Ditulis oleh : Mikial Maulita
PERAWAKAN lembut, dengan tinggi semampai, sekitar 165 centimeter. Wajahnya telihat ceria ketika saya menjumpainya, akhir 2008 lalu. Mengenakan kacamata, perempuan asal Meraxa, Banda Aceh ini, sedang mengajar Bahasa Arab, bagi dua orang mahasiswa Komunikasi, IAIN Ar-Raniry. Dia bukanlah dosen, melainkan salah satu mahasiswa. Tak sampai setahun menempuh pendidikan di Bumi Serambi Mekkah, ia memperoleh beasiswa, untuk melanjutkan kuliah di Washeda University, Tokyo, Jepang.
Dari Negeri Sakura itu, lima Februari 2012 kemarin, dia melayangkan surat elektronik, berisi kisah ‘heroik’ nya, dalam memaknai musibah raya, tsunami. Dari Tokyo, Jepang, surat tersebut sebetulnya telah ditulis sejak Rabu, 13 Juli 2011 silam.
Berawal dari rasa kehilangan, perempuan ini mencoba bangkit, untuk mewujudkan mimpinya, yang dulu pernah ia gadangkan pada orang yang dia cintai. Berikut petikan lengkap suratnya. [redaksi acehkita.com]
***
Seorang anak perempuan tomboi akhirnya memilih belajar di pondok pesantren setelah menyelesaikan belajarnya di bangku Sekolah Dasar (SD). Ketika itu, semua orang dibuat terkejut oleh pilihannya. Bahkan, hampir semua teman-teman sekelasnya tidak percaya ia akan lulus di sekolah barunya itu. Tapi, sosok anak perempuan tomboi itu tak pernah menyurutkan niatnya untuk mengecap ilmu dis alah satu pondok pesantren terpadu di tanah kelahirannya.
Ia memilih pesantren Al-Falah Abu Lam U, sebagai tempat ia menimba ilmu. Walhasil ia pun diterima sebagai santri di sekolah barunya itu. Keluarga besar dan juga teman-temannya bangga akan hasil kerja keras dan kesungguhannya. Bahkan mereka juga menyempatkan waktu untuk mengantar ia ke rumah barunya, di suatu desa terpencil di Aceh Besar, yang dikelilingi oleh petakan sawah masyarakat sekitar. Tak ada yang tahu, kenapa ia memilih daerah terpencil itu sebagai tempat ia menuntut ilmu. Perempuan tomboi itu adalah saya, Mikial Maulita, si penulis surat ini.
Tapi, kehidupan pesantren yang dipenuhi dengan seribuan disiplin membuat saya tidak betah berlama-lama menetap di situ. Bahkan saya juga meminta izin kepada orang tua untuk meninggalkan pondok itu. Tapi ayah dan ibu selalu mengingatkan saya dengan seribuan harapan, yang menjanjikan kesuksesan agar saya tetap bertahan untuk menjadi seorang santri. Saya pun menurutinya, walau terkadang saya kembali merayu mereka agar mengizinkan saya untuk pindah. Akan tetapi, lagi-lagi saya gagal, dan mendengarkan segala nasehat yang disampaikan sang ayah – Almarhum Saulida.
Tak terasa, sudah hampir tiga tahun saya menuntut ilmu di sekolah pilihan saya itu Sebentar lagi, saya akan menyelesaikan belajar di bangku SMP. Lamanya waktu berjalan ternyata tidak pernah membuat saya lupa akan niat untuk meninggalkan jati diriku sebagai santri. Ketika ayah dan ibu berkunjung ke pesantren, saya kembali mengatakan keinginan yang dulu untuk meninggalkan pondok dengan alasan yang berbeda. Saya tidak lagi mengatakan tidak betah berlama-lama hidup terkurung di pesantren, tapi saya hanya bilang, “Adik ingin merasakan pengalaman yang berbeda di luar sana,” begitu kata saya.
“Ayah mau adik tetap sekolah dan belajar di pesantren ini. Insya Allah ika tiba waktunya, adik akan merasakan pengalaman yang jauh lebih berharga dari pada yang adik harapkan saat ini. Ayah mau adik menyelesaikan sekolah di pondok ini hingga wisuda nanti,” begitu kata ayah. Saya hanya terdiam saat ayah berkata seperti itu, tidak sempat pun saya meng-iyakan amanahnya. Akhirnya saya hanya menyalami tangan kedua orang tua saya sebelum mereka berpamitan.
Seminggu setelah ayah dan ibu berkunjung ke pondok, tanah kelahiran saya, Aceh, dilanda musibah gempa dan tsunami. Bumipun bergoncang pagi itu, tidak ada yang menduga bahwa air laut akan memporak-porandakan sebagian isi kota serta menghilangkan ratusan ribu jiwa. Namun, setelah Ustadzah Aan, salah seorang guru menyampaikan kabar duka bahwa tsunami melanda tanah kelahiran saya, saya hanya bisa berdoa dan berharap agar ayah dan ibu baik-baik saja, dan selalu berada di bawah lindungan Allah. Hingga waktu berganti sore, tak ada kabar apapun tentang mereka. Yang datang saat itu adalah kabar duka untuk beberapa teman saya yang kehilangan orang tuanya pascamusibah tersebut. Saya berusaha menghibur dan memotivasi sang teman di saat perasaan dan pikiran saya sendiri yang tak tenang memikirkan kesalamatan orang tua saya.
Akhirnya haripun berganti, namun belum juga ada kabar tentang mereka. Tiba-tiba dari kejauhan asrama putri, saya melihat seorang sosok yang sangat saya kenal, ia adalah abang saya, Indriansyah. Dari ialah saya memperoleh kabar bahwa ibu, almarhumah Rosnainar, telah menjadi korban dasyatnya gelombang tsunami yang melanda Aceh. Saya jatuh dan terpuruk, akan tetapi tak ada tetesan air mata yang mengalir di pipi, melainkan hanya diam seribu diam yang saya tunjukkan kala itu. Saya masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh sang abang. Bahkan diam-diam saya masih tetap meyakinkan bahwa ayah dan ibu pasti akan selamat dari musibah tersebut. Hanya doalah yang menjadi senjata saya untuk memperjuangkan harapan besar yang saya punyai saat itu.
Pascamusibah gempa dan tsunami, hari-hari seakan menjadi kelam, tidak ada lagi canda tawa bersama teman-teman. Namun harapan akan keselamatan kedua orang tua masih tetap saya pegang teguh di dalam hati dan jiwa. Bahkan saya memilih menetap di pesantren untuk menunggu kedatangan ayah dan ibu. Hari terus berganti, namun tidak ada sedikitpun tanda akan kedatangan mereka. Saya terus menunggu dan menunggu, hingga akhirnya kakak perempuan saya, Vera Apriana, yang tiba kesana. Ketika saya tahu ada lagi keluarga saya yang selamat, saya bersyukur kepada Rabbi, karena Allah masih memberikan saya tempat mengadu. Pertemuan dengan sang kakak tidak juga membuat saya berubah pikiran karena keputusan saya menetap di pesantren untuk menunggu ayah dan ibu tidak pernah berubah, bahkan ketika sang kakak mengajak saya pulang ke rumah.
Dua minggu sudah berlalu pascamusibah gempa dan tsunami, namun ayah dan ibu belum juga menjenguk ke pesantren. Biasanya, mereka selalu berkunjung setiap satu minggu sekali, tapi kali ini keadaan telah berbeda, meraka tak kunjung juga datang. Harapan besar yang saya miliki saat itu pun semakin membuat saya ragu akan keselamatan mereka. Ketika itu, suasana di pesantren semakin sepi. Semua santri dibolehkan pulang ke rumah masing-masing. Bahkan semua teman-teman satu angkatan saya pun ikut menghilang, pulang bersama keluarganya. Saya hanya ditemani oleh beberapa para guru yang tetap setia menemani untuk menunggu kedatangan orang tua saya. Tak ada tangisan dan keraguan yang saya tampakkan di depan mereka. Saya hanya bisa menangis, di saat saya tak bersama mereka. Menangis di dalam doa untuk keselamatan ayah dan ibu, yaaa, saat itulah yang saya pilih untuk menumpahkan air mata.
Sore harinya, seorang teman, Mustika Adilla, dan kakaknya Nila Angggraini berkunjung ke pesantren. Mereka terkejut saat melihat saya masih berada di situ dengan para pembimbing pondok. Dila dan kakaknya mengajak saya tinggal bersama keluarga mereka. Saya menolak ajakan itu. Alasan saya masih tetap sama: saya ingin menunggu sampai ayah dan ibu yang menjemput. Walaupun demikian, ternyata sang teman dan kakaknya tidak juga menyerah. Keesokan harinya mereka kembali dan lagi-lagi mengajak lagi, untuk ikut bersama mereka. Para guru pun mendukung ajakan teman saya itu, dengan alasan akan membantu menunggu kedatangan ayah dan ibu di pesantren. Akhirnya saya pun menyerah dan ikut bersama mereka.
Setibanya di rumah sang kawan, Ibu Ernawilis, orang tua teman saya itu menyambut kedatangan saya dengan ramah. “Anggap saja keluarga ini seperti keluargamu sendiri nak,” kata ibu Ernawalis. Ketika mendengar ucapan itu, rasanya ingin sekali menangis. Tapi melihat senyum keikhlasan dari keluarga itu, membuat saya tidak ingin menjatuhkan setetes air mata pun di depan mereka. Saya kembali menampakkan ketegaran di depan semua orang. Akhirnya keluarga mereka menjadi keluarga baru saya.
Satu bulan berlalu pascamusibah itu, semua santri kembali ke pesantren dan melanjutkan proses belajar-mengajar yang sempat berhenti akibat musibah gempa dan tsunami. Walaupun keadaan di pondok terlihat seperti biasanya, namun semangat hidup saya tidak lagi seperti dulu. Saya tidak lagi menyempatkan waktu bersama teman-teman untuk bersenda gurau, saya lebih memilih untuk sendiri dibanding berbagi cerita dan tertawa bersama mereka. Kini si gadis tomboi yang periang itu telah berubah, tidak ada lagi tawa lebar yang ia berikan untuk kehidupan.
Tidak terasa enam bulan telah saya lalui dengan seribu harapan akan keselamatan ayah dan ibu. Namun, mereka tidak kunjung juga datang memberikan kabar gembira, dan mengembalikan cahaya matahari yang pernah berkabut untuk menjadi cerah kembali. Saya terus menunggu mereka di tempat mereka pernah mengantar saya untuk menuntut ilmu.
Ketika hari terus berganti, tiba-tiba pihak pesantren mendapatkan undangan bagi anak-anak korban tsunami, untuk mengikuti Ashinaga International Summer Camp di Jepang. Saya terpilih sebagai salah satu peserta dari 26 orang santri. Tanggal 30 Juni 2005 silam, kami pun berangkat ke Negeri Sakura. Rasanya seperti mimpi karena bisa melihat negara lain yang jauh dari tanah air.
Ternyata, tidak sia-sia saya berkunjung ke Jepang, banyak hal yang mengajarkan saya akan arti semangat hidup, dimulai dari mengejar mimpi hingga kesadaran untuk tidak boleh berlama-lama larut di dalam kesedihan.
Di sana, saya bergabung dengan anak-anak yatim dari 19 negara lainnya. Kami saling membagikan pengalaman pahit yang pernah kami punya. Saya mulai sadar akan arti semangat hidup saat mendengar cerita salah seorang anak India yang kehilangan ibu-nya ketika tsunami melanda kampung halamannya.
Memang, bagi saya, ia masih terlalu kecil untuk kehilangan ibunya. Luar biasa, ketika ia terlihat begitu tegar dan sabar. Ketika itu saya sadar, bahwa saya harus bisa menjadi seperti anak kecil itu. Lalu, saya pun kembali mengingat tentang cita-cita yang pernah saya impikan. Saya bertekad ingin membuat mimpi itu menjadi nyata. Begitulah perjalanan singkat saya ke Negeri Sakura. Ada banyak perubahan yang ada dalam tekad saya, ketika saya kembali pulang ke Aceh. Salah satunya, meningkatkan usaha belajar, walau tak ada lagi orang tua yang selalu mendukung. Saya sadar, bahwa saya masih punya teman-teman dan guru yang selalu mendorong dan memberikan saya motivasi untuk kembali bangkit dari kesedihan.
Tidak terasa, sudah 3 tahun lamanya saya hidup tanpa bimbingan dan kasih sayang dari ayah dan ibu. Namun, saya selalu merasa bahagia karena berhasil menjalankan amanah terakhir sebelum ayah pergi. Hari itu, jati diri sebagai santri telah usai, akhirnya, saya wisuda dengan predikat “jaid jiddan” atau, “baik sekali.” Walau tak ada ayah dan ibu, saya tetap bahagia, karena keluarga baru saya hadir di hari itu. Tapi, ada sedikit kesedihan di hati, saat saya tak bisa melihat senyum kebahagian dari ayah dan ibu di hari saya melepaskan gelar santri yang selama enam tahun lamanya saya sandang, tahun 2008 lalu.
Setelah semua usai, saya pun memperoleh beasiswa S1 di salah satu universitas ternama di Jepang. Dan kini saya telah menjadi mahasiswi Universitas Waseda di Tokyo. Saya terus berusaha untuk mengejar mimpi yang pernah singgah di hidup saya. Namun, perjalanan saya memang belum berakhir sampai di sini. Saya ingin membuktikan kepada anak yatim di dunia, bahwa kita tidak perlu berputus asa untuk semangat dan bermimpi. Karena, kehilangan orang tua bukanlah alasan untuk membuat kehidupan menjadi lebih buruk. Saya percaya, ayah dan ibu akan selalu tersenyum bahagia dengan prestasi yang bisa saya raih sampai saat ini. Terima kasih untuk kehidupan yang selalu mengajari saya banyak hal tentang warna-warni hidup. [acehkita.com]
Tokyo, Rabu, 13 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar