuhri berdetang keras, Ismunandar teman lamannya mengajaknya keluar di malam itu. “Kemana kita rencana malam ini Is?” tanya Zuhri gamblang. “Main Play Station gimana? Kali ini aku ingin kalahkan kamu,” ujar Ismunandar yakin. Tawaran itupun diterima baik oleh Zuhri. Dari dulu Ismunandar tidak pernah menang melawan permainan Zuhri.

            Tak lama, waktu permainan mereka pun berakhir. Ismunandar kali ini masih saja kalah. “Aku nyerah dech...,” ucap Ismunandar malu. Zuhri dan Ismunandar akhirnya menghentikan permainanya dan berniat menuju pos ronda untuk gabung dengan pemuda di desanya. Dalam perjalanannya menuju pos ronda, ia bertemu Hendra dan Jufri yang saat itu sedang membeli minyak tanah di kios Cut Dan. Hendra dan Jufri merupakan teman Zuhri semasa SMA dulu, tapi sekarang mereka kuliah di tempat yang berbeda. Hendra kuliah di Universitas Sumatera Utara, Medan dan Jufri di Universitas Malikul Saleh, Lhoksumawe. Musim libur kali ini akhirnya mempertemukan mereka kembali setelah setahun lamanya mereka tidak pernah bertemu.

            “Ndra... Jefri... mau kemana kalian..??” sapa Zuhri ramah. Hendra dan Jefri terpelongok kaget, melihat Zuhri teman SMA-nya itu tiba-tiba nongol di depan mereka yang sedang sibuk mengisi minyak ke dalam obor. “Eh... Kapan pulangnya kamu sob??”, “kami mau ke Lhosaya ni, gunungnya si Hendra lagi musim durian sekarang. Ikut yok??.” Ajak Jefri dan Hendra penuh harap. “Baiklah, tapi aku pulang dulu ya, minta izin sama orang rumah, sekalian mau ambil parang.” Jawab Zuhri merespon.

            Tak berapa lama Zuhri kembali, dan merekapun akhirnya berangkat. Setibanya di sana, ternyata sepupunya si Hendra, si Brams dan Said sudah duluan berada di sana sedang asyik bermain domino. Sesaat mereka bangun dan saling bersalaman sebagai tanda keramah-tamahan. Zuhri dan Jefri juga memilih ikut main bersama mereka untuk menghilangkan suntuk. Sedangkan Ismunandar dan Hendra, mereka memilih memainkan gitar dan bernyanyi sambil menunggu buah durian jatuh.

            Sekitar sejam berlalu, Zuhri dan teman-temannya terperanjat kaget. Masyarakat desa, yang tinggalnya agak sedikit dekat dengan pegunungan, rame-rame mengepung Zuhri dan teman-temannya dan kemudian memeriksa segala barang bawaan mereka. Di antara masyarakat menyita domino dan gitar mereka. Hendra sang pemilik gunung bangun dan bertanya kepada salah seorang masyarakat, “Ada apa Pak?”, Kenapa gitar dan permainan domino kami diambil?”. “Itu sudah menjadi aturan kami di sini, tidak boleh membawa barang-barang yang begituan, jadi siapapun yang kesini harus mengikuti itu semua,” tegas  salah seorang masyarakat, yang kelihatannya memimpin gerombongan itu.

            Malam pun akhirnya berlalu sunyi bagi Zuhri dan teman-temannya, tak ada musik dan permainan yang dapat di mainkan untuk membelah kesunyian di malam itu. “Brams, tolong cuci semua peralatan masak dan makan kita,” ucap Hendra kepada salah seorang sepupunya itu. “Tadi baru saja kami cuci di rumah sebelum ke sini, jadi ngapain dicuci lagi?” jelas Brams sambil bertanya. “Daerah ini berbahaya, kalau tidak kita cuci lagi nanti bisa-bisa kita kenak tubo, karena kita tidak tahu apakah masyarakat tadi orang baik-baik atau tidak. Dan mungkin saja di antara mereka ada yang menaruhnya di peralatan dan makanan kita, namanya juga ilmu setan,” jelas Hendra agak sedikit panjang.

            Perlahan-lahan Zuhri mendekati Hendra yang masih menggerutu dengan kejadian tadi, seraya ingi tahu lebih banyak. “Ndra tubo itu apa sih?” tanya Zuhri bingung. “Tubo merupakan sejenis racun yang dapat mematikan bagi manusia, dan biasanya ditaruh dalam makanan dan minuman dengan sedikit jampe-jampe. Ilmu ini merupakan ilmu yang secara turun temurun diwariskan sang pemiliknya kepada salah seorang keluarganya, bisa itu kepada anaknya, atau cucunya. Dan jika tidak diwariskan, sang pemilik ilmu tidak bisa meninggal sebelum ilmu ini diwariskan,” Hendra mencoba menjelaskan kepada Zuhri sedetail mungkin.

            Tiba-tiba dari arah gunung yang berada di atas pegunungan tempat Zuhri dan teman-temannya menghuni durian, tampak dua orang remaja berlarian kencang. Zuhri dan teman-temannya pun serentak kaget dan kemudian menegur mereka seraya bertanya. “Ada apa...??” tanya Hendra yang sepertinya mengenal sosok kedua remaja itu. “kami tadi baru saja dari atas sana, tapi tiba-tiba saja pelita yang kami gunakan ini mati sendirian, padahal angin tidak ada, minyak masih ada, kan aneh, kami rasa itu pertanda buruk, yang bahwa harimau ada di sini,” jawab mereka sambil terengah-engah dan melanjutkan larinya. Zuhri dan teman-temannya pun mulai merinding ketakutan, sesaat setelah itu mereka pun saling bergegas memilih tempat tidur yang berada di tengah-tengah sambil bersenda gurau. Zuhri yang saat itu kalah cepat memilih tempat yang berada di tengah, hanya bisa pasrah saja untuk tidur di tepi.

            Ketika teman-temannya telah tertidur pulas semua, Zuhri bangun dan menggeser Si Jefri yang berada di tengah, agar dia kebagian tempat di tengah. Ternyata dari tadi Zuhri belum juga tidur, posisinya yang saat itu berada di tepi membuatnya was-was, matanya bergerak liar ke kiri dan ke kanan mengontrol apakah ada sesuatu yang janggal. Tapi saat ini ia merasa lega, karena telah berada di tengah.

            Mata cina yang terus semakin mengecil membuat Zuhri tertidur pulas hingga pagi menyonsong. Dinginnya cuaca pagi membuat Zuhri tersentak bangun, ia langsung menuju aliran air di dekat jambo untuk mencuci wajah dan kemudian membangunkan teman-temannya. Sambil menunggu teman-temannya mencuci wajah, ia mencoba memungut buah durian yang jatuh sejak tadi malam, yang belum sempat mereka ambil. Hendra, teman Zuhri sang pemilik durian, akhirnya membagikan kepada Zuhri dan teman-temannya buah durian secara sama rata. Mereka pun akhirnya pulang kerumah masing-masing dengan membawa durian.

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar